Kisah Penyintas Gempa Palu yang Bangkit Mandiri dari Ebi

Di atas reruntuhan bangunan, di depan Masjid Terapung yang rusak karena gempa dan tsunami, Ariyanti (59), menghamparkan ebi.

oleh Heri Susanto diperbarui 08 Jan 2020, 22:00 WIB
Diterbitkan 08 Jan 2020, 22:00 WIB
Penyintas Gempa Palu
Di atas reruntuhan bangunan, di depan Masjid Terapung yang rusak karena gempa dan tsunami, Ariyanti (59), menghamparkan ebi sebelum dijualnya ke pasar. (Liputan6.com/ Heri Susanto)

Liputan6.com, Palu - Di atas reruntuhan bangunan, di depan Masjid Terapung yang rusak karena gempa dan tsunami, Ariyanti (59), menghamparkan ebi. Dia hendak menjemurnya sebelum dibawa untuk dijual.

Ariyanti, salah satu penyintas bencana dahsyat gempa dan tsunami yang meluluhlantahkan Palu beberapa waktu silam. WargaĀ Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu itu hanya bisa pasrah dan terus berusaha di tengah ketidakpastian hidup.Ā 

"Beginilah kerja, kalau tidak begini apa mau didapat?" kata Ariyani saat ditemui awak Liputan6.com, Selasa (7/1/2020).

Sambil meratakan ebi miliknya, Ariyani menceritakan, pekerjaan menjemur udang kecil baru dilakoninya setelah bencana gempa dan tsunami Palu 28 September 2018. Sebelumnya dia punya usaha berdagang di pasar.

Ariyani mengatakan, bencana yang terjadi lebih dari setahun lalu itu menghancurkan rumah tempat dia berteduh di Kelurahan Lere, tak jauh dari bibir pantai. Tak ada yang tersisa, kecuali pakaian di badan dan nyawanya kala itu.

Batinnya terpukul, dia mengaku terpuruk. Dua anaknya kini tinggal di hunian sementara yang dibangun pemerintah, lokasinya sekitar 3 kilometer dari rumahnya yang dulu. Yang menyedihkan, satu anaknya tidak lagi bersekolah lantaran tidak punya biaya. Sementara suaminya pergi entah kemana usai bencana dahsyat itu.

"Tidak ada harta tersisa," katanya lirih.

Terus menyalahkan keadaan tidak akan memberikan jalan keluar. Keterpurukan yang menimpanya lantas tidak membuat putus asa. Ketidakpastian hidup justru membuat dirinya semakin kuat. Kini Ariyani memilih mandiri, menangkap dan menjual ebi yang masih melimpah di Teluk Palu.

"Ya mau bagaimana lagi, suami saya sudah pergi, anak-anak harus sekolah, harus ada uang jajan," katanya.

Sebelum menjual ebi, Ariyani harus susah payah menjemurnya. Dirinya kerap jalan kaki sejauh sekitar 3 kilometer untuk sampai ke lokasi penjemuran. Dirinya khawatir, menjemur ebi di lokasi hunian sementara akan membuat penghuni lain terganggu.

Usai dijemur, sebi lantas dijual dengan harga Rp60 ribu per kilogram. Meski tak seberapa, dirinya mengaku bahagia bisa punya penghasilan sendiri untuk perlahan bangkit dari keterpurukan.Ā 

"Sekarang bisa membeli kebutuhan sehari-hari, beras, bumbu dapur lainya," katanya.

Tak banyak harapan Ariyani, dirinya hanya ingin bisa segera menempati hunian tetap yang selama ini dijanjikan pemerintah.Ā 

"Hanya janji, belum ada realisasinya," kata Ariyani.Ā 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya