Komentar Raja Adipati Arya Jipang II Perihal Munculnya Keraton Agung Sejagat

Munculnya kerajaan-kerajaan fiktif, termasuk Keraton Agung Sejagat ini, adalah akibat tidak adanya undang-undang perlindungan sejarah

oleh Ahmad Adirin diperbarui 17 Jan 2020, 04:00 WIB
Diterbitkan 17 Jan 2020, 04:00 WIB
Gusti Pangeran Raja Adipati Arya Jipang II, Barik Barliyan (Foto: Liputan6.com/Barik Barliyan/Ahmad Adirin).
Gusti Pangeran Raja Adipati Arya Jipang II, Barik Barliyan (Foto: Liputan6.com/Barik Barliyan/Ahmad Adirin).

Liputan6.com, Blora - Munculnya Keraton Agung Sejagat di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, baru-baru ini begitu menyita perhatian publik. Pasalnya, belakangan diketahui pendirian kerajaan diduga hanyalah kedok untuk menipu.

Gusti Pangeran Raja Adipati Arya Jipang II, Barik Barliyan, dari Yayasan Keraton Jipang menanggapi kemunculan kerajaan tersebut.

Menurut dia, hal itu sering terjadi. Seperti dua tahun silam ada kasus Kanjeng Dimas. Kanjeng Dimas lantas dibui karena adanya indikasi terlibat pembunuhan. Belakangan juga terungkap, Kanjeng Dimas juga menipu ribuan orang.

Menurut dia, munculnya kerajaan-kerajaan fiktif, termasuk Keraton Agung Sejagat ini, adalah akibat tidak adanya undang-undang perlindungan sejarah. Para pelaku Keraton Agung Sejagat bisa ditindak karena terindikasi penipuan, bukan karena merusak sejarah.

"Ini memang sangat aneh, sementara produk sejarah berupa situs seperti candi, Keraton, makam dan sejenisnya di lindungi UU tapi sejarahnya sendiri tidak," kata Barik kepada Liputan6.com, Kamis (16/1/2020).

Padahal, menurut dia, perusak sejarah itu justru kejahatan yang sistemik. Perusakan berakibat pada rusaknya jati diri bangsa ini. Tetapi, para keturunan raja kesulitan menuntut para perusak dan pemalsu sejarah lantaran tak ada dasar hukumnya.

 

Undang-undang Sejarah

Gusti Pangeran Raja Adipati Arya Jipang II, Barik Barliyan (Foto: Liputan6.com/Barik Barliyan/Ahmad Adirin).
Gusti Pangeran Raja Adipati Arya Jipang II, Barik Barliyan (Foto: Liputan6.com/Barik Barliyan/Ahmad Adirin).

Dia mencontohkan soal seperti Ridwan Saidi (RS) yang baru-baru ini dengan ngawurnya menyebutkan bahwa Raden Fatah dan Sultan Trenggono, Demak adalah Yahudi Barbar.

"Saya sebagai Keturunan Raden Fatah sulit untuk menuntut RS, paling hanya bisa tuntutan perdata. Itu pun nanti akan panjang perjalanannya, karena RS pun bisa berkelit bahwa komentarnya sebagai bagian analisis sejarah versi budayawan dan lain sebagainya," dia menjelaskan.

Artinya, jika ada 100 orang yang bicara soal Raden Fatah dan Kerajaan Demak, maka akan ada sejarah Raden Fatah dalam 100 Versi.

"Ini juga yang dialami Keraton Jipang dan Arya Penangsang yang saat ini pelan-pelan kita coba untuk luruskan," ucap Barik.

Dia juga menilai Raja Keraton Sejagat, Toto Santoso ngawur dan ugal-ugalan bercerita tentang sejarah Majapahit yang dikaitkan dengan keberadaan keratonnya. Namun, masyarakat idak bisa apa-apa dan tidak bisa mempidanakan Pelaku.

"Sudah waktunya Pemerintah menerbitkan UU Perlindungan Sejarah (pidana murni). Agar masyarakat bisa mempidanakan para perusak sejarah yang selama ini bebas berkeliaran memperdaya para mangsanya dengan iming-iming harta amanah," dia menegaskan.

menurut dia, aparat juga akan lebih leluasa bergerak hanya dengan modal informasi dari masyarakat.

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya