Museum Tsunami Aceh, Sebuah Lorong Waktu

Jurnalis Liputan6.com mengunjungi Museum Tsunami Aceh dan menemukan dirinya kembali pada masa-masa sebelum bencana yang menelan korban puluhan ribu jiwa itu terjadi hingga ia terkenang pada kehidupan di barak pengungsian setelah tragedi itu, simak kisahnya:

oleh Rino Abonita diperbarui 06 Feb 2020, 12:00 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2020, 12:00 WIB
Miniatur perumahan di Museum Tsunami Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)
Miniatur perumahan di Museum Tsunami Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Saat saya mengunjungi Museum Tsunami, pengelola museum sedang tidak mengutip biaya retribusi. Di pos pembayaran ada pengumuman bahwa museum sedang direnovasi, karena itu terdapat beberapa ruangan yang tidak boleh dimasuki pengunjung.

Hati berdebar saat saya memasuki 'lorong tsunami.' Lorong itu memiliki bidang menurun serta alur yang melengkung, bersuasana gelap serta memiliki manipulasi air yang terus menerus merembes di dindingnya.

Beberapa orang yang pernah berkunjung ke museum itu mengaku rambang hingga terkesiap saat memasuki lorong tersebut. Suara ombak serta orang bertahlil yang bersiponggang sepanjang lorong itu sekonyong-konyong membuat bulu roma merinding.

Berada di lorong itu seolah-olah sedang memasuki dimensi liyan. Anehnya, yang ada di dalam kepala saya saat itu hanyalah sebait lirik lagu berjudul 'Like a Stone' miliknya Audioslave.

"I was lost in the pages of a book full of death."

Tapi saya telah dibawa ke tempat liyan: di situ ada almarhumah ibu sedang membersihkan pecahan keramik yang berserakan di lantai. Pagi itu, beberapa hiasan yang ditaruh di dalam bufet yang ada di ruang tamu jatuh ke lantai akibat goncangan gempa.

Kejadian itu hanyalah awal dari sebuah kiamat 'sugra' yang sebentar lagi akan memorakporandakan sebagian besar wilayah Serambi Makkah. Bunyi gemuruh dari tembok lapangan bola yang dihantam gelombang raksasa itu masih terngiang di telinga saya, terdengar seperti suara roda tandem roller sedang menggilas jalan makadam.

Semua ingatan tentang kejadian itu lesap seketika saat saya tiba di mulut sebuah ruangan gelap yang dipenuhi kotak paralelogram berwarna oren. Ruangan ini diberi kaca reflektif yang memantulkan setiap bayangan benda yang ada di tempat itu.

Kotak paralelogram-kotak paralelogram tersebut memiliki layar tampilan di atasnya, yang menampilkan berbagai momen yang berhasil ditangkap saat tsunami menerjang 15 tahun lalu. Di antaranya, foto dua lelaki sedang menarik seseorang dari dalam air.

Foto yang menarik perhatian saya yaitu foto seorang lelaki yang mengapung bersama longgokan balok kayu. Tidak ditulis siapa yang telah memotret momen-momen mengharukan sesaat usai tsunami menerjang tersebut.

"Potret segerombolan bocah yang sedang tertawa lepas di pekarangan barak pengungsian, itu, kan, yang ingin kau cari?"

Seorang lelaki paruh baya sedang bercakap-cakap dengan seorang gadis muda. Gadis yang mengenakan baju warna navy blue serta jilbab putih itu terlihat menekuri salah satu layar tampilan.

"Ingat bagaimana bule-bule jangkung itu mengatakan, 'how cute are you', mendapati adikmu yang tengah bermain di tepas barak dengan boneka ulil yang kumal. Umurmu berapa saat itu, ya?" sambung lelaki tersebut.

"Mereka itu suka sekali memotretnya," celetuk gadis itu dengan raut wajah yang datar.

"Aku ingin mencari foto orang-orang yang riang gembira saja, trauma dengan hal yang begini-begini," imbuh gadis itu sambil beranjak diikuti lelaki tadi.

Saya Harus Keluar!

Ruangan di Museum Tsunami Aceh yang berisi nama-nama korban bencana tersebut (Liputan6.com/Rino Abonita)
Ruangan di Museum Tsunami Aceh yang berisi nama-nama korban bencana tersebut (Liputan6.com/Rino Abonita)

Saya tertegun!

Itu sebuah ruangan remang-remang berbentuk lingkaran yang tidak luas dan memiliki atasan yang semakin melengkung —jika kita melihat ke atas, akan terlihat tulisan 'Allah' dalam huruf Arab. Nama Sang Khalik itu berada tepat di atas ubun-ubun.

Dari pantulan cahaya lampu dinding elektrik itu saya dapat melihat nama-nama korban bencana tsunami di Aceh. Sepertinya, ada ribuan nama.

Nama-nama itu ditempel dengan fischer. Beberapa huruf dari nama-nama tersebut tampak tidak sejajar lagi.

Saya rasa saya telah terseret oleh dramatitasi yang ada di ruangan itu. Suara lantunan ayat suci Alquran bikin suasana di ruangan itu semakin sarat, saya harus segera keluar dari situ.

Dari Ruang ke Ruang

MIniatur Masjid Raya Baiturrahman di Museum Tsunami Aceh (Liputan6.co,/Rino Abonita)
MIniatur Masjid Raya Baiturrahman di Museum Tsunami Aceh (Liputan6.co,/Rino Abonita)

Lantai satu dan dua museum dihubungkan oleh sebuah jembatan. Banyak sekali bendera pelbagai negara yang dipasang di kisi-kisi langit-langit jembatan itu —itu mungkin saja sebagai wujud rasa terima kasih kepada semua negara yang pernah membantu Aceh pascatragedi.

Ada sebentuk silinder berukuran besar yang merunjung ke atas. Silinder itu mencuat hingga ke atas bangunan museum, katanya berfungsi sebagai mercusuar, yang lain menyebutnya cerobong kapal, karena museum itu menyerupai kapal.

Di ujung jembatan, saya menangkap suara orang sedang bercengkerama. Ternyata di sana tersedia tempat istirahat berupa sofa, suasana yang nyaman, serta kafe dengan menu sederhana.

Ada miniatur museum yang ditaruh di dalam bak kaca di tempat itu. Saya juga menemukan banyak sekali miniatur serta maket di ruangan lain yang ada di museum itu.

Miniatur-miniatur dan maket tersebut menceritakan momen yang sewarna. Sebagian ruangan di museum itu juga menampilkan pelbagai benda yang pernah hanyut dibawa gelombang.

Semuanya tampak kumal dan kusam. Benda-benda itu ditaruh di dalam tempat khusus yang diberi kaca agar pengunjung bisa melihat-lihat.

Saya juga beberapa kali menemukan Alquran dengan kondisi yang kusut. Ada yang ditaruh terpisah, ada yang ditaruh di dalam tempat yang sama.

Di salah satu ruang terdapat rumah-rumahan beserta orang-orangan yang diterangi neon. Instalasi-instalasi itu terlihat seperti nyala api di dalam gelap.

Suatu Masa

Suasana jembatan penghubung antara lantai satu dan dua Museum Tsunami Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)
Suasana jembatan penghubung antara lantai satu dan dua Museum Tsunami Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)

Hal yang yang paling saya ingat tentang kehidupan di barak pengungsian adalah uang jatah hidup. Kami mengenalnya dengan akronim jadup.

Setiap jiwa diberi jadup sebanyak Rp3000 per hari atau Rp90.000 per bulan. Sebelum diberi jadup, para pengungsi mesti mengantre terlebih dahulu untuk difoto agar satu orang hanya dapat jatah satu kali untuk setiap kali pembagian.

Memiliki uang dengan jumlah segitu merupakan sebuah kemewahan tersendiri saat itu. Kemewahan yang lain ialah saat uang itu saya habiskan untuk membeli empat am mariyuana dari seorang bandar 'kecil' di blok sebelah.

'Ekor tupai' adalah yang terbaik, ditambah sebotol wiski 'gepeng' lebih mantap. Hari-hari memang terasa naif saat itu.

Belakangan saya tahu, uang jadup yang diperuntukan kepada korban bencana itu telah disunat di sana-sini oleh orang-orang di instansi terkait. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa nilai uang yang dikorup mencapai Rp512 juta —per Desember 2005, atau terhitung bulanan setelah pembagian jadup tahap pertama.

Belasan tahun kemudian, saya duduk di antara tumpukan kaleng ikan sarden, di antara tungku dan bahan dapur yang ditumpuk di bawah tenda. Ada dua buah kotak kardus bertuliskan 'World Food Programme' serta sebuah egg tray yang tergeletak di lantai.

Saya pun melirik ke dalam barak. Kelambu antinyamuk, pakaian yang berserakan, dan semua benda yang tergantung di dinding mengingatkan saya akan hari-hari di barak pengungsian.

"Nanti kita akan jadi apa?"

"Sudah, jangan dipikir, jadi apa sajalah asal jangan jadi anggota dewan."

"Kan, itu bikin malu mamak!"

"Hahaha."

Saya ingat. Malam itu saya dan tiga orang teman bercakap-cakap di tepas barak sebelum terpisah oleh titimangsa juga hal-hal liyan yang rumit.

Masterpiece Urang Sunda

Miniatur Museum Tsunami Aceh (Liputan6.com/RIno Abonita)
Miniatur Museum Tsunami Aceh (Liputan6.com/RIno Abonita)

Apakah Museum Tsunami menarik untuk dikunjungi? Bagi saya, museum tersebut merupakan paket komplet dari sebuah situs wisata; sejarah, budaya, religi, plus rohani, tapi, saya juga mengenang cinta yang 'gagal' juga pertemanan saat berkunjung ke ruang maket barak pengungsi.

Suatu hari saya berdiskusi tentang sejarah gerakan perlawanan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh asal Aceh dengan seorang teman yang lahir dari seorang ibu 'Sunda.' Ia menolak 'Sunda' disebut bagian dari Jawa kendati Bandung, yang berisi mayoritas etnis Sunda berada di Jawa Barat.

Ia mengatakan bahwa Sunda dan Aceh terikat oleh sesuatu. Ia mengaitkannya dengan keberadaan makam Cut Nyak Dien di Sumedang, serta bagaimana pimpinan besar dari sebuah persatuan ulama Aceh, Daud Beureueh memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) di bawah kepemimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

"Kita saudara dekat, setidaknya saudara sepemberontakan," Ia mengatakan ini sambil tertawa.

Saya baru tahu bahwa arsitek dari Museum Tsunami ialah Mochamad Ridwan Kamil yang saat itu memenangkan sayembara desain museum sebesar Rp275 juta. Kamil adalah 'Urang Sunda' yang menjadi gubernur Jawa Barat sejak September 2018.

Sejumlah artikel menulis bahwa museum yang pernah dinobatkan sebagai museum paling populer ini dibangun dengan dana sebanyak Rp140 miliar, di atas lahan seluas 2500 meter persegi. Pembangunannya dimulai pada 2007, dan diresmikan pada 2009.

Total koleksi di museum ini mencapai 55 unit, terdiri dari 22 alat peraga, 26 foto dan 7 maket. Terdapat juga bioskop mini yang menampilkan kejadian gempa melalui simulasi elektronik.

Eksterior atau tembok museum berupa relief geometrik. Saya melihatnya seperti anyaman raksasa dari kejauhan, di atas sepeda motor 'ojek daring' yang saya tumpangi, ketika saya beranjak, meninggalkan museum beserta sekelumit kenangan yang meruap di antara maket yang ada di dalam museum.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya