Akhir Drama Penyidikan Kasus Korupsi Lahan Negara yang Jerat Jentang

Setelah dua tahun buron dan kemudian ditangkap, kasus dugaan korupsi lahan negara yang jerat Soedirjo Aliman alias Jentang sebagai tersangka diam-diam dihentikan.

oleh Eka Hakim diperbarui 07 Feb 2020, 14:00 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2020, 14:00 WIB
Kejagung serahkan tersangka korupsi lahan negara, Jentang ke Kejati Sulsel setelah tertangkap di Jakarta (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Kejagung serahkan tersangka korupsi lahan negara, Jentang ke Kejati Sulsel setelah tertangkap di Jakarta (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) menghentikan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) penerimaan uang sewa lahan negara yang menjerat seorang pengusaha ternama keturunan Tionghoa di Sulsel, Soedirjo Aliman alias Jentang sebagai tersangka.

Meski sebelumnya, Pengadilan Negeri Makassar telah menolak gugatan praperadilan yang diajukan Jentang saat Kejati Sulsel menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerimaan uang sewa lahan negara tersebut.

Hakim praperadilan menetapkan bahwa status tersangka Jentang sah demi hukum dan telah memenuhi dua alat bukti permulaan yang cukup sehingga diminta agar penyidikan kasusnya berlanjut hingga dilimpahkan ke persidangan.

"Iya dihentikan sejak 29 Januari 2020," singkat Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Idil via pesan singkat, Kamis (6/2/2020).

Adapun pertimbangan penyidik sehingga menghentikan penyidikan perkara tersebut, lanjut Idil, dikarenakan perkara yang menjerat Jentang bukan merupakan tindak pidana korupsi.

"Itu terlihat dari bebasnya tiga terdakwa lainnya dan perkara perdatanya terkait kasus itu, ia (Jentang) menang," terang Idil.

Terpisah, Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun menyayangkan keputusan Kejati Sulsel yang telah menghentikan diam-diam penyidikan kasus dugaan korupsi yang menyeret Jentang sebagai tersangka tersebut.

"Besok kami akan bersurat resmi meminta penjelasan tertulis Kejati terkait penghentian kasus korupsi Jentang ini," singkat Kadir via telepon.

Sebelumnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus) Makassar, Jermias Rarsina sempat menyoroti penanganan kasus Jentang yang belum berhasil dilimpah ke persidangan terlebih lagi diberikan penangguhan penahanan.

Menurut Jermias, segala pertimbangan yang dijadikan dasar dalam pemberian penangguhan penahanan terhadap Jentang sebelumnya dinilainya sangat keliru.

Kejati, lanjut dia, mengabaikan status Jentang yang pernah masuk dalam daftar DPO (Daftar Pencarian Orang).

"Harusnya status DPO nya itu menjadi pertimbangan mendalam oleh Kejati," ucap Jermias.

Tak hanya itu, dalam kasus yang menjerat pengusaha ternama Sulsel itu, Kejati juga semestinya menerapkan prinsip perlakuan sama di hadapan hukum (equality before the law).

"Persamaan di hadapan hukum adalah asas di mana setiap orang tunduk pada hukum peradilan (proses hukum) yang sama," jelas Jermias.

Dalam perkara dugaan korupsi yang menjerat Jentang, kata dia, sebelumnya juga telah menyeret tiga orang rekannya duduk ke meja hijau dan sempat ditahan di tahap penyidikan hingga penuntutan.

Meski ketiganya masing-masing mantan Asisten 1 Pemkot Makassar, M. Sabri dan kedua karyawan Jentang, Rusdin dan Jayanti telah divonis bebas di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) dan putusannya dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap.

"Nah, Jentang juga harus mendapat perlakuan hukum yang sama seperti ketiga rekannya itu. Mengenai terbukti atau tidak perbuatan korupsi nanti, itu harus diuji dalam persidangan. Jadi tak boleh ada perlakuan istimewa. Semua orang sama dihadapan hukum," terang Jermias.

Berbicara tentang asas perlakuan sama di hadapan hukum, lanjut Jermias, telah diatur dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1). Dimana pada pasal 27 ayat (1) itu menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.

"Penggambarannya jelas bahwa ada perlakuan yang seharusnya sama, baik bagi setiap orang maupun bagi setiap warga negara," ucap Jermias.

Masyarakat, kata dia, tentunya akan menilai negatif kinerja Kejati ketika tidak menerapkan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada Jentang yang telah berstatus tersangka dugaan korupsi dan pernah menyandang status DPO.

"Saya kira Kejati semestinya memberlakukan asas perlakuan sama di hadapan hukum (quality before the law) tersebut terhadap tersangka korupsi lahan negara, Jentang ini," tutur Jermias.

 

Drama Penyidikan Kasus Jentang

Sejumlah mahasiswa demo menolak keputusan penangguhan penahanan Jentang di Kantor Kejati Sulsel (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Sejumlah mahasiswa demo menolak keputusan penangguhan penahanan Jentang di Kantor Kejati Sulsel (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Jentang sebelumnya minggat bersama istrinya ke Jakarta tepatnya Kamis 2 November 2017 usai ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.

Terhitung sejak itu, ia memilih buron dan tak memenuhi panggilan penyidik Kejati Sulsel dan pada akhirnya Tim Intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil menangkapnya dalam persembunyiannya di sebuah hotel di daerah Senayan, Jakarta, Kamis 17 Oktober 2019.

Jentang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerimaan uang penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kejati Sulawesi Selatan Nomor: PRINT-509/R.4/Fd.1/11/2017. Dimana dari hasil perbuatannya itu, negara ditaksir telah merugi sebesar Rp500 juta.

"Jadi yang bersangkutan menghilang sejak ditetapkan sebagai tersangka tepatnya pada 1 Nopember 2017 oleh Kejati Sulsel," kata Mukri yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung dalam keterangan rilisnya.

Ia mengatakan Jentang merupakan buronan ke-345 yang terdaftar pada program tabur 31.1 Kejagung. Terhitung sejak program tersebut diluncurkan resmi oleh Kejaksaan pada tahun 2018 lalu.

"Dari total buronan yang berhasil tertangkap dalam program tabur 31.1, Jentang merupakan buronan ke 138 yang berhasil tertangkap di tahun 2019 ini," tutur Mukri.

Usai menangkap Jentang, Tim Intelijen Kejagung langsung menyerahkannya ke pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) guna menjalani proses hukum lebih lanjut.

"Tersangka langsung diterbangkan menuju Makassar untuk menjalani proses hukum selanjutnya," Mukri menandaskan.

Namun belakangan, tepatnya hanya menjalani masa penahanan titipan di Lapas Klas 1 Makassar selama dua bulan, Jentang lalu mendapat perlakuan istimewa. Diam-diam permohonan penangguhan penahanannya oleh Kejati Sulsel diloloskan.

Ia dikeluarkan dari sel tahanan Lapas Klas 1 Makassar pada Kamis 12 Desember 2019 malam hari.

Kabar dikeluarkannya Jentang dari sel Lapas sempat dibantah oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel) Firdaus Dewilmar. Ia mengaku tak tahu soal itu dan mengarahkan agar kabar tersebut dikonfirmasi langsung ke Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sulsel atau sekalian cek ke Lapas Klas I Makassar.

Pihak Lapas dalam hal ini Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Lapas Klas 1 Makassar yang saat itu dijabat oleh Zaeni kemudian membenarkan jika Jentang dikeluarkan dari sel Lapas berdasarkan rekomendasi dari pihak Kejati Sulsel yang telah memberikan penangguhan terhadapnya.

"Penangguhan," singkat Zaeni via pesan singkat Jumat 13 Desember 2019.

Hampir sepekan pemberitaan penangguhan penahanan Jentang heboh, Kepala Kejati Sulsel, Firdaus Dewilmar pun akhirnya angkat bicara.

Mantan Kajati Gorontalo itu kemudian membenarkan jika pihak telah memberikan penangguhan penahanan terhadap eks buron kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Makassar, Soedirjo Aliman alias Jentang itu.

Pengusaha yang kerap terlibat dalam perkara-perkara sengketa lahan di Makassar tersebut, kata Firdaus, dikeluarkan dari sel tahanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IA Makassar, Kamis 12 Desember 2019 malam hari.

"Yang bersangkutan usianya 80an dan sedang sakit," kata Firdaus di Kantor Kejati Sulsel, Selasa 17 Desember 2019.

Selain itu, pertimbangan lainnya, kata dia, adanya putusan bebas Mahkamah Agung (MA) terhadap tiga terdakwa dalam kasus yang sama serta adanya putusan perdata terkait status lahan yang memenangkan Jentang.

"Satu lagi, saat ini kan kita sedang mengejar adanya kerugian negara senilai Rp 500 juta. Tapi ternyata ada aset yang diduga ilegal yang dikuasai juga oleh Jentang dan nilainya itu Rp 800 miliar. Yang mana bagusnya kita kejar?" terang Firdaus.

Ia berjanji segera mungkin akan memberikan kepastian hukum penanganan kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar yang sebelumnya sempat membuat Jentang berstatus buronan selama 2 tahun lebih dan berhasil ditangkap oleh tim Tabur Intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) 17 Oktober 2019.

"Saya janji kasih kepastian hukum. Apakah kasusnya dihentikan atau dilanjutkan. Pertimbangannya tadi saya sudah jelaskan," terang Firdaus.

Keputusan Kejati Sulsel memberikan penangguhan penahanan terhadap Jentang pun mendapat reaksi keras dari sejumlah pegiat anti korupsi serta elemen mahasiswa di Sulsel.

Di antaranya Direktur Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun mengatakan bahwa alasan penangguhan penahanan yang dilontarkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) dinilai mengada-ada.

"Alasan sakit sesungguhnya alasan yang mengada-ada. Kalau sakit kan bisa berobat di dalam Lapas karena fasilitas sudah disiapkan, bukannya dikasih keluar dari Lapas," ucap Kadir.

Ia sangat menyesalkan sikap Kajati Sulsel yang dinilai telah mencederai komitmen pemberantasan korupsi dengan cara diam-diam memberikan penangguhan penahanan terhadap eks buronan kasus dugaan korupsi lahan negara, Soedirjo Aliman alias Jentang.

"Jentang ini kan pernah dua tahun lebih memburon usai ditetapkan jadi tersangka dalam kasus korupsi penyewaan lahan negara dan nanti bulan Oktober 2019 berhasil ditangkap oleh tim Tabur Kejagung. Loh kok malah Kajati tolerir yah. Kajagung harus segera evaluasi Kajati Sulsel ini," ucap Kadir.

Ia berharap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga segera mengevaluasi kinerja Koorsupgah KPK yang dinilai kecolongan dalam mengawasi perjalanan penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat eks buronan tersebut.

"Bukannya belakangan ini Koorsuogah KPK cukup intens membangun koordinasi dengan pihak Kejati Sulsel terkait penanganan kasus dugaan korupsi lahan negara Buloa. Loh kok malah kecolongan tersangka malah dapat penangguhan penahanan. Kinerja Koorsupgah KPK patut dipertanyakan," tegas Kadir.

Meski demikian, ia tetap mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan supervisi total atas kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara Buloa tersebut.

"Kenapa KPK harus hadir, tentunya untuk mengevaluasi dan menyambung kembali fakta-fakta hukum yang dilepaskan Kejati sewaktu mereka menyidik Rusdin cs," terang Kadir.

Dimana dalam fakta hukum kasus Buloa terungkap peranan orang lain. Namun terkesan ditutupi oleh Kejati.

"Kehadiran KPK sangat penting karena sejak awal kami menilai Kejati terkesan menutupi peran orang lain dalam kasus ini. Kasus ini tak boleh berhenti di Jentang, karena benang merahnya masih menyambung ke pihak lain diantaranya Ulil Amri, Jhoni Aliman, Edi Aliman, mantan Lurah, mantan Camat serta dua perusahaan BUMN," ungkap Kadir.

Seharusnya, kata dia, semua diperiksa dan diminta pertanggung jawaban. Tidak berhenti kepada peranan Jentang.

"Kalau begini tindakan penyidik, sangat terkesan tebang pilih dalam menetapkan tersangka,” tegas Kadir.

Tak hanya melontarkan kritikan keras, sejumlah elemen mahasiswa tampak berturut-turut berunjuk rasa dengan menutup ruas jalan di depan Kantor Kejati Sulsel. Bahkan melanjutkan aksi teatrikal menabur bunga dan membawa keranda mayat di depan Rumah Jabatan Kajati Sulsel yang terletak di Jalan Ratulangi Makassar.

Mereka menilai aksi tersebut sebagai simbol matinya supremasi penegakan hukum ditangan Kajati Sulsel, Firdaus khususnya dalam hal pemberantasan korupsi.

"Perlakuan istimewa yang diberikan Kajati Sulsel kepada tersangka Jentang merupakan tanda matinya supremasi penegakan hukum. Tabur bunga ini adalah simbol," ucap Damkers, Kordinator Lapangan Aliansi Mahasiswa Pemerhati Hukum (AMPH) Sulsel saat ditemui di sela-sela aksi tabur bunga di Rujab Kajati Sulsel saat itu.

Ditengah maraknya aksi penolakan keputusan Kajati Sulsel terkait penangguhan penahanan Jentang tersebut, tiba-tiba kabar mutasi menerpa Kajati Sulsel, Firdaus tepatnya jelang perayaan pergantian tahun 2019.

Ia dimutasi sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Fungsional pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-380/A/JA/12/2019 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Jabatan Struktural di Lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Sutiyono mengatakan tak hanya Kajati Sulsel yang berganti, sejumlah Kajati lainnya turut terjaring mutasi diantaranya Kajati Gorontalo, Kajati Sulawesi Utara, dan Kajati Nusa Tenggara Timur.

Ia membantah adanya opini masyarakat yang menyatakan bahwa pertimbangan mutasi dikarenakan pejabat yang terjaring mutasi tersebut memiliki kinerja yang buruk.

“Mutasi itu benar. Mutasi di Kejaksaan berdasarkan kepentingan dinas bisa promosi, tour of duty atau penyegaran," kata Hari, 28 Desember 2019.

Hanya selang dua hari keputusan mutasi itu terbit, tiba-tiba Kejaksaan Agung membatalkan mutasi Firdaus Dewilmar yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel) ke jabatan baru sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan pelatihan tekhnis fungsional pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Sutiyono membenarkan hal tersebut. Kata dia, Firdaus Dewilmar dikembalikan pada jabatan sebelumnya yakni sebagai Kajati Sulsel sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Jaksa Agung Republik Indonesia bernomor KEP- 383/A/JA/12/2019 tanggal 30 Desember 2019 tentang pencabutan dan pembatalan keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP–380/A/JA/12/2019 tanggal 26 Desember 2019.

Hal sama juga dialami oleh Jaja Subagja. Ia dinyatakan kembali kepada posisi semula yakni sebagai Kajati Gorontalo.

"Iya benar itu," kata Hari via pesan singkat kepada Liputan6.com, Rabu 31 Desember 2019.

Ia menjelaskan ada beberapa pertimbangan SK pembatalan mutasi terhadap jabatan Kajati Sulsel dan Gorontalo tersebut diterbitkan.

Selain sebagai tindak lanjut adanya pengaduan masyarakat yang menyatakan bahwa keberadaan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP–380/A/JA/12/2019 tanggal 26 Desember 2019 dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan tugas terkait beberapa pejabat yang namanya masuk dalam SK Jaksa Agung tersebut, juga demi kepentingan dinas dan organisasi.

"Maka Jaksa Agung memandang perlu untuk mencabut dan membatalkan SK Nomor: KEP–380/A/JA/12/2019 tanggal 26 Desember 2019 itu," terang Hari.

 

Peran Jentang Dalam Kasus Korupsi Lahan Negara

Detik-detik kesehatan Jentang diperiksa sebelum dijebloskan ke sel Lapas Klas 1 Makassar sebagai tahanan titipan (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Detik-detik kesehatan Jentang diperiksa sebelum dijebloskan ke sel Lapas Klas 1 Makassar sebagai tahanan titipan (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Jentang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerimaan uang penyewaan lahan negara disertai dengan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Perannya terungkap sebagai aktor utama dibalik terjadinya kerugian negara dalam pelaksanaan kegiatan penyewaan lahan negara tepatnya yang berlokasi di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar atau kawasan proyek nasional Makassar New Port.

Berdasarkan itulah penyidik akhirnya menetapkan ia sebagai tersangka dugaan korupsi disertai tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang juga telah dikuatkan oleh beberapa bukti.

Diantaranya bukti yang didapatkan dari hasil pengembangan fakta persidangan atas tiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan buloa yang sebelumnya sedang berproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Ketiga terdakwa masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti.

Selain itu, bukti lainnya yakni hasil penelusuran tim penyidik dengan Pusat Pelatihan dan Aliran Transaksi Keuangan (PPATK). Dimana dana sewa lahan diambil oleh Jentang melalui keterlibatan pihak lain terlebih dahulu.

Jentang diduga turut serta bersama dengan terdakwa Sabri, Rusdin dan Jayanti secara tanpa hak menguasai tanah negara seolah-olah miliknya sehingga PT. Pembangunan Perumahan (PP) Persero selaku Pelaksana Proyek Makassar New Port terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500 Juta untuk biaya penyewaan tanah.

"Nah dana tersebut diduga diterima oleh tersangka melalui rekening pihak ketiga untuk menyamarkan asal usulnya," kata Jan S Maringka yang menjabat sebagai Kepala Kejati Sulsel saat itu dalam konferensi persnya di Kantor Kejati Sulsel, Rabu 1 November 2017 lalu.

Menurutnya, penetapan Jentang sebagai tersangka juga merupakan tindak lanjut dari langkah Kejati Sulsel dalam mengungkap secara tuntas dugaan penyimpangan lain di seputar lokasi proyek pembangunan Makassar New Port untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional tersebut.

"Kejati Sulsel akan segera melakukan langkah langkah pengamanan aset untuk mencegah terjadinya kerugian negara yang lebih besar dari upaya klaim-klaim sepihak atas tanah negara di wilayah tersebut," tegas Jan.

Atas penetapan tersangka dalam penyidikan jilid dua kasus lahan negara ini, Kejati Sulsel pun langsung mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka koordinasi penegakan hukum.

"Tersangka dijerat dengan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)," Jan menandaskan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya