Drama Mbah Tun dan Sawahnya, Si Miskin vs Mafia Tanah

Meski menang di tingkat peradilan tertinggi yaitu MA, Mbah Tun terancam kehilangan sawahnya karena hendak dilelang.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 14 Feb 2020, 19:00 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2020, 19:00 WIB
sawah mbah tun
Sumiatun atau Mbah Tun berada di gubuknya. (foto: Liputan6.com/kusfitriyah marstyasih)

Liputan6.com, Demak - Sumiyatun miskin dan buta huruf. Inilah kisah perempuan tua lemah yang menjadi korban ketidaktahuan hukum dan mafia tanah.

Berawal dari kondisi yang buta huruf dan buta hukum, Sumiyatun (68) warga Dukuh Balong Kendal, Desa Balerejo, Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak didatangi tetangganya. Sang tetangga ini adalah seorang petugas kesehatan sehingga status sosial di masyarakat cukup meyakinkan.

Suatu hari Mbah Tun dijanjikan mendapatkan bantuan pakan ternak. Sang petugas kesehatan berinisial M juga meminjam sertifikat dan berjanji akan segera mengembalikan ke pemiliknya.

Mbah Tun tak curiga. Apalagi mereka bertetangga dengan baik. Sertifikat tanah dilepas oleh sang pemilik disaksikan anak dan menantunya.

Empat hari kemudian, M datang bersama dua staf notaris yang langsung menyodorkan berkas untuk dicap jempol Mbah Tun dan Suwardi suaminya. Meski kebingungan pasutri berusia senja itu tetap menuruti perintah M.

"Niku pun suwi, sepuluh tahun. Pas bojo kula taksih urip. Sakniki pun ninggal (Itu sudah lama, sepuluh tahun. Pas suami saya masih hidup. Sekarang sudah meninggal)," kata Mbah Tun kepada Liputan6.com, Kamis (13/02/2020).

Mbah Tun tinggal di rumah kayu yang dindingnya berlubang. Tak ada cat sebagai pemanis dan pelindung kayu itu. Kusam.

Sertifikat yang dipinjam M adalah sertifikat sawah. Ternyata cap jempol Mbah Tun adalah bukti bahwa ia memindahkan hak milik sawahnya. Sertifikat berpindah nama dan bahkan menjadi agunan di sebuah bank. Rupanya ia jadi korban mafia tanah.

Potret Keadilan Tumpul ke Bawah?

sawah mbah tun
Mbah menggebu bercerita tentang muslihat mafia. (foto: Liputan6.com/kusfitriya marstyasih)

Mbah Tun yang tidak merasa menjual sawah ataupun meminjam uang dengan agunan sertifikat sawah menjadi resah ketika tiba tiba muncul surat pemberitahuan lelang dengan objek sawah warisan orang tuanya.

"Kula kaget, langsung kados tiyang lumpuh atine mak pyar pyar. Kula boten nampi artane, boten nyade, boten ngampil arta ngangge sertifikat niku kok sanjange sawahe ajeng disita (Saya kaget, langsung merasa lumpuh. Hati saya bergetar pyar pyar. Saya tidak menerima uangnya. Tidak menjua, tidak meminjam uang dengan agunan sertifikat kok ada kabar sawah saya mau disita)," kata mbah Tun dengan suara bergetar.

Setelah peristiwa itu, Sumiyatun didampingi relawan hukum terus berupaya mencari keadilan bagi nasibnya. Sidang demi sidang dari Pengadilan Negeri Demak hingga Mahkamah Agung dilaluinya dengan patuh meski suami sedang sakit keras hingga akhirnya meninggal dunia.

Mbah Tun berharap keadilan akan berpihak kepadanya. Tubuh kurusnya menahan beban dan terlihat tetap tegak. Ia menyetia dengan perjuangannya, mendapatkan kembali sawahnya.

Jika sawah tersebut tetap disita, ia bingung tak lagi punya pegangan untuk mencari nafkah bagi dirinya di usia senja. Mbah Tun menyesal kenapa ia buta huruf sehingga mudah ditipu orang yang mengambil keuntungan dari kekurangannya.

Misbakhul Munir, kuasa hukum Sumiyatun, menyatakan bahwa di Mahkamah Agung gugatan dimenangkan oleh kliennya, ia merasa aneh karena ada pihak yang mengajukan permohonan sita sawah milik Sumiyatun kepada Pengadilan Negeri Demak.

"Putusan MA jelas memenangkan Mbah Tun. Ketika ada pihak yang berupaya mementahkan keputusan hukum ini, jelas harus ada tindakan. Inilah potret keadilan agraria saat ini," katanya.

(Kusfitria Marstyasih/PWN)

Simak video pilihan berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya