Bertahan dari Bencana, Mengajak Bangkit dengan Batik

Anak-anak muda ini bertahan dalam motivasi berkarya, kini mereka berharap negara hadir memberi dukungan.

oleh Heri Susanto diperbarui 28 Feb 2020, 13:00 WIB
Diterbitkan 28 Feb 2020, 13:00 WIB
batik donggala
Agar membumi, anak-anak muda ini terus berlatih di sanggarnya, Jalan Pue Janggu Kelurahan Ganti Kecamatan Banawa di Kabupaten Donggala. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Donggala - Gempa, tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah lebih dari setahun lalu belum mampu membangkitkan semangat berusaha seluruh warganya. Sejumlah anak muda Donggala menginisiasi kebangkitan dengan membatik.

Ide kebangkitan melalui batik itu muncul setelah beberapa anak muda ditemukan pakar batik Semarang Umi S Adisusilo dan diajak ‘mengungsi’ ke Semarang. Tiga bulan anak-anak muda itu menyepi dan belajar batik. Mulai dari sejarah batik hingga teknis membatik.

Menurut Faridatul Kahfi, salah satu dari anak-anak muda itu, mereka nekad belajar membatik meskipun dalam tradisi suku Kaili yang banyak bermukim di Donggala lebih lekat dengan tradisi tenun.

"Batik kan warisan budaya non benda dunia. Tak perlu berdebat ini tradisi atau bukan, tapi ini milik Indonesia dan kami sebagai anak-anak muda merasa wajib ikut menjaga," kata Farida kepada Liputan6.com.

Selama di Semarang mereka menjadi anak asuh Umi S Adisusilo, perintis kebangkitan Batik Semarang. Banyak yang mereka pelajari, termasuk semangat untuk bangkit setelah rumah mereka di Donggala porak poranda dihantam tsunami dan gempa.

"Selesai ‘nyantrik’ atau berguru batik di Semarang kami dibiayai pulang. Namun tidak serta merta bisa langsung membatik. Keterbatasan peralatan dan guru pembimbing menjadi kendala. Kami tak berani minta karena Bunda Umi sudah banyak membantu kami," kata Farida.

 

 

Kesulitan Alat

batik donggala
Motif-motif dan warna Batik tulis Donggala sangat lekat dengan suasana pantai. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Meski tak ada alat, mereka terus belajar mengeksplorasi kekayaan Donggala yang mungkin saja bisa dikonversi menjadi motif. Mulai dari motif kekayaan alam semacam buah pala, buah pinang, ikan-ikan lautan, bahkan juga tempat-tempat wisata alam yang keren.

Eksplorasi terus dilakukan sambil berkonsultasi dengan guru-gurunya membatik saat di Semarang. Tema motif terus berkembang, ada juga motif bertema upacara tradisi. Mulai dari tradisi penikahan yang mampu menghasilkan puluhan motif, hingga tradisi folklore atau dongeng rakyat.

“Awalnya kami titip produksi di Semarang. Dan mulai tahun 2020 ini, Insya Allah kami sudah punya sanggar dan bisa berproduksi di Donggala,” katanya.

Tak main-main, sebagai workshop atau bengkel kerja anak-anak muda ini membeli sebuah rumah yang kemudian secara artistik ditata menjadi tempat produksi. Tempat pecanting, pengecap untuk produksi batik cap, pewarnaan, hingga pengolah limbah sudah dalam proses pembangunan.

Farida berharap negara akan memberi dukungan atas kegelisahan anak-anak muda ini. Selama ini seluruh permodalan dan juga untuk pengadaan tempat diusahakan sendiri.

Dukungan paling berharga dan diharapkan berupa pembelanjaan dari lembaga negara yang ada. Apalagi di Kabupaten Donggala dan Palu sudah ada hari-hari tertentu yang diwajibkan menggunakan batik sebagai seragam.

“Jika tiap instansi memesan kepada kami, tentu ini akan menjadi energi anak muda untuk makin bersemangat merekrut para tetangga. Saat ini kami baru menggelar pelatihan bagi para tetangga di sekitar sanggar,” kata Farida.

 

Tak Ada Edukasi

batik donggala
Faridatul Kahfi mendirikan Sanggar Batik Banava 01 bersama teman-temannya di Donggala sebagai tonggak kebangkitan penyintas bencana. (foto: Liputan6.com/heri susanto)

Menggunakan nama Batik Banava 01 bukan tanpa alasan. Itu karena anak-anak muda yang bersemangat ini adalah perintis kerajinan batik di Donggala. Lebih banyak yang memilih menjadi pedagang atau makelar dengan mengambil dagangan dari pusat batik di Jawa.

Itu artinya motif-motif yang digunakan juga bukan motif yang mencerminkan kekayaan dan potensi Donggala serta Sulawesi Tengah secara umum. Bahkan, yang banyak diperjual belikan dan dikenakan justru bukan batik, namun kain-kain bermotif batik atau printing mesin dari industri besar tekstil.

“Nama Banava mengambil dari nama tempat kami di kecamatan Banawa. Angka 01 menunjukkan bahwa kami adalah pioner atau perintis. Mudah-mudahan nama ini membawa berkah,” katanya.

Ada juga nama Fadiyah, teman Farida. Ia sempat mengungkapkan keprihatinannya bahwa batik-batik yang dikenakan dan banyak dibeli para ASN bukanlah batik. Ini disebabkan karena minimnya edukasi kepada masyarakat.

“Mudah-mudahan kehadiran kami bisa mengedukasi warga Donggala dan Sulawesi Tengah,” katanya.

Simak video pilihan berikut:

 

Bangga Dikenakan Pasha

batik donggala
Mendatangkan guru dari Jawa untuk melatih anak muda menggagas motif Batik Donggala. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Pasha Ungu, Wakil Wali Kota Palu adalah salah satu pejabat publik yang memberikan dukungan real. Dukungan bukan dengan menjanjikan sesuatu, tapi membeli beberapa produk dari Batik Banava.

“Kami memang memiliki homebase di Banawa, Donggala. Namun kami ada untuk menginspirasi kebangkitan semua anak muda korban bencana. Dimanapun termasuk yang ada di luar Sulawesi,” kata Fadiya, salah satu alumni Paskibra Provinsi Sulawesi Tengah.

Pasha sendiri mengenakan Batik Donggala karena memang secara kultur sangat dekat dengan kehidupannya sebagai putra daerah. Ia menyampaikan bahwa yang dilakukan anak-anak muda itu memang layak untuk didukung.

Selamat datang kaum muda. Selamat datang kaum gembira, dengan batik gembiramu semakin asyik, dengan gembira batikmu akan melegenda.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya