Menelisik Jejak Kewalian Syeikh Abdul Muhyi Tasikmalaya

Dari berbagai sumber literasi, sejarah penyebaran Islam oleh Syeikh Abdul Muhyi di Tasikmalaya bermula saat ia berusia 27 tahun.

diperbarui 07 Mar 2020, 02:00 WIB
Diterbitkan 07 Mar 2020, 02:00 WIB
Ilustrasi arkeolog melakukan analisis pada gua.
Ilustrasi arkeolog melakukan analisis pada gua. (iStockphoto)

Tasikmalaya - Di Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, ada makam ulama yang konon sebagai penyebar agama Islam di Tasikmalaya. Makam tersebut banyak diziarahi masyarakat dari berbagai kota bahkan dari Provinsi Jawa Tengah, hingga saat ini.

Tempat tersebut yakni makam Syeikh Abdul Muhyi.

Dari berbagai sumber literasi, sejarah penyebaran Islam oleh Syeikh Abdul Muhyi di Tasikmalaya bermula saat ia berusia 27 tahun. Dia beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya yakni Syeikh Abdul Rouf bin Abdul Jabar untuk menunaikan ibadah haji.

Saat di Baitullah, gurunya mendapatkan ilham yang menyebut bahwa salah satu santrinya ada yang akan mendapatkan pangkat kewalian.

Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda maka Syeikh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya itu pulang dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana. 

Di suatu saat sekitar waktu asar, di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Syeikh Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya sebagai tanda-tanda tersebut.

Setelah kejadian itu, Syeikh Abdur Rauf membawa mereka pulang ke Kuala atau Aceh saat ini, pada 1677 M. Sesampainya di Kuala, Syeikh Abdul Muhyi disuruh pulang ke Gresik untuk minta restu dari kedua orang tua karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di sana.

Sebelum berangkat mencari gua, Syeikh Abdul Muhyi dinikahkan oleh orang tuanya dengan "Ayu Bakta" putri dari Sembah Dalem Sacaparana.

Tak lama setelah pernikahan, beliau bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan.

Atas permintaan penduduk setempat, Syeikh Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun terhitung dari 1678 hingga 1685 M. Kabar tentang menetapnya Syeikh Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya dan mereka menyusul serta ikut menetap di sana.

 

Baca berita menarik lainnya di Ayobandung.com.

Perjalanan Mencari Gua Pamijahan

Salah satu tokoh pemuda di Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Imam Mudofar menuturkan, Syeikh Abdul Muhyi berusaha mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, Syeikh Abdul Rauf, dengan mencoba beberapa kali menanam padi. Ternyata ia gagal karena hasilnya melimpah.

Padahal petunjuk dari gurunya itu, gua yang dicari akan ditemukan jika suatu tempat ditanami padi maka hasilnya tetap sebenih, artinya tidak menambah penghasilan.

"Karena tidak menemukan gua yang dicari, Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan perjalanan mencari gua," kata Imam, Kamis (5/3/2020).

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah ia di daerah Pamengpeuk yang termasuk wilayah Kabupaten Garut saat ini. Di sini, beliau bermukim selama 1 tahun antara 1685-1686 M, untuk menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama Hindu.

Setahun kemudian ayahandanya Sembah Lebewarta Kusumah meninggal dan dimakamkan di kampung dukuh di tepi Kali Cikaengan.

Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, ia melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun yakni dari 1686-1690 M.

Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang dicari, ia tdak putus asa dan tetap melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas gunung Kampung Cilumbu. Akhirnya dia turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil mencoba menanam padi.

 

Terpancar Sinar Kewalian

Pada suatu hari, Syeikh Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah.

Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat.

Untuk meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi. Ia berdoa kepada Allah, semoga gua yang dicari segera ditemukan.

"Dengan kekuasan Allah, padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama. Di sanalah beliau yakin bahwa di dalam gunung itu adanya goa," papar Imam kepada Ayotasik.com.

Sewaktu Syeikh Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicauan burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu. Keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya.

Seketika kedua tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah. Di tempat ini dahulu Syeikh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi.

Gua yang sekarang dikenal dengan nama Gua Pamijahan adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Syeikh Abdul Muhyi. Gua ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod.

Sejak gua ditemukan  Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim di sana. Di samping mendidik santrinya dengan ilmu agama, beliau juga menempuh jalan tarekat. (AMA/PNJ)

Simak Video Pilihan Berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya