Kisah Sanoen Pahlawan Lokal Kulonprogo yang Dihormati Polisi

Sanoen agen polisi di Kulonprogo gugur saat melawan penjajah Belanda tahun 1949 di dekat jembatan Bantar Sentolo. Nama Sanoen kini diabadikan menjadi nama Jalan di Wates, Kulonprogo.

oleh Yanuar H diperbarui 06 Apr 2020, 04:00 WIB
Diterbitkan 06 Apr 2020, 04:00 WIB
Sanoen Pahlawan Lokal Kulonprogo
Sanoen agen polisi di Kulonprogo gugur saat melawan penjajah Belanda tahun 1949 di dekat jembatan Bantar Sentolo. Nama Sanoen kini diabadikan menjadi nama Jalan di Wates, Kulonprogo. (Sigit W/Yanuar H)

Liputan6.com, Yogyakarta - Nama Sanoen mungkin tidak setenar Panglima Besar Jenderal Soedirman. Namun warga Kulonprogo sangat menghormati Sanoen pahlawan lokal karena kisah heroiknya melawan penjajah di usia yang sangat muda.

Kisahnya tidak banyak diketahui orang, bahkan mungkin sebagian generasi muda Kulonprogo. Namun, namanya layak menjadi salah satu pahlawan lokal di Kulonprogo. Ia gugur pada 4 April tahun 1949.

"Kepada Masyarakat Kulonprogo, kita punya pahlawan lokal yang meski mungkin kecil kontribusinya, tapi tetap perlu kita ingat, bahwa pengorbanan seorang Sanoen yang waktu gugur masih bujang berumur 23 tahun, patut menjadi suri tauladan terutama bagi generasi muda Kulonprogo," kata Sigit Widayanto salah satu anggota keluarga Sanoen kepada Liputan6.com Sabtu (4/4/2020).

Sigit yang merupakan keponakan Sanoen mengaku tidak banyak menyimpan cerita seorang Sanoen Pahlawan lokal Kulonprogo. Namun, ayahnya Sukarman Harsaya Susanto sering menceritakan kisah Sanoen dalam melawan penjajah.

"Bapak cerita tentang perjuangan Pakde Sanoen sangat membekas di hati saya. Bahkan menginspirasi cita-cita saya dulu menjadi tentara atau polisi, tapi Tuhan belum mengijinkan. Alhamdulillah jadi PNS," katanya.

Sigit mengatakan Sanoen beralamat di  Dusun Trukan,  Desa Kulur, Kecamatan Temon namun gugur saat melawan penjajah di daerah Sentolo, Kulonprogo. Kisah perlawanan melawan penjajah itu tersimpan di dalam dirinya.

"Yang teringat,  bahwa pakde Sanoen meninggal di Sentolo, saat kontak senjata dengan Tentara Belanda,  Beliau saat lari tersangkut (kesrimpet) tanaman benguk,  sehingga jatuh dan tertembak," kata PNS yang bertugas di Cilacap ini. 

Setelah gugur jasad Sanoen dimakamkan di Makam Gunung Asem atau Makam Sanoen, di dusun Setro,  desa Kulur, Temon, Kulonprogo satu kilometer dari rumah Sanoen. Ia mengapresiasi warga, komunitas sejarah, Pemkab Kulonprogo yang akan melaunching monumen Sanoen.

"Rencana pembuatan monumen tempat gugurnya Sanoen pahlawan lokal di Sentolo, yang rencana hari ini akan diresmikan tapi batal karena Covid 19, mungkin bisa didukung Pemkab Kulonprogo menjadi sesuatu yang monumental banget," katanya.

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Polisi Selalu Ziarah ke Makam Sanoen

Sanoen Pahlawan Lokal Kulonprogo
Sanoen agen polisi di Kulonprogo gugur saat melawan penjajah Belanda tahun 1949 di dekat jembatan Bantar Sentolo. Nama Sanoen kini diabadikan menjadi nama Jalan di Wates, Kulonprogo.

Sigit mengaku sejak kecil hingga hari ini ia memiliki pengalaman tersendiri saat para polisi yang setia ziarah ke makam Sanoen. Polisi sangat menghormati jasa Sanoen sehingga setiap 1 Juli selalu datang ke makam untuk ziarah.

"Saya alami sejak kecil sampai saya gede, setiap tanggal 1 Juli, makam Sanoen selalu didatangi rombongan Polres Kulon Progo (polisi + bhayangkari) untuk ziarah. Dulu sewaktu Simbah Ronowiryo putri masih sugeng, rombongan Polres selalu mampir ke rumah setiap habis dari ziarah ke makam," katanya.

Sigit mengaku kedatangan dari para polisi yang ziarah ini selalu dinantinya. Sebab para polisi ini selalu membawa buah tangan kepada keluarganya.

"Saat kunjungan ke rumah biasanya simbah & keluarga dibawakan oleh-oleh, roti, dan lain-lain. Saya yang masih kecil waktu itu seneng,  karena jarang makan roti," katanya.

Ia mengaku senang dengan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo yang mengangkat Sanoen menjadi salah satu tokoh pahlawan lokal. Bahkan buku soal Sanoen sudah dibuat yang menceritakan sepak terjang Sanoen ini semasa hidup.

"Seperti yang disampaikan Bapak saya di Dinas Kebudayaan dan di alun-alun waktu itu saat lounching buku Sejarah Sanoen, kami atas nama keluarga menyampaikan terima kasih," katanya.

Buku itu menjadi bentuk penghormatankepada anggota keluarganya. Ia berharap buku tersebut dapat menginspirasi dan memberikan manfaat bagi masyarakat terutama warga Kulonprogo.

"Buku yang sudah disusun harapannya bisa diedarkan ke sekolah-sekolah secara gratis sebagai muatan lokal sejarah kepahlawanan lokal di Kulonprogo," katanya.

Ia mengaku bangga memiliki keluarga yang dapat menginspirasi banyak orang. Warga Kulonprogo melalui buku yang diterbitkan Dinas Kebudayaan Kulonprogo dapat mengambil nilai yang baik dari sikap Sanoen itu.

"Nilai patriorisme, kepahlawanan jelas, juga rasa cinta pada negara dan keluarga (orang tua dan saudara-saudaranya)," katanya.

Penghargaan warga selain diterbitkannya buku juga terlihat dari pemberian nama jalan di Wates yang menggunakan nama Jalan Sanoen. Tidak hanya itu, pemberian nama Sanoen juga disematkan ke makam dan nama lapangan. 

"Nama lapangan Brimob di Ngeplang Sentolo. Nama jalan di Wates,  belakang penjara,  ke utara sampai depan Dinas Kebudayaan. Nama jalan utama masuk Trukan dr pasar dondong (karena nama jalan tidak boleh sama, maka nama resmi jalan di Kulur tidak digunakan)," katanya.

Buku Sanoen

Sanoen Pahlawan Lokal Kulonprogo
Sanoen agen polisi di Kulonprogo gugur saat melawan penjajah Belanda tahun 1949 di dekat jembatan Bantar Sentolo. Nama Sanoen kini diabadikan menjadi nama Jalan di Wates, Kulonprogo. (Athoillah/Yanuar H)

Ahmad Athoillah tim penyusun buku Jalan Sanun dan Lapangan Sanun Sejarah Kehidupan Agen Polisi Sanoen menjelaskan ringkasan perjalanan hidup Sanoen yang dimulai tahun 1926, Sanoen dilahirkan dari pasangan Ronowiryo dan Tugiyem di pedukuhan Trukan, Desa Kulur, Kapanewon Temon, Kulonprogo. Sanoen masuk sekolah Kawula Pakualaman di Kaligintung tahun 1936.

"Tahun 1939 Sanoenmelanjutkan sekolah Ongko Loro di Sogan dan melanjutkan Sekolah peralihan di Temon," katanya.

Athoillah melanjutkan, tahun 1942 sekolah Peralihan di Temon bubar karena kedatangan militer Jepang. Tahun 1943 Sanoen kemudian bergabung dalam kesatuan Keibodan di Kulur.

"Tahun 44 ia belajar bahasa Jepang di Sogan. Akhir tahun 45 dan awal tahun 1946 ia bekerja jadi karyawan kecap di Bandung," katanya.

Athoillah mengatakan sebelum dan sesudah bulan Maret Tahun 1946 Sanoen pulang dari Bandung karena ada peristiwa Bandung Lautan Api. Diduga peristiwa di Bandung itu merupakan kesaksian pertama Sanoen dengan peristiwa revolusi kemerdekaan RI.

"Juni 1946 Sanoen masuk anggota kepolisian RI dan menjalani pendidikan Agen Polisi di Sekolah Polisi Negara di Mertoyudan Magelang. Diperkirakan bertugas di kompi Staf Dekking Mobile Brigadea di Mertoyudan,"katanya.

Tanggal 19 Desember 1948 Yogyakarta diserang Belanda. Saat itu Sanoen sudah melakukan perjalanan perang Gerilya sampai rumahnya di Kulur.

"Januari 1949 Sanoen bergabung dengan Laskar Tentara Pelajar di Wates dalam sesi 352 kompi V Batalyon 300 Yogyakarta. Bertugas membuat kubu pertahanan di Kulonprogo, dan mengadakan sabotase terutama di dekat Pos Bantar pos penting Belanda saat itu," katanya.

Detik Detik Gugurnya Sanoen

Sanoen Pahlawan Lokal Kulonprogo
Sanoen agen polisi di Kulonprogo gugur saat melawan penjajah Belanda tahun 1949 di dekat jembatan Bantar Sentolo. Nama Sanoen kini diabadikan menjadi nama Jalan di Wates, Kulonprogo. 9A Athoillah / Yanuar H)

1 Maret Sanoen terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Minggu terakhir bulan Maret 1949 ia terakhir kali bertemu dengan sahabat dekatnya di Pedukuhan Bojong, Kulur, Temon Suparlan Corkroprawiro.

"Sanoen mengatakan kepada Suparlan bahwa ia rela berkorban berjuang untuk generasi selanjutnya walau ia sendiri tidak akan pernah dapat menikmati hasil perjuangannya," katanya.

31 Maret 1949 menyatakan kepada Surodimejo bahwa ia rela mati seperti katak sekalipun asalkan matinya diakui Negara Republik Indonesia. Ia menyatakan sudah bulat tekad dan siap gugur dalam pertempuran.

"1 April Sanoen pamitan dengan keluarganya di Trukan untuk bertugas di tentara Pelajar," katanya.

4 April Sanoen melakukan operasi militer di dekat pos Pasukan Belanda di Jembatan Bantar dan tertembak hingga gugur sebelum azan Dhuhur berkumandang. Namun Jenazah baru dievakuasi pada jam 22.00 WIB dari lokasi gugurnya di pekarangan Madyowasito di Weden, Sentolo Lor.

"5 April 1949 jenazah Sanoen sampai di Balai Desa Kuliur jam 05.00 WIB dan dibawah ke rumahnya di Trukan Kulur jam 08.00 WIB kemudian dimakamkan pada pukul 14.00 sampai selesai," katanya.

Tanggal 9 Juli 1968 Almarhum Sanoen mendapatkan gelar Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia melalui surat Menteri Veteran adan Demobilisasi. 6 November 1969 R Sutedjo bupati Kulonprogo waktu itu memutuskan nama Sanoen digunakan menjadi nama sebuah jalan di Rumah Sakit Wates sampai Tunjungan dengan nama Jalan Sanoen (Sanun).

Simak video pilihan berikut Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya