Predator Anak Makin Marak di Sumbar, Pengamat: Ada yang Salah di Masyarakat

Dalam kurun waktu sekitar dua minggu, polisi di sejumlah daerah di Sumatera Barat mengamankan setidaknya tiga pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur.

oleh Novia Harlina diperbarui 06 Mei 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 06 Mei 2020, 00:00 WIB
Polisi memeriksa pelaku pencabulan terhadap anak kandungnya di Kota Padang.
Polisi memeriksa pelaku pencabulan terhadap anak kandungnya di Kota Padang.

Liputan6.com, Padang - Dalam kurun waktu sekitar dua minggu, polisi di sejumlah daerah di Sumatera Barat mengamankan setidaknya tiga pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur. Bahkan di antaranya korbannya ada yang hamil. Parahnya, pelaku masih memiliki hubungan darah dengan korban. 

Pada 20 April 2020, Kepolisian Resor Dharmasraya mengeluarkan rilis ditangkapnya seorang petani yang mencabuli tetangganya yang masih di bawah umur ketika rumah korban dalam keadaan sepi.

Pelaku bahkan melakukan tindakan kekerasan kepada korban saat melancarkan aksinya. Padahal pelaku sudah memiliki istri.

Tidak hanya sekali, kejadian itu dimulai pada sejak Agustus 2019 setidaknya hingga kejadian terakhir pelaku sudah memperkosa korban sebanyak 8 kali.

Kemudian pada 30 April 2020, Polres Dharmasraya kembali mengeluarkan rilis seorang petani mencabuli dua orang tetangganya dengan iming-iming uang Rp50 ribu.

Dari dua orang korban tersebut, salah satunya hamil 6 bulan. Kejadian bermula pada pertengahan Mei 2019, atau lebih kurang satu tahun sampai akhirnya diketahui ibu korban.

Kapolres Dharmasraya menyebut pelaku dijerat dengan UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 23 Tahun 2002 dengan ancaman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.

"Kami mengimbau seluruh masyarakat Dharmasraya agar lebih waspada saat meninggalkan anaknya seorang diri rumah," katanya.

Kejadian terbaru, di Kota Padang seorang ayah menyetubuhi anak kandungnya sendiri. Perilaku bejat itu berlangsung selama lebih kurang 4 tahun atau sejak tahun 2016.

Kanit Reskrim Polsek Koto Tangah, Kota Padang Ipda Heru Gunawan mengatakan kejadian ini terungkap karena korban kabur dari rumah, karena korban tidak tahan lagi dengan perbuatan ayahnya.

Kemudian ibu korban mencari anaknya, saat ditemukan korban berada di rumah temannya dan akhirnya memberitahukan perbuatan ayahnya kepada ibu kandungnya tersebut.

Saat kejadian pertama kali, pada 2016 korban saat itu berusia 15 tahun atau masih duduk di bangku SMP.

Tidak terima perbuatan suaminya tersebut, ibu korban segera melaporkan ke Mapolsek Koto Tangah, dengan Laporan Polisi : LP/241/B/V/2020/sektor tanggal 03 Mei 2020.

"Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan korban, kami langsung menangkap pelaku, saat ini sudah mendekam di tahanan Mapolsek Koto Tangah," ujar Heru.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Kurangnya Kontrol Sosial

Pelaku pencabulan terhadap anak kandungnya di Kota Padang.
Barang bukti kasus pencabulan seorang ayah terhadap anak kandungnya di Kota Padang.

Melihat sejumlah kasus tersebut, Pengamat Sosial dari Universitas Andalas, Dr Jendrius mengungkapkan kejadian itu menunjukkan ada sesuatu yang salah terjadi di tengah masyarakat.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kejadian itu, yang pertama kurangnya kontrol sosial dari masyarakat sekitar. Keluarga, tetangga, teman dan orang di lingkungan itu tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi.

"Kurangnya kepedulian dan kontrol sosial dari lingkungan ditunjukan dari sejumlah kasus, dimana pelakunya adalah orang-orang terdekat korban," ujarnya.

Ketika seharusnya korban berada di zona aman, lanjutnya namun sebaliknya, mereka malah jadi korban dari orang yang melindunginya.

Kemudian faktor selanjutnya, belum optimalnya edukasi seksual sejak dini kepada masyarakat. Seharusnya anak-anak di bawah umur sejak duduk di bangku sekolah sudah diberi edukasi seksual.

"Tidak perlu yang rumit, mereka setidaknya diedukasi, tidak ada yang boleh menyentuh area vitalnya selain dirinya sendiri atau ibunya," kata Jendrius.

Ketika predator seksual menjalankan aksinya, korban berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan karena adanya paksaan dan bujuk rayu dari pelau.

Kemudian dalam ajaran Minangkabau, katanya seorang anak perempuan yang beranjak remaja atau dewasa juga tidak boleh terlalu dekat dengan ayahnya dalam artian sentuhan fisik.

"Ini langkah yang harus diperhatikan agar kasus-kasus seperti ini tidak terjadi lagi," Jendrius menambahkan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya