Kejawen Banyumas dan Cilacap Lebaran Idul Fitri pada Senin Manis

Kejawen menggunakan kalender Alif Rebo Wage atau Aboge

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 22 Mei 2020, 02:00 WIB
Diterbitkan 22 Mei 2020, 02:00 WIB
Ilustrasi - Penghayat kepercayaan dan penganut Kejawen menggelar ritual Punggahan di Panembahan Bonokeling, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ilustrasi - Penghayat kepercayaan dan penganut Kejawen menggelar ritual Punggahan di Panembahan Bonokeling, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Komunitas Kejawen dan pelestari adat di Kabupaten Banyumas dan Cilacap, Jawa Tengah baru akan merayakan Idul Fitri pada Senin pasaran Manis, 25 Mei 2020.

Artinya, lebaran Kejawen berselang sehari setelah keputusan pemerintah yang diperkirakan menetapkan hari raya Idul Fitri pada Minggu, 24 Mei 2020.

Juru Bicara Komunitas Banokeling, Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Sumitro mengatakan Kejawen menggunakan kalender Alif Rebo Wage atau Aboge. Penanggalan Aboge, mengenal kalender sewindu.

Dalam sewindu, tahun memiliki nama untuk memudahkan penghitungan. Tahun ini adalah tahun Wawu sehingga tahun baru 1 Sura tiba pada Selasa Kliwon.

Untuk menentukan lebaran Idul Fitri, Aboge memiliki rumus Waljiro atau Syawal Siji Loro, yang berarti hari raya Idul Fitri tiba pada hari pertama dan pasaran kedua. Hari pertama dalam Aboge adalah Senin, sedangkan pasaran kedua adalah Manis.

“Tahun Wawu, 1 Suranya Senin Kliwon. Lebaran dengan rumus Waljiro, sehingga Bada (lebaran) tiba di hari Senin Manis,” Sumitro menjelaskan, Kamis malam, 21 Mei 2020.

Dia menjelaskan, biasanya Komunitas Banokeling menggelar beragam acara. Di antaranya ziarah ke Penembahan Banokeling dan Sungkeman di balai desa. Dalam kondisi ratusan orang mengikuti acara ini.

Akan tetapi, lantaran ada pembatasan interaksi atau physical distancing, Komunitas Banokeling menggelarnya tanpa kehadiran masyarakat. Ziarah hanya diikuti oleh delapan orang. Begitu pula dengan sungkeman di balai desa yang hanya diikuti oleh delapan orang.

“Yang ikut kiai kunci satu, lima bedogol, kayim, sama Pak Lurah,” ucapnya.

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lebaran Penganut Kejawen di Cilacap

Masyarakat adat dan penganut Islam Kejawen di Kalikudi, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, menggelar tradisi Pudunan.  (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Masyarakat adat dan penganut Islam Kejawen di Kalikudi, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, menggelar tradisi Pudunan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Menurut dia, pembatasan peserta ini penting untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Terlebih, pemerintah telah melarang acara yang melibatkan banyak orang.

Sama, dengan Komunitas Kejawen di Banyumas, komunitas Kejawen dan pelestari adat di Cilacap pun berlebaran pada Senin Manis atau selang sehari setelah ketetapan pemerintah. Tetua Anak Putu Kalikudi, Kunthang Sunardi mengatakan tahun ini adalah tahun Wawu sehingga lebaran Idul Fitri tiba pada Senin Manis.

Sebelumnya, Penganut Kejawen dan pelestari adat di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pun berpuasa Ramadan selang sehari setelah ketetapan pemerintah, yakni pada Sabtu (25/4/2020).

Kunthang mengatakan anak putu menggunakan kalender Alif Rebo Wage atau Aboge. Dalam kalender Aboge, tahun ini adalah taun Wawu sehingga rumusnya adalah Ram Jiji.

Pada tahun Wawu, awal tahun atau 1 Bulan Sura jatuh di hari Senin Kliwon. Adapun rumus untuk menentukan awal puasa adalah Sanemro atau puasa nenem loro. Karenanya, tanggal 1 Puasa tiba di hari Sabtu pasaran Manis, atau Sabtu 25 April 2020.

“Patokannya, kalau tahun Wawu, itu kan 1 Suranya 1 kliwon. Nah, kalau puasa, itu memakai rumus Sanemro. Nemro, itu berarti kan, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu. Harinya Sabtu, Ro-nya itu berarti Kliwon, Manis. Berarti, Sabtu Manis,” ucap Kunthang.

Kunthang mengemukakan, meski berbeda hari dengan ketentuan pemerintah, masyarakat Kalikudi tidak pernah mempermasalahkan.

Masyarakat saling menghargai perbedaan kalender ini. Menurut dia, sejak ratusan tahun lalu, masyarakat telah terbiasa hidup berdampingan dengan rukun, penuh toleransi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya