Solo - Sejak Juli 2019 Manusia Bumiayu menjadi perbincangan. Penemuan potongan fosil manusia purba yang diperkirakan berumur 1,8 juta tahun menjadi pusat perhatian.
Artinya Manusia Bumiayu tercatat yang tertua di Jawa. Tidak menutup kemungkinan Manusia Bumiayu merupakan nenek moyang Manusia Sangiran (Sragen) atau Manusia Wajak (Tulungagung).
Kini Museum Mini Purbakala Bumiayu di Desa Kalierang, Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah menjadi saksi bisu aneka fosil. Ada serpihan tulang mamalia bergading besar mirip gajah purba alias Sinomastodon.
Advertisement
Baca Juga
Kemudian spesimen kerbau, banteng, kuda air, badak, hingga kura-kura. Batuan fosil itu bertengger di rak-rak bercat hijau di dalam ruangan 10 x 12 meter. Tentu yang menjadi perhatian adalah fosil tulang paha, rahang, serta akar gigi manusia purba (Homo erectus).
Kala itu, tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta yang terjun ke Bumiayu, dipimpin Profesor Harrry Widianto dari LIPI. Mereka menaksir fosil itu berumur 1,8 juta tahun.
Mengutip Solopos.com, umur fosil itu 300.000 tahun lebih tua dibanding Homo erectus dari Sangiran, Sragen, Jawa Tengah, yang saat ini menjadi salah satu pusat purbakala dunia.
Sebagaimana dikutip dari laman Indonesia.go.id, beberapa waktu lalu, penaksiran umur fosil Manusia Bumiayu ini berdasar analisis stratigrafi terhadap batuan tempat fosil berada, dibarengi identifikasi formasi batuannya yang termasuk ke Formasi Kali Glagah bagian tengah-bawah.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Bumiayu Pantai Timur Pulau Jawa
Identifikasi batuan Kali Glagah ini pula yang mengantar pada pengungkapan lain. Pada 2,4 juta tahun silam Bumiayu adalah Pantai Timur Pulau Jawa, sebelum Pulau Jawa terbentuk dalam formasi yang sekarang.
Pulau Jawa bagian tengah dan timur tumbuh belakangan akibat pengangkatan Lempeng Benua Asia yang diungkit oleh Lempeng Benua Australia dan dipercepat dengan adanya aktivitas vulkanik yang membentuk deretan gunung-gunung berapi. Sisi timur Jawa itu bersambung dengan sisi barat pada garis sepanjang pantai antara Tegal-Bumiayu.
Temuan fosil yang menjadi perhatian ini bisa menjadi awal pembuka penelitian berikutnya. Paling tidak, kawasan Bumiayu kembali menjadi situs purbakala yang penting setelah sekian lama luput dari perhatian para peneliti.
Sebenarnya sekitar seabad silam, banyak sarjana Belanda melakukan penggalian di kawasan Bumiayu. Namun, Bumiayu kemudian seperti terlupakan karena tidak banyak fosil lagi yang tergali.
Kemudian inisiatif warga yang suka rela mengumpulkan batu-batu fosil dan mengoleksinya di Museum Mini, pada akhirnya bisa membawa ke penemuan penting.
Bisa jadi Homo erectus tertua di Indonesia bukan lagi tercatat atas nama “Manusia Sangiran”, melainkan “Manusia Bumiayu”. Bahkan, Harry Widianto tak menutup kemungkinan Manusia Sangiran itu adalah hasil migrasi Manusia Bumiayu.
Dengan adanya bukti ada manusia purba 1,8 juta tahun lalu di Bumiayu dan pada 2,4 juta tahun lalu kawasan di situ masih berupa pantai, serta mengacu ke teori tentang migrasi manusia purba, Harry menduga bahwa tempat pendaratan Hominid (dari wilayah lain) adalah Pantai Bumiayu.
Advertisement
Teori Out of Africa
Di situ pula lahir nenek moyang manusia purba versi Jawa semisal Homo wajakensis yang hidup sampai 50.00 tahun lalu dan memiliki ciri-ciri mendekati sosok Homo sapiens.
Harry mengatakan penemuan fosil Manusia Bumiayu ini menguatkan fondasi klaim atas teori Multi-Regional. Teori ini mengonstruksikan bahwa evolusi dari Homo erectus menjadi Homo sapiens (manusia modern) tidak hanya terjadi di Afrika Tengah.
Teori Multi-Regional itu merupakan tandingan dari teori Out of Africa yang lebih diterima secara luas. Teori Out of Africa menjelaskan Homo sapiens lahir dari proses evolusi Homo erectus.
Padang savana Afrika dianggap ikut mendukung proses evolusi makhluk bipedal (yang berdiri dengan dua kaki) menjadi lebih konvergen ke arah Homo erectus yang lebih pandai menggunakan kaki untuk bergerak dan tangan untuk mencari makanan sekaligus membela diri.
Lantas cara hidup di padang rumput itu juga mendorong berkembangnya tingkat kecerdasan hingga Homo erectus itu berkembang menjadi Homo sapiens.
Setelah tumbuh menjadi Homo sapiens, menurut teori Out of Africa, makhluk-makhluk cerdas itu pun bermigrasi ke suluruh penjuru dunia dan menjadi leluhur manusia modern.
Teori Multiregional
Penemuan bahasa dan api adalah penemuan besar yang mempercepat perkembangan kecerdasan Homo sapiens. Penemuan api yang berlanjut dengan penemuan tekniik memasak makanan dengan pemanasan.
Ini membuat pola diet Homo sapiens generasi awal itu lebih efisien untuk mendapatkan asupan kalori dan makanan bergizi. Tingkat kecerdasan makin berkembang.
Teori Out of Africa itu sejak lama menghadapi perlawanan dari teori Multi-Regional. Hal ini ditandai dengan adanya manusia purba Homo neanderthal dari Eropa, Manusia Dminasi (Georgia), Manusia Longgupo (China), Manusia Wajak (Tulungagung).
Mereka diangggap sebagai nenek moyang penduduk asli setempat dan tidak bisa diabaikan. Dalam versi teori Out of Africa, manusia purba Neanderthal, Manusia Dminasi, Longggupo, dan Manusia Wajak, punah dan digantikan Homo sapiens dari Afrika Tengah.
Bagaimana dengan posisi Manusia Bumiayu? Bila peneliti dari Eropa mengklaim menemukan jejak DNA Neanderthal di Homo sapiens yang bisa membuka kemungkinan bahwa Homo sapiens lokal telah bercampur dengan pendatang dari Afrika Tengah.
Apakah anak cucu Manusia Bumiayu ini bercampur dengan manusia pendatang dari Afrika atau punah di tengah perjalanan? Tentu butuh penelitian lanjutan untuk bisa menjawab teka-teki itu.
Dapatkan berita menarik Solopos.com lainnya, di sini:
Advertisement