Liputan6.com, Bengkalis - Rumah kayu dan rumah batu itu bergandengan di sebuah pemukiman Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis. Setiap rumah-rumah batu, berdiri lagi satu rumah kayu, baik itu di belakang atau di sampingnya.
Satu rumah batu dan satu rumah kayu tersebut masih satu pemiliknya. Rumah kayu biasanya lebih dipilih sebagai pusat aktivitas, misalnya memasak bahkan tidur pada malam hari.
Advertisement
Baca Juga
Sementara rumah batu biasanya kosong. Sesekali dijadikan tempat duduk santai melihat orang lalu lalang di jalan aspal yang membelah permukiman tersebut.
Permukiman ini menjadi salah satu tempat Suku Sakai tinggal. Satu kepala keluarga mendapatkan rumah layak huni dari Pemerintah Kabupaten Bengkalis.
"Meski dapat bantuan, Suku Sakai tetap membangun rumah satu lagi di belakang ataupun di sampingnya, biasanya berbentuk pondok," kata Budi Fajar, tokoh pemuda di Kecamatan Bathin Solapan, mendampingi wartawan masuk ke permukiman itu, Rabu petang, 23 September 2020.
Sakai merupakan salah satu masyarakat adat di Riau, persisnya di Kabupaten Bengkalis. Dulunya, Suku Sakai tinggal di pondok-pondok kecil pinggiran sungai di Kabupaten Bengkalis.
Sungai menjadi sumber kehidupan Suku Sakai. Dari sungai Suku Sakai hidup dengan mencari ikan. Kemudian dari alam, Suku Sakai mencari sumber kebutuhan lainnya, termasuk membuat baju dari kulit kayu.
Dulunya, Suku Sakai merupakan penganut animisme. Maka tak heran mereka menghargai alam dan roh leluhur serta jarang menebang kayu dari hutan kecuali seperlunya saja.
Â
Â
Â
Â
Â
Simak Video Pilihan Berikut:
Memeluk Agama
Seiring masuknya agama Islam di Kabupaten Bengkalis dan perhatian pemerintah, sebagian masyarakat Suku Sakai pindah meninggalkan sungai dan mendapat rumah layak huni.
"Namun, saat ini masih ada yang tinggal di pinggir sungai, membuat pondok di sana dan hidup mencari ikan. Tidak mau pindah," kata Budi.
Di sisi lain, adapula Suku Sakai yang betul-betul meninggalkan animisme dan mempelajari Islam secara serius. Untuk kategori ini, masyarakatnya tidak membuat rumah kayu lagi.
"Kalau yang masih membuat rumah kayu meski ada rumah bantuan, itu masih menganut animisme meskipun sudah memeluk Islam," kata Budi.
Suku Sakai sendiri dipimpin kepala bergelar Bathin. Ada sembilan Bathin dari keseluruhan suku yang ada sehingga ada nama Kecamatan Bathin Solapan.
"Selopan itu sembilan, artinya sembilan Bathin," jelas Budi.
Dari sembilan Bathin, ada namanya Bathin Pucuk atau pimpinan tertinggi. Pemilihannya dilakukan secara musyawarah oleh Lembaga Adat Suku Sakai Kabupaten Bengkalis.
Sementara untuk Bathin lainnya, biasanya dipilih berdasarkan penunjukan langsung Bathin sebelumnya. Biasanya yang dipilih adalah keturunan, baik itu anak ataupun cucu.
Layaknya pemimpin negara, Bathin juga punya perangkat pemerintah, mulai dari panglima perang hingga panogak atau orang yang kreatif dan cerdas.
"Panogak ini selalu membuat kerajinan, misalnya pengelolaan bank sampah bekerjasama dengan instansi pemerintah ataupun perusahaan," terang Budi.
Setiap orang luar bertemu dengan Bathin, panglima perang selalu ada dan memilih duduk di belakang tamu. Omongan yang membuat Bathin tersinggung bisa berakibat fatal jika panglima bertindak.
"Makanya tadi pas kita berbicara dengan Bathin, harus hati-hati. Masuknya pelan-pelan, kalau sudah diterima maka Bathin ini sangat ramah," kata Budi.
Advertisement
Pemilihan Bathin
Sebelum pulang, Budi sempat meminta nomor telepon Bathin. Karena disambut baik, Bathin bernama Abiyan ini menyuruh panglima perangnya mengasih nomor telepon.
"Jadi nanti kalau ada keperluan, harus berhubungan dengan panglima dulu. Kalau Bathin setuju, maka bisa berhubungan langsung," ucap Budi.
Wartawan sempat bertanya kenapa rumah kayu lebih dipilih warga Sakai sebagai tempat beraktivitas. Bathin Abiyan hanya tersenyum dan tidak menjelaskan secara rinci.
"Gak ada, lebih enak saja di rumah kayu," ucap Bathin Abiyan.
Bathin Abiyan merupakan penerus dari pemimpin sebelumnya yaitu Bathin Musa. Nama terakhir sudah berusia 100 tahun dan lebih banyak beristirahat di kamar.
Penunjukan Bathin Abiyan sebagai penerus tak dilakukan sembarangan. Konon katanya, Bathin Musa melakukan ritual untuk mendapatkan petunjuk dari roh leluhur.
"Gak sembarangan milihnya itu karena penerus untuk memimpin suku," cerita Budi.
Wartawan sempat ingin melihat kehidupan Suku Sakai yang memilih tinggal di pinggir sungai. Kabarnya, Suku Sakai di sana masih banyak memakai pakaian seadanya yang diambil dari kulit kayu.
"Tapi janganlah, nanti tak bisa pulang kita," ucap Budi.
Kata Budi, Suku Sakai di pinggir sungai tidak memperbolehkan orang lain keluar dari kampungnya jika ada perasaan senang. Begitu juga kalau sempat membuat satu warga tersinggung.