Liputan6.com, Palembang - Suara derit kayu jenis Unglen terdengar jelas, ketika menginjakkan kaki ke lantai Rumah Limas . Deretan kayu-kayu tembesu berwarna cokelat ketuaan yang kokoh pun, membawa para pengunjung masuk ke dimensi masa lalu.
Ada banyak ornamen-ornamen klasik yang menghiasi pemandangan, di dalam rumah yang berusia 300 tahun yang menjadi koleksi Museum Negeri Sumatera Selatan (Sumsel) atau dikenal dengan Museum Bala Putra Dewa.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Di mana, rumah panggung yang dilestarikan di museum beralamatkan di Jalan Srijaya 1 Kecamatan Alang-Alang Lebar Palembang tersebut, mewakili kearifan lokal Sumsel yang masih dilestarikan hingga sekarang.
Tidak hanya sebagai hunian saja, Rumah Limas juga mengajarkan banyak nilai-nilai kehidupan. Di setiap sudut rumah berbentuk panggung dan beratap limas, terkandung filosofi keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan Yang Maha Esa (YME).
Keunikan dan kekayaan nilai-nilai kehidupan inilah, yang membuat Rumah Limas terpilih menjadi salah satu gambar yang diabadikan di lembaran uang Rp10.000, yang dicetak pertama kali di tahun 2010 lalu.
Pengelola Rumah Limas yang juga staff Museum Negeri Sumsel Nurlela menceritakan, bagaimana sejarah Rumah Limas khas Sumsel tersebut.
Rumah Limas tersebut awalnya dibangun sekitar tahun 1830 oleh Kepala Suku Bangsa Arab di masa Kolonial Belanda yang bernama Syarif Abdurrahman Al-Habsy. Ada banyak perpaduan etnis dalam pembangunan Rumah Limas, seperti Melayu, Jawa, Islam hingga Tionghoa.
Namun Rumah Limas yang dibangun di masa Kesultanan Palembang Darussalam tersebut, juga sarat akan nilai-nilai budaya Islam. Seperti atap rumah menyerupai tanduk kambing atau disebut simbar.
"Ada 2 simbar yang melambangkan Adam dan Hawa, 3 simbar berarti matahari, bulan dan bintang, lalu 4 simbar berarti empat sahabat nabi, 5 simbar mengisyaratkan jumlah rukun Islam dan 6 simbar menyimbolkan jumlah rukun iman. Sedangkan di setiap sisi atap Rumah Limas, mempunyai kemiringan yang sama yaitu 40-60 derajat," ucapnya kepada Liputan6.com, Sabtu (26/9/2020).
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :
Sarat Nilai Kehidupan
Tiang-tiang kokoh yang menyangga bagian bawah Rumah Limas pun, menggambarkan bagaimana hunian ini beradaptasi dengan kontur daerah Palembang. Di masa lalu, hingga 75 persen kawasan Palembang berada di rawa atau perairan.
Fungsi tiang yang berbahan kayu tembesu ini sendiri, agar bisa dibangun di atas rawa-rawa dan bisa terhindar dari aktifitas binatang buas serta banjir.
Keunikan Rumah Limas tak berhenti di situ saja. Di dalam Rumah Limas, ada berbagai tingkatan yang juga sarat akan filosofi kehidupan.
"Di tingkatan pertama disebut pagar tenggalong, filosofinya sebagai siklus kehidupan. Setiap tingkatan dibatasi oleh Kekinjeng. Bahkan di dinding teras, menggunakan pagar khusus seperti kaca riben. Di mana, orang di dalam bisa melihat aktifitas di luar rumah, sedangkan di luar tidak bisa melihat aktifitas di dalam rumah," katanya.
Pembatas dinding ini juga mempunyai filosofi unik. Yaitu, para anak perempuan yang akan dijodohkan ke pria, bisa melihat terlebih dahulu sosok pria tersebut dari luar. Sehingga, budaya ini membuat anak-anak perempuan pada saat itu terjaga kesuciannya.
Ada juga pintu lawang yang berada di atas atap teras, yang bisa diturunkan sebagai dinding pembatas jika ada tamu di teras.
Pintu lawang atau disebut Kiam Kipas, yang membatasi ruang teras dan ruang keluarga. Dan ada juga Lawang Kerek atau Lawang Porotan, yang digunakan untuk akses pintu sehari-hari.
Advertisement
Makna Ukiran Dinding
"Tingkatan kedua disebut Jogan, yang menjadi ruang penjagaan untuk prajurit. Ada juga gerobak leket yang multifungsi, bisa untuk tempat hiasan dan penyekat antara ruang tengah dan kamar. Serta tingkatan ketiga yaitu ruang gegajah, di mana ruangan ini khusus untuk tamu kehormatan atau orang yang dituakan," ucapnya.
Lalu, di tingkatan ke empat yaitu ruang kerja yang digunakan untuk memasak, menenun dan aktifitas lainnya.
Sedangkan tingkatan ke lima disebut Sesimbur Pengantin, yang biasanya lebih dekat dengan sumber air. Tingkatan ini juga biasanya digunakan untuk toilet di masa lalu, agar bisa lebih dekat dengan Sungai Musi.
Selain tingkatan, ada juga beragam motif ukiran di dinding-dinding Rumah limas. Seperti bunga pakis, yang bisa hidup di tempat yang tidak ada persediaan makanan.
Di mana filosofinya, pemimpin yang bisa mengayomi dan melindungi. Lalu ada ukiran bunga tanjung, yang bermakna ucapan selamat datang, serta ukiran bunga melati berarti kesucian.
Tak hanya Rumah Limas, Museum Negeri Sumsel juga turut menghadirkan Rumah Ulu, yang merupakan rumah tadisional yang berasal dari Desa Asam Kelat, Kecamatan Pengandonan Kabupaten OKI Sumsel. Rumah tradisional ini sendiri mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu dirancang agar tahan terhadap bencana alam gempa bumi.
Rumah Ulu Sumsel
"Rumah Ulu ini biasanya berfungsi sebagai rumah tumpangan bagi para kusir pedati, atau rumah singgah sementara. Di bagian dalamnya, hanya dialasi oleh potongan bambu-bambu karena hanya dihuni untuk sementara waktu," katanya.
Rumah yang ditaksir berusia sekitar 200 tahun ini, akhirnya diserahkan ke Museum Negeri Sumsel pada tanggal 20 November 1992 lalu.
Penggiat Budaya Sumsel Erwan Setia Negara mengungkapkan, adanya dokumentasi di uang Rp10.000 bisa membantu publikasi dan pelestarian Rumah Limas. Sehingga, masyarakat dari generasi ke generasi di Sumsel, bisa mengetahui rumah tradisional daerah.
"Dari bentuknya saja, Rumah Limas mempunyai banyak filosofi. Seperti bagian tiang di bawah bermakna sebagai sebagai hubungan manusia dengan alam atau makroposmos. Bagian badan rumah disebut mikrokosmos, terkait langsung manusia bersifat intern keluarga, sedangkan bagian atap bermakna metakosmos, yang berhubungan dengan ketuhanan," ujarnya.
Dengan tetap dilestarikannya Rumah Limas di Museum Negeri Sumsel tersebut, dia berharap para generasi muda bisa mempelajari banyak kearifan lokal dan nilai-nilai kehidupan positif, salah satunya saling menghargai antarsesama.
Advertisement
Usulan Rumah Limas
Kepala UPTD Museum Negeri Sumsel Chandra Amprayadi mengatakan, Rumah Limas diusulkan oleh Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) III Prabu Diradja semasa hidup.
"Usulan tersebut disetujui oleh pihak Bank Indonesia pada tahun 2010 di uang lembaran Rp10.000, dan fotonya diambil di museum di sini. Setelah adanya dokumentasi di pecahan uang tersebut, publikasi museum ini semakin terbantu. Banyak yang datang ke mari, karena penasaran dengan Rumah Limas di dalam lembaran uang tersebut," ucapnya.
Sebelum diletakkan di Museum Negeri Sumsel, Rumah Limas tersebut sudah beberapa kali pindah tangan dari pemilik pertamanya.
Seperti pernah dihuni oleh Pangeran Punto dari Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Sumsel, lalu berpindah ke tangan Pangeran Baton dari Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumsel.
Setelah itu, rumah bersejarah ini diambil alih oleh Kolonial Belanda di masa penjajahan dan dijadikan museum bernama Rumah Bari sekitar tahun 1920. Namun lama-kelamaan, Rumah Limas yang berada di Jalan Merdeka Palembang tersebut akhirnya terbengkalai.
"Di tahun 1985, Ibu Tien Soeharto membuat Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta dan mengumpulkan seluruh rumah adat di Indonesia. Karena biaya pengangkutan Rumah Limas mahal, akhirnya di TMII Jakarta, dibuat replikanya. Sedangkan Rumah Limas asli diletakkan di museum ini," katanya.