Koalisi Sipil Kutuk Kekerasan terhadap Demonstran Penolak Omnibus Law di Bandung

Koalisi Masyarakat Sipil Antikekerasan, mengutuk keras tindakan berlebihan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap peserta aksi demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Kota Bandung.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 10 Okt 2020, 08:00 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2020, 08:00 WIB
demo omnibus law
Petugas kepolisian dari Polrestabes Bandung membentuk formasi dalam rangka membubarkan aksi demonstrasi menolak omnibus law UU Cipta Kerja yang berakhir ricuh dan melewati batas waktu unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Selasa (6/10/2020). (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung Koalisi Masyarakat Sipil Antikekerasan, mengutuk keras tindakan berlebihan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap peserta aksi demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Kota Bandung pada Selasa dan Rabu (6-7 Oktober 2020).

Berdasarkan hasil pemantauan Koalisi Sipil di lapangan, aparat kepolisian yang terdiri dari Sabhara, Brimob, Prabu Polrestabes Bandung, dan aparat tak berseragam, melakukan berbagai aksi kekerasan terhadap para demonstran.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Lasma Natalia menuturkan, aksi kekerasan yang dilakukan aparat mencakup beberapa hal. Mulai dari sweeping untuk menghalangi kebebasan berpendapat, intimidasi secara verbal, pengejaran, penggunaan kekerasan secara berlebihan, perampasan barang pribadi, penangkapan yang sewenang-wenang, dan perlakukan buruk terhadap korban yang ditangkap dengan sikap yang merendahkan martabat manusia.

"Dari keterangan yang kami himpun dari para saksi dan korban, polisi menggunakan pemukulan, penendangan, pengeroyokan, dan penelanjangan di depan publik terhadap demonstran yang tertangkap," kata Lasma dikutip dari siaran persnya, Jumat (9/10/2020).

Tak hanya itu, Lasma menuturkan, polisi juga melakukan penyerangan terhadap petugas relawan medis di lapangan. "Selain polisi, kami juga mendeteksi adanya pelibatan warga sipil oleh kepolisian dalam aksi kekerasan terhadap demonstran," ujarnya.

Penangkapan dan tindakan kekerasan dilakukan di sekitar wilayah Gedung Sate di antaranya di Jalan Trunojoyo, Jalan Sulanjana, Jalan Aria Jipang bahkan sampai ke beberapa kampus di Jalan Tamansari. Ditengarai tindakan pengejaran dan penangkapan terhadap demonstran juga dilakukan sampai dengan radius dua kilometer dari titik aksi.

"Sejauh ini jumlah korban sementara yang menderita luka-luka yang berhasil terhimpun di antaranya 136 orang (evakuasi di kampus Unisba), 53 orang (korban evakuasi di kampus Unpas), 10 orang masih belum diketahui keberadaannya," kata Lasma.

Selain itu, pihaknya juga mengungkapkan polisi telah melakukan penghalang-halangan akses bantuan hukum bagi mereka yang ditangkap. Para advokat yang akan melakukan pembelaan dan pendataan tidak diberi akses yang leluasa.

"Tindakan-tindakan polisi tersebut harus dikutuk sekeras-kerasnya, karena sudah keluar dari hak dan kewajiban kepolisian dalam penanganan aksi massa. Terlebih lagi, tindakan kekerasan berlebihan itu sudah dilakukan berulang kali dan telah menjadi pola yang seragam dalam beberapa kali aksi massa di Kota Bandung," kata Lasma.

Koalisi Sipil menuntut kepolisian dan negara untuk menghentikan cara-cara kekerasan dan meminta agar kepolisian menggunakan pendekatan kemanusiaan dalam menangani aksi massa.

Koalisi sipil terdiri gabungan organisasi pro-demokrasi di Bandung ini membuka pengaduan kekerasan ke nomor hotline 082120171321.

Sebelumnya, Kapolrestabes Bandung Komisaris Besar Ulung Sampurna Jaya menyebut massa yang melakukan tindakan anarkis bukan dari kalangan mahasiswa maupun buruh.

"Bukan massa buruh, bukan massa mahasiswa. Tadi, setelah mahasiswa melakukan demonstrasi, ada massa lain yang datang ke DPRD untuk melakukan unjuk rasa lagi. Diperkirakan dari kelompok lain yang bukan mahasiswa," katanya, Selasa (6/10/2020).

Simak Video Pilihan di Bawah Ini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya