Ritual Pencucian Gong Sekati Cirebon yang Sudah Berusia 750 Tahun

Rangkaian ritual menyambut puncak perayaan Maulid Nabi tetap digelar Keraton Kanoman dengan menerapkan protokol kesehatan dan hanya bersifat internal.

oleh Panji Prayitno diperbarui 26 Okt 2020, 15:00 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2020, 15:00 WIB
Melihat Ritual Pencucian Gong Sekati Keraton Kanoman Cirebon Ditengah Pandemi Covid-19
Para nayaga atau pemain gong Sekati Keraton Kanoman usai mengikuti ritual nyiram gong sekati. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Cirebon - Meski dalam kondisi Pandemi Covid-19, tradisi dan ritual menjelang puncak Maulid Nabi Muhammad SAW tetap digelar. Salah satunya dengan mencuci alat musik tradisional Gong Sekati Keraton Kanoman Cirebon.

Gong Sekati tersebut akan ditabuh seminggu sebelum memasuki puncak Maulid Nabi yang biasa dikenal dengan upacara Panjang Jimat. Gong sekati dicuci untuk ditabuh mengiringi tradisi Gamelan Sekaten.

"Setelah dicuci malamnya ditabuh terus tiap hari sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan sampai puncak acara Panjang Jimat di Keraton Kanoman," kata juru bicara Keraton Kanoman Cirebon Ratu Raja Arimbi Nurtina, Minggu (25/10/2020).

Ada yang berbeda dibandingkan ritual pencucian gong sekati dari tahun sebelumnya. Jumlah pengunjung yang datang ke lokasi pencucian dibatasi.

Abdi dalem kasepuhan mengawal ketat prosesi pencucian gong sekati agar tidak menimbulkan kerumunan. Sebab, biasanya usai ritual pencucian, warga saling berebut air hasil mencuci gong sekati tersebut.

Gong Sekati ini sudah berusia sekitar 750 tahun, tetapi masih bisa ditabuh. Padahal, sebagian besar kondisi gong sudah rapuh.

Ratu Arimbi menjelaskan, Keraton Kanoman memiliki perlakuan khusus dalam merawat Gong Sekati peninggalan Sunan Gunung Jati. Prosesi ritual pencucian seluruh alat musik gamelan itu menggunakan bahan alami.

"Dicuci setahun sekali sebelum dicuci ada ritual membaca doa dulu saat dicuci juga dibacakan doa berharap agar saat tradisi gamelan sekaten berlangsung tidak ada kendala seperti suara gong jadi fals dan sebagainya," ujar dia.

Para nayaga atau pemain Gong Sekati Keraton Kanoman Cirebon saling bergantian membawa alat musik tabuh mereka untuk dicuci. Setelah dicuci, mereka pun menaburkan tanah merah atau bata merah yang sudah ditumbuk halus di atas alat musik tradisional itu.

Tumbukan bata merah tersebut kemudian dioleskan ke seluruh badan alat musik menggunakan serabut kelapa. Ratu Arimbi menyebutkan, selain menggunaan air doa, pencucian Gong Sekati menggunakan air kelapa hijau yang sudah di fermentasi.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Turun Temurun

Melihat Ritual Pencucian Gong Sekati Keraton Kanoman Cirebon Ditengah Pandemi Covid-19
Usai dibersihkan Gong Sekati dibawa ke Mande Sekaten Keraton Kanoman Cirebon oleh para nayaga atau pemain sebelum ditabuh. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

"Ini salah satu cara kami membersihkan benda peninggalan nenek moyang khusus Gong Sekati Kanoman Cirebon agar ketika ditabuh terdengar syahdu," ujar dia.

Selain usianya yang sudah ratusan tahun, diketahui para nayaga atau pemain Gong Sekati adalah orang terpilih. Ratu Arimbi menyebutkan para penabuh Gong Sekati merupakan turun temurun dari kakek maupun nenek moyangnya.

"Kalau kakek atau moyangnya dulu jadi penabuh Gong ya sampai sekarang anak cucunya hanya menabuh gong saja tidak yang lain," kata dia.

Mereka yang memiliki keturunan sebagai penabuh Gong Sekati secara otomatis memiliki tanggung jawab terhadap alat musik yang dipegangnya.

Oleh karena itu, Gong Sekati merupakan salah satu benda pusaka peninggalan Keraton Kanoman yang tidak biasa. Sementara itu, pada prosesi pencucian di Musala Keraton Kanoman Cirebon, warga maupun pengunjung rela berdesakan mengambil air bekas cucian Gong Sekati.

"Masyarakat meyakini itu barokah karena prosesi pencuciannya dibarengi dengan membaca doa. Air bekas pencucian dipakai untuk persawahan, pertanian dan lain-lain," kata dia.

Pada masa Sunan Gunung Jati, Gong Sekati menjadi salah satu alat untuk mensyiarkan Islam. Warga yang melihat dan menikmati alunan musik Gong Sekaten, harus dengan rasa suka cita.

Konon, pada masa Sunan Gunung Jati, warga yang melihat dan menikmati musik Gong Sekati harus membaca dua kalimat syahadat sebagai imbalannya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya