Liputan6.com, Malang - Sejumlah aktivis dan akademisi berdiri menghadap patung pahlawan Hamid Rusdi di Simpang Balapan, Kota Malang. Dengan lantang, mereka membacakan penyataan sikap merespon situasi di kota ini usai pengesahan UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja.
Aksi akademisi dan masyarakat sipil Malang Raya mengadu ke patung pahlawan Hamid Rusdi itu sebagai simbol keprihatinan. Sebab, semua saluran untuk menyampaikan aspirasi sudah buntu. Pengesahan UU Cipta Kerja melahirkan pro dan kontra serta ketegangan.
Advertisement
Baca Juga
“Ke mana lagi mau mengadu. Legislatif maupun eksekutif sudah tak mau mendengar,” kata juru bicara aksi, Purnawan D Negara di Malang, Senin, 26 Oktober 2020.
Ia menegaskan, sikap Akademisi dan Masyarakat Sipil Malang Raya ini tidak terkait dengan munculnya dua kubu berbeda dalam merespon UU Cipta Kerja. Aksi tolak omnibus law di Malang misalnya, diwarnai kericuhan.
Saat aksi unjuk rasa itu, ada seratusan lebih demonstran ditangkap dan puluhan terluka. Ada 15 jurnalis mengalami kekerasan fisik maupun verbal dari polisi. Pasca aksi itu, muncul satu kubu lagi menggelar aksi menolak unjuk rasa dengan cara anarkis.
“Kami prihatin tentang penanganan dan pengamanan secara berlebihan terhadap mereka yang menyatakan pendapat,” ujar Purnawan.
Cara aparat penegak hukum saat mengamankan aksi massa penolak omnibus law itu dinilai berlebihan dan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia. Kepolisian seharusnya melindungi dan menjamin setiap orang yang menyuarakan pendapat.
“Siapa pun boleh berpendapat. Tak perlu ada pihak luar yang berlagak seperti polisi, ikut mengamankan aksi karena itu bisa memicu suasana semakin nyaman,” ujar Purnawan.
Akademisi dan kelompok masyarakat sipil di Malang Raya bisa memberikan perlindungan kepada siapa saja. Serta mengimbau semua pihak dalam merespon UU Cipta Kerja tetap sesuai jalur konstitusional.
“Semua bisa menyuarakan pendapat, menjaga keamanan dan bemartabat. Kami menolak berbagai bentuk kekerasan,” kata Purnawan.