Liputan6.com, Palu - Pandemi Covid-19 membuat nasib perajin batik motif lokal Sulawesi Tengah makin kalut. Perajin batik yang kini masih bertahan hanya bisa berharap, pemda mau turun tangan memberikan dukungan agar keunikan batik lokal Sulteng tidak punah.
Baca Juga
Advertisement
Ahdin Sirua, seorang perajin batik lokal Sulteng saat ditemui Liputan6.com beberapa waktu lalu di rumahnya, di Jalan Lekatu, Kelurahan Tavanjuka mengatakan, pandemi Covid-19 sangat berdampak buruk pada usaha batiknya. Saat pandemi seperti sekarang ini dirinya hanya mendapat dua pesanan kain batik dalam sepekan, padahal biasanya bisa lebih dari itu. Kain batik itu dijual Rp200 ribu per lembar. Â
Ahdin mengaku hanya itu pesanan yang diterimanya saat ini. Kondisi itu yang memaksa Ahdin merumahkan empat orang pekerja yang biasanya membantu memproduksi kain batik khas Sulteng.Â
Â
"Mau bayar pekerja dengan apa? Sejak pandemi pembeli hanya 1-2 orang," kata Ahdin.
Sebelum ada pandemi, kata Ahdin, promosi dan penjualan batik-batik karyanya ditunjang dengan beragam pameran rutin, baik lokal maupun nasional. Sekarang pandemi membatasi segala aspek, membatik seperti perjudian baginya.
"Ada atau tidak ada pesanan saya tetap buat batik. Siapa tahu tiba-tiba ada pembeli, jadi tetap ada stoknya," katanya.
Ahdin mengaku, pandemi Covid-19 menjadi cobaan yang paling berat bagi usaha batik yang telah digelutinya sejak 2010. Bahkan efek pandemi, katanya, lebih dahsyat ketimbang bencana alam yang pernah terjadi di Palu pada 2018 silam.
Â
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Simak video pilihan berikut ini:
Taiganja
Kearifan lokal Sulawesi Tengah dalam karya batik cetak Ahdin sangat kuat dengan penonjolan simbol-simbol keanekaragaman hayati dan budaya. Motif Kelor salah satunya. Tanaman itu begitu erat dengan budaya kuliner masyarakat suku kaili yang merupakan mayoritas di Sulawesi Tengah.
Ada juga motif Taiganja. 'Tai' berarti perut dalam bahasa Indonesia, sedangkan 'ganja' berarti bentuk. Taiganja adalah benda yang melambangkan status sosial Suku Kaili dan menjadi mas kawin untuk perempuan. Yang tak kalah apik adalah motif Burung Maleo, yang menjadi satwa berstatus dilindungi di Sulawesi Tengah. Simbol-simbol kekayaan lokal itu dicetak di kain dengan warna beragam.
"Awalnya saya ingin mengembangkan lagi dengan beragam warna. Tapi situasinya terlanjur begini. Untuk mengajarkan ke orang lain juga sulit sekarang," katanya.
Ahdin hanya berharap, pemda mau ikut turun tangan membantu agar usaha-usaha batik di Sulteng tetap bertahan.Â
Â
Advertisement