Liputan6.com, Indramayu - Carta rela berpanas-panasan duduk di sepanjang Jembatan Sewo Desa Sukra Kabupaten Indramayu. Dia adalah salah seorang penyapu koin di Jembatan Sewo.
Dia bersama rekan lainnya menunggu pengendara yang melintas Jembatan Sewo. Jika pengendara melintas dan melempar uang, sontak Carta dan rekan yang lain berebut mengambil uang tersebut menggunakan sapu lidi.
Advertisement
Baca Juga
"Sudah bertahun-tahun kami di sini dan bisa dikatakan menjadi salah satu sumber pencaharian juga," kata Carta, Selasa (10/11/2020).
Para penyapu koin tersebut bahkan menganggap kegiatan mereka sebagai bagian dari tradisi. Dari informasi yang didapat, tradisi penyapu koin Jembatan Sewo tersebut sudah lama dilakukan.
Namun, ada sebuah peristiwa menarik di balik aksi penyapu koin ini. Bahkan, kental dihubungkan dengan kejadian mistis. Carta menjelaskan aksi penyapu koin tersebut berawal dari cerita legenda Saedah dan Saeni.
"Saedah dan Saeni itu kakak beradik mereka berdua hidup dalam garis kemiskinan," kata dia.
Guna memenuhi kebutuhan hidup, kedua kakak beradik tersebut mengemis di Jembatan Sewo Indramayu. Hingga akhirnya, mereka meninggal dunia di sekitar jembatan tersebut.
Bahkan, kata Carta, masyarakat Pantura percaya bahwa arwah dari kakak beradik itu tetap melegenda di bawah Jembatan Sewo.
Secara umum, kisah Saidah dan Saeni versi Jembatan Sewo adalah yang paling dikenal oleh masyarakat di pesisir utara Jawa Barat, mulai dari Cirebon hingga sebagian wilayah Karawang.
"Karena kisah inilah kemudian ada ritual lempar uang. Lempar uang juga untuk memberi saweran kepada Saidah dan Saeni," ujar dia.
Selain mengemis, Saidah dan Saeni aktif dalam pementasan seni tari Ronggeng. Di mana Saidah sebagai penabuh gendang, dan Saeni penarinya.
Mereka selalu menampilkan kesenian tradisional ini di pinggir jalan di sekitar Jembatan Sewo Indramayu. Bahkan, mitologi Jembatan Sewo ini semakin kental tatkala pernah terjadi kecelakaan tragis.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Kecelakaan Rombongan Transmigran
Kecelakaan yang menimpa salah satu rombongan bus yang hendak membawa transmigran asal Boyolali, pada 11 Maret 1974 lalu. Rombongan transmigran tersebut hendak menuju Sumatera Selatan.
Namun, salah satu bus yang membawa rombongan tersebut tergelincir, kemudian masuk ke sungai dan terbakar di kali Sewo Desa Sukra Kabupaten Indramayu.
Musibah tersebut terjadi pada pukul 04.30 dini hari. Sebanyak 67 orang yang terdiri dari orang dewasa dan anak-anak tewas akibat kejadian tersebut.
Di antara rombongan yang mengalami musibah, hanya tiga anak-anak saja yang selamat. Semua korban yang tewas dimakamkan di dekat pemakaman umum yang terletak di dekat lokasi kejadian.
Semenjak kejadian itu, banyak para pengendara yang melempar koin ketika melewati jembatan tersebut. Tujuannya agar diberi keselamatan selama perjalanan melintasi Jalur Pantura dari gangguan makhluk halus.
Tidak jelas kapan ritual lempar koin ini mulai ada. Namun, sebagian besar masyarakat meyakini jika tradisi ini sudah ada sejak zaman Belanda.
Masyarakat juga sangat meyakini bahwa yang meminta atau menyapu koin di sekitar jembatan ini salah satunya adalah jelmaan makhluk halus penghuni Jembatan Sewo.
"Makanya yang lewat sini pada melempar koin. Misal dari Jakarta mau ke Surabaya, mereka pasti lempar koin, untuk memohon diselamatkan dalam perjalanannya, agar tidak mengantuk, dan lain-lain," ungkap Carta.
Hingga kini, tradisi melempar koin oleh para pengendara sudah menjadi tradisi. Bahkan, yang dilempar bukan hanya uang koin saja.
Terkadang mereka melempar lebih dari 1 koin, bahkan uang kertas dengan pecahan yang besar. Menyapu koin pun kini sudah dijadikan sebagai mata pencaharian utama bagi masyarakat di sana.
Bahkan, ada yang sudah puluhan tahun terjun sebagai 'penyapu koin' di Jembatan Sewo. Hal ini dikarenakan penghasilannya yang menggiurkan, walaupun harus beraktivitas di bawah terik matahari.
Carta sendiri bisa mendapatkan uang sekitar Rp50 ribu di hari-hari biasa. Berbeda jika sudah memasuki momen lebaran, dia dan para penyapu koin lainnya bisa meraup penghasilan hingga ratusan ribu hingga jutaan rupiah hanya dalam satu hari saja.
"Kalau lebaran itu paling kecilnya dapat Rp150 ribu," ungkap Carta.
Advertisement