Liputan6.com, Palembang - Deru suara kendaraan berlalu lalang meninggalkan kebisingan suara dan polusi udara, di Jalan Bambang Utoyo Palembang Sumatera Selatan (Sumsel).
Kondisi tersebut sudah menjadi sarapan sehari-hari Nuryana (78), penjual kembang di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kandang Kawat Palembang, tepat di pinggir Jalan Bambang Utoyo.
Dengan tubuh yang ringkih, Nuryana tetap semangat mengais rezeki dari deretan kembang-kembang kuburan yang dijajakannya di meja jualannya.
Advertisement
Baca Juga
Sesekali matanya pun terpejam, karena rasa kantuk yang tak kuat ditahannya, serta tidak ada aktivitas apa pun yang harus dilakukannya. Dia menceritakan, betapa sulit mengumpulkan pundi-pundi uang ketika Covid-19 mewabah.
Terlebih di awal wabah Covid-19, nyaris tidak ada pengunjung pemakaman yang datang dan membeli kembang kuburannya.
“Kalau sebelum Covid-19, pemasukan bisa mencapai Rp100.000-Rp200.000 per hari. Tapi sekarang, dengan menurunnya jumlah pengunjung makam, kadang saya hanya mendapatkan uang Rp10.000 saja,” ucapnya kepada Liputan6.com di Palembang Sumsel, Rabu (25/11/2020).
Uang tersebut pun hanya sekejab mata habis. Nuryana harus mengeluarkan uang transportasi sebesar Rp40.000 setiap harinya, untuk berangkat dan pulang dari tempat jualannya. Bahkan, hasil jualannya tidak mencukupi untuk biaya transportasi dalam satu hari.
Tradisi ziarah di saat hari lebaran setiap tahunnya, juga menjadi ladang rezeki bagi srikandi ini. Tingginya jumlah pengunjung, membuat Nuryana bisa mengantongi rezeki hingga Rp2 juta per hari.
Namun di masa pandemi Covid-19, dia harus tetap bersyukur bisa mengantongi uang Rp300.000 dari hasil jualannya di saat tradisi ziarah lebaran tahun ini.
“Saya pernah hanya membawa uang ke rumah cuma Rp5.000 saja. Padahal saya juga membantu membiayai hidup sehari-hari anak dan cucu saya. Tapi semuanya harus disyukuri, mungkin ini sudah rezekinya,” katanya.
Di usia renta, wabah Covid-19 sangat berpotensi terpapar ke Nuryana ketika berinteraksi dengan para pengunjung makam. Namun warga Sumsel ini hanya berpasrah diri kepada Tuhan dan tetap semangat mengukir asa, untuk kehidupan yang lebih baik.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :
Gandeng Warga Miskin
Perjuangan di pusaran pandemi Covid-19 juga dilakukan Derici Wasikem (57). Dampak pandemi Covid-19 juga sedikit melemahkan usahanya yang dinamainya Rimanci Handbag, di Kecamatan Purwodadi Kabupaten Musi Rawas Sumsel.
Bukan sekedar usaha rumahan anyaman bambu saja, namun bisnis ini menjadi salah satu basic perekonomian warga kurang mampu di sekitar rumahnya.
“Usaha yang saya dirikan ini sebagai salah satu wadah bagi para ibu rumah tangga di sekitar rumah, yang memang membutuhkan tambahan biaya untuk kehidupan sehari-hari,” ucapnya.
Dia bisa memberdayakan 4-5 orang ibu rumah tangga (irt) dari keluarga menengah ke bawah, untuk menganyam bambu-bambu.
Bahkan dari proses pembuatan tas anyam ini, berdampak baik bagi petani bambu di Kabupaten Musi Rawas. Tapi di tengah pandemi Covid-19, dia merasakan penurunan jumlah pemesanan dari para pelanggannya. Apalagi harga yang harus dibayar untuk produknya terbilang cukup tinggi.
“Pastinya berdampak bagi para penganyam dan petani bambu di sini, karena minimnya penjualan tas anyam kita. Saya tetap menyemangati ibu-ibu di sini, setidaknya mereka ada aktivitas bermanfaat di rumah, sehingga tidak terlalu stres di rumah saja,” katanya.
Tidak hanya di sektor perekonomian saja. Di pusaran pandemi Covid-19, para srikandi juga harus mengalami keterbatasan waktu berkumpul bersama keluarga. Bahkan keselamatan jiwa pun harus dipertaruhkan, demi menurunkan penularan Covid-19 di Sumsel.
Advertisement
Relakan Waktu Keluarga
Hal inilah yang harus dilakukan srikandi Sumsel lainnya, yaitu Tri Sinarum (37). Dokter umum sekaligus Kepala Puskesmas Balai Agung Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) Sumsel, harus berjibaku melakukan screening bagi para warga Muba yang berpotensi terpapar Covid-19.
Terlebih dia menjadi dokter yang menjadi andalan Dinas Kesehatan (Dinkes) Muba, dalam penanganan awal screening Covid-19.
Alasannya, karena Arum menjadi satu-satunya dokter di kabupaten ini, yang mengikuti pelatihan Polumerase Chain Reaction (PCR), di Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Palembang.
Hal itu juga yang membuat dia diemban sebagai penanggungjawab Rumah Sehat bagi pasien Covid-19 di Rusunawa Muba Sumsel.
Aktivitasnya yang padat serta ancaman terpapar Covid-19, membuat Arum, sapaan akrabnya, harus merelakan waktu bersama kedua buah hatinya.
“Kedua anak saya dibawa ke Kediri oleh orangtua saya. Memang saya akui, kesibukan menangani pasien, membuat saya tidak bisa memberikan waktu penuh ke anak-anak. Bahkan saat libur pun, sering dihubungi untuk melakukan screening awal,” ujarnya.
Berpisah dengan Buah Hati
Sudah tiga bulan terakhir, Arum harus terpisah dengan anak-anaknya. Terlebih kedua anaknya yang masih dalam tumbuh kembang, sangat membutuhkan quality time bersama orangtuanya. Rasa rindu pun kerap menggelayuti perasaan Arum dan suaminya yang juga bertugas di Kabupaten Muba Sumsel.
Tapi dia harus tetap tegar dan menahan rindu, agar anak-anaknya bisa mendapatkan kasih sayang lebih, meskipun tidak dari kedua orangtuanya.
“Mungkin tunggu wabah Covid-19 ini usai, saya akan bawa anak-anak kembali lagi ke sini. Ya, tapi tidak tahu juga kapan ini berakhir, sedih juga berpisah dengan anak-anak. Saya dan suami terpaksa harus menyekolahkan anak-anak di Kediri sana dulu,” ucap alumni Pascasarjana Kedokteran Universitas Brawijaya (Unbraw) Malang Jawa Timur (Jatim) ini.
Advertisement