Liputan6.com, Palembang - Kisah cinta putra Kerajaan Tiongkok Tan Bun Ann dan putri Kerajaan Palembang Siti Fatimah yang melegenda, menjadi cerita yang terukir di Pulau Kemaro.
Pulau yang berada antara pabrik Pupuk Sriwijaya (Pusri)-Pertamina Plaju dan Sungai Gerong Palembang, turut menjadi kawasan bersejarah.
Karena di masa Kesultanan Palembang Darussalam, Pulau Kemaro menjadi perbatasan pertahanan prajurit Palembang Darussalam, saat menghalau para penjajah Belanda masuk ke Palembang.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Sebelum pandemi Covid-19, Pulau Kemaro juga menjadi tujuan para umat Konghucu untuk merayakan Cap Go Meh usai 14 hari setelah Imlek.
Tingginya daya tarik wisatawan pun cukup tinggi melancong ke pulau ini, didukung dengan dibangunnya Klenteng Hok Tjing Rio dan pagoda setinggi 9 tingkat bernuansa Tionghoa.
Namun kini, Pulau Kemaro diselimuti beragam konflik sengketa tanah, yang nyaris tidak pernah mencuat ke publik.
Konflik ini muncul pada saat Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang merancang program pembangunan wisata air di Pulau Kemaro di awal bulan Februari 2021 lalu.
Keturunan atau zuriyat ulama ternama Kiai Haji Masagus Abdul Hamid Bin Mahmud atau dikenal dengan nama Ki Merogan, langsung angkat bicara terkait kepemilikan lahan Pulau Kemaro.
Sekjen Komito Reforma Agraria Sumatera Selatan (KRASS) Dedek Chaniago yang mendampingi zuriyat Ki Merogan, membeberkan asal muasal Pulau Kemaro yang diklaim sebagai kepemilikan zuriyat Ki Merogan.
Dia menjelaskan, di tahun 1880 pemilik tanah Pulau Kemaro Adjidin Bin Syafi’i meminjam sejumlah uang ke Ki Merogan, dengan jaminan surat sertifikat tanah Pulau Kemaro. Namun setelah enam bulan, pinjaman tersebut tidak bisa dikembalikan, sehingga Adjidin Bin Syafi’i merelakan tanahnya.
Di tahun 1881, Adjidin Bin Syafi’i menyerahkan surat tanah tersebut dengan tambahan uang dari Ki Merogan. Lalu, Ki Merogan menyuruh lima orang untuk menggarap lahan Pulau Kemaro, yang dibuktikan dengan surat perjanjian berbahasa Arab yang resmi ditandatangani.
“Tahun 1887, lima orang utusan tersebut menyetor hasil garapan tahan di Pulau Kemaro ke Ki Merogan. Pada tahun 1898 Ki Merogan wafat dan tanah warisan tersebut diserahkan ke keturunannya," ucapnya saat menggelar Konferensi Pers di kantor KRASS di Palembang, Jumat (5/3/2021).
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :
Klenteng Pulau Kemaro
Sepeninggalan Ki Merogan, tanah Pulau Kemaro diklaim oleh banyak orang. Akhirnya tahun 1982, zuriyat ke-3 Ki Merogan menggugat 35 orang yang mengklaim tanah Pulau Kemaro. Akhirnya tahun 1985, Pengadilan Negeri (PN) Palembang mengabulkan permohonan penggugat.
Sama halnya di tahun 1987, PN Palembang mengugurkan banding para tergugat dan akhirnya menetapkan jika tanah Pulau Kemaro seluas 80 hektare resmi dimiliki oleh ahli waris Ki Merogan.
“Saat zuriyat Ki Merogan akan mengeksekusi tanah tersebut, ada klenteng yang dibangun di dalam Pulau Kemaro. Zuriyat Ki Merogan menawarkan agar pengelola klenteng membayar ganti rugi, bisa menyewa atau membeli tanah tersebut,” katanya.
“Ki Merogan dan zuriyatnya, sangat menghargai perbedaan. Untuk itu, mereka tidak mempermasalahkan kegiatan keagamaan di Pulau Kemaro. Tapi saat ini, mereka hanya ingin keadilan ditegakkan dan mereka mendapatkan hak-haknya,” ucapnya.
Karena tidak ada itikad baik, di tahun 2010, zuriyat Ki Merogan akhirnya mematok lahan di dekat Klenteng Hok Tjing Rio.
Advertisement
Musyawarah yang Mandul
Langkah tersebut ternyata membuat pengelola Klenteng geram, dan melaporkan zuriyat Ki Merogan ke aparat kepolisian. Akhirnya pihak polisi mengarahkan ke gugatan perdata. Namun rencana gugatan tersebut tidak berlanjut lagi.
Di tahun 2013 di masa kepemimpinan mendiang Wali Kota (Wako) Palembang Romi Herton, Pemkot Palembang mematok lahan dengan mengklaim seluas 30 hektare lahan kepemilikan Pemkot Palembang.
“Akhirnya zuriyat Ki Merogan melayangkan somasi. Di tahun 2014, ada dua kali musyawarah dan pihak Pemkot Palembang berjanji akan menyelesaikan masalah ini. Namun karena masuk Pemilihan Wali Kota (Pilwako) Palembang tahun 2018, sehingga berjanjian itu tidak ada kabarnya lagi,” katanya.
Kesabaran para zuriyat Ki Merogan kembali dicoba. Saat Pemkot Palembang di bawah arahan Wako Harnojoyo, berencana mengembangkan Pulau Kemaro tanpa ada koordinasi dengan pemilik tanah.
Untuk itu, zuriyat Ki Merogan akhirnya angkat bicara dan meminta Pemkot Palembang untuk menghargai pemilik tanah. Karena keturunan Ki Merogan mempunyai surat asli sertifikat tanah, surat waris, surat keputusan PN Palembang dan surat resmi lainnya.
Eksekusi Pulau Kemaro
Jika sebelumnya zuriyat Ki Merogan masih bersabar, namun kali ini mereka akan bertindak tegas, yaitu akan mengajukan surat eksekusi PN Palembang.
Jika pun ada yang mengklaim tanah Pulau Kemaro, dia mempersilahkan pihak tersebut untuk menggugat langsung ke pengadilan. Zuriyat Ki Merogan juga, akan memberi waktu 1-2 minggu untuk menunggu itikad baik dari Pemkot Palembang.
“Tentu ini pidana, apalagi jika tidak direspon. Sudah tiga kali kecewa. Kalau tidak respon dari Pemkot Palembang, zuriyat Ki Merogan akan melakukan eksekusi lahan, sehingga tidak akan ada lagi aktivitas di sana,” ujar Dedek Chaniago.
Menurutnya, zuriyat Ki Merogan sebenarnya hanya meminta pengakuan saja. Karena selama ini, Pemkot Palembang dan pihak yang mengklaim lahan Pulau Kemaro, seakan mengabaikan pemilik tanah Pulau Kemaro yang asli. Terlebih, Ki Merogan merupakan keturunan Rasulullah ke-34 dan keturunan Sultan Palembang Darussalam.
Advertisement
Respon Wako Palembang
Sementara itu, Wako Palembang Harnojoyo menanggapi santai tentang klaim tanah Pulau Kemaro oleh pihak-pihak lain.
“Sekarang begini, urusan sengketa tanah itu kan (urusan) pengadilan, silahkan saja (diklaim). Kalau ada masyarakat yang masih keberatan, mengakui tanah itu, kan yang menentukan nanti adalah pengadilan,” ujarnya.
Kendati dicecar dengan klaim dari pihak lain, Pemkot Palembang tetap akan menjalankan program pembangunan wisata air di Pulau Kemaro. Karena Pemkot Palembang sudah mengantongi sertifikat tanah resmi seluas 30 hektare.