Liputan6.com, Agam - Sebanyak 6 kasus konflik manusia dan satwa terjadi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat sejak Januari hingga pertengahan Maret 2021.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resor Agam mencatat konflik tersebut terjadi antara manusia dengan buaya muara, harimau sumatra, dan beruang madu.
"Dari 6 konflik tersebut, satu warga meninggal dunia dan sejumlah hewan ternak milik warga mati," kata Kepala BKSDA Resor Agam, Ade Putra, Rabu (17/3/2021).
Advertisement
Menurut Ade, kasus terbaru yakni, sebanyak 3 ekor kerbau warga Sawah Liek Aia Rangek, Jorong Cubadak Lilin Kecamatan Matur, diduga dimangsa oleh harimau sumatra pada 7 Maret 2021.
Kejadian tersebut mengakibatkan satu ekor induk kerbau mati, dan 2 anak kerbau mengalami luka-luka.
Baca Juga
Kemudian konflik manusia dan satwa lainnya, hingga menyebabkan satu warga yang meninggal dunia karena dimangsa buaya terjadi Nagari Tiku V Jorong, Kecamatan Tanjung Mutiara pada 11 Februari 2021.
Pada pertengahan Februari 2021, juga terdapat konflik buaya dan manusia. Dalam konflik tersebut hewan ternak sapi milik warga, diduga dimangsa oleh buaya di Sungai Batang Antokan, Nagari Manggopoh.
"Kasus lainnya yakni beruang madu yang terjadi di kawasan kelok 44, satwa itu muncul beberapa kali dan memakan hasil perkebunan warga," jelas Ade.
Sementara itu, pada tahun 2020 pihaknya mencatat, jumlah kasus konflik manusia dan satwa liar sebanyak 10 kasus, dan pada tahun 2019 sebanyak 11 kasus.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Penyebab Konflik Satwa dan Manusia
Terjadinya konflik manusia dan satwa, tentu memiliki penyebab. Ade menjelaskan konflik bisa terjadi karena adanya alih fungsi lahan.
Alih fungsi lahan ini, katanya menyebabkan tempat tinggal atau habitat satwa menjadi terganggu atau terjadi penyempitan. Apalagi satwa seperti harimau memiliki wilayah jelajah yang luas.
"Alih fungsi hutan ini banyak juga, misalnya ada perambahan, illegal logging, atau penggunaan lahan lainnya," ujar Ade.
Di samping itu juga, faktor lainnya karena satwa buaya yang sedang dalam musim kawin sejak awal tahun hingga Juli. Sehingga memang satwa ini lebih agresif.
Kemudian, Ade menambahkan faktor lainnya yakni kelalaian warga, yang membiarkan ternaknya begitu saja di pinggir hutan dan tidak dimasukkan ke kandang saat malam hari.
"Seperti kasus di Nagari Balai Tigo, warga hanya melihat hewan ternaknya sekali dalam dua minggu," katanya.
Advertisement