Liputan6.com, Yogyakarta - Ghosting sempat ramai disebut masyarakat beberapa waktu lalu. Psikolog UGM, Idei Khurnia Swasti, menyebut ghosting adalah perilaku menghindar, biasanya terjadi dalam relasi romantis seperti pada masa pendekatan, pacaran, hingga menjelang perkawinan.
Namun, dalam perkawinan menurut Idei, ghosting jarang dibahas, sebab, komitmen perkawinan telah lebih mengikat secara hukum dan juga personal.
"Perilaku ghosting ini ditandai dengan sikap pelaku yang mulai menarik diri dari komunikasi," kata Dosen Fakultas Psikologi UGM ini, Selasa (23/3/2021).
Advertisement
Baca Juga
Idei memberikan contoh perilaku ghosting ini seperti sulit ditemui, tidak membalas pesan, chat, atau telepon. Idei menyampaikan lebih banyak penelitian perlu dilakukan secara khusus pada fenomena ghosting ini. Dari penelitian sebelumnya telah melihat berbagai jenis kepribadian keterikatan dan pilihan strategi perpisahan.
"Bisa saja orang dengan tipe kepribadian yang menghindar (avoidant personality), yaitu mereka yang ragu untuk membentuk hubungan atau sepenuhnya menghindari keterikatan dengan orang lain," ujarnya.
Menurut Idei, kondisi ini seringkali diawali karena pengalaman penolakan orangtua. Hal itu pada akhirnya membuat individu enggan menjadi sangat dekat dengan orang lain karena masalah kepercayaan dan ketergantungan. Mereka kemudian sering menggunakan metode tidak langsung untuk mengakhiri hubungan, yaitu ghosting ini.
"Akan lebih mudah dengan cara 'menghilang' daripada 'menghadapi langsung' karena menghadapi secara langsung akan membutuhkan upaya ekstra dalam memberikan penjelasan, yang dapat juga memunculkan serangkaian konflik-konflik baru," jelasnya.
Koordinator Bidang Psikologi Klinis, Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi UGM ini mengatakan ghosting juga bisa terjadi karena pelaku tidak tahu bagaimana cara mengomunikasikan konflik dan mencari solusi konflik. Kondisi ini biasanya diistilahkan dengan "malas membahas" atau "malas ribut".
Namun, ada kemungkinan pelaku juga merasa tidak nyaman menggantungkan permasalahan. Namun, menurut pelaku merasa akan lebih mudah bersikap seperti itu daripada harus menghadapinya saat ini.
"Pemicu ghosting adalah adanya perasaan tidak nyaman dalam relasi atau saat ada ketidakcocokkan yang tidak bisa dikomunikasikan secara terbuka," katanya.
Soal alasan perilaku ghosting, menurut Idei, tidak bisa digeneralisasikan. Oleh sebab itu, disaranakan untuk tidak memberi label pelaku ghosting karena tidak benar-benar mengetahui riwayat kehidupan dan dinamika psikologis pelaku sehingga ia sampai pada perilaku tersebut.
Idei menyampaikan, ghosting pada dasarnya adalah penolakan, hanya tanpa finalitas. Jadi tidak benar-benar ada kata "selesai" atau "putus". Itu terjadi ketika seseorang berhenti menjawab teks atau panggilan telepon tanpa penjelasan lebih lanjut.
Perilaku tersebut menimbulkan berbagai dampak seperti membuat korban merasa bingung, sakit hati, dan paranoid dikhianati ataupun menyalahkan diri sendiri. Idei memberikan saran kepada para korban ghosting untuk jangan merendahkan diri. Berhentilah untuk mengejar orang tersebut.
"Stop chasing for people, you deserve the best. Orang yang tepat untuk Anda akan mencari Anda dan bertanggung jawab atas tindakannya," dia menandaskan.