Hikayat Kepulauan Riau Miliki Mata Uang Rupiah Sendiri di Masa Konfrontasi

Provinsi Kepulauan Riau yang saat itu masih bergabung dengan Provinsi Riau, tercatat pernah mempunyai mata uang tersendiri sepanjang tahun 1963 sampai dengan tahun 1964

oleh Ajang Nurdin diperbarui 20 Jun 2021, 20:00 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2021, 20:00 WIB
Mata Uang Khusus Kepulauan Riau Rupiah (KRrp) uang  KR ini Pernah berlaku di Perbatasan Indonesia tepatnya Pulau Belakang Padang, Batam dan Pulau sekitarnya yang berbatasan  lansung dengan Singapura.(1963-1964). (Dok. BI/Ajang Nurdin-Liputan6.com)
Mata Uang Khusus Kepulauan Riau Rupiah (KRrp) uang KR ini Pernah berlaku di Perbatasan Indonesia tepatnya Pulau Belakang Padang, Batam dan Pulau sekitarnya yang berbatasan lansung dengan Singapura.(1963-1964). (Dok. BI/Ajang Nurdin-Liputan6.com)

Liputan6.com, Batam - Ada fakta menarik untuk dikulik di wilayah perbatasan Indonesia, tepatnya di Pulau Belakang Padang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), sekitar separuh abad yang lalu. Kepulauan Riau yang saat itu masih bergabung dengan Provinsi Riau, tercatat pernah mempunyai mata uang tersendiri sepanjang tahun 1963 sampai dengan tahun 1964.

Mata uang itu dikenal dengan Kepulauan Riau Rupiah (KRRp). Uang yang hanya khusus digunakan di wilayah Kepri, dan tidak berlaku untuk daerah lainnya di tanah air.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Batam, Muhammad Zen, mengatakan KRRp merupakan mata uang resmi yang dikeluarkan Pemerintah Republik Indonesia saat itu. KRRp ini, kata Zen, sapaan akrabnya, memiliki fungsi yang sama dengan uang, yakni sebagai alat pembayaran yang sah, tapi hanya untuk wilayah Kepri itu saja.

“Peredarannya hanya sebentar saja, sekitar tahun 1963 hingga 1964, dan itu sah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia,” kata pria kelahiran Batu Besar, Nongsa, Batam itu, belum lama ini.

Zen menuturkan, Pemerintah Indonesia mengeluarkan uang khusus KRRp karena wilayah tersebut berbatasan langsung dengan negara Singapura dan Malaysia. Ini juga tak kepas dari situasi politik kala itu. Republik ini sempat berkonfrontasi dengan 2 negara jiran tersebut.

"Agar masyarakat di perbatasan tidak terpengaruh dengan mata uang asing seperti dolar Singapura, ataupun Ringgit Malaysia," sambungnya.

Waktu itu, masyarakat Kepri banyak yang berdomisili di Pulau Belakang Padang dan pulau-pulau sekitarnya. "Kalau di Batam warganya berdomisili di Batu Besar, Nongsa, dan Jodoh,” Zen bercerita.

Kala itu, Pemerintah Indonesia sengaja membuat uang khusus bagi daerah di wilayah perbatasan ini agar nilai tukar rupiahnya sama dengan dolar Singapura. Pada tahun 1963, satu dolar Singapura nilainya sama dengan satu KRRp. Sedangkan satu dolar Singapura jika ditukar dengan uang rupiah, kata Zen nilainya sebesar Rp175.

“KRRp dan uang Rupiah yang sah sejalan digunakan di wilayah Kepulauan Riau. Pemerintah Indonesia melakukan ini agar masyarakat di perbatasan tetap mengenal rupiah, bukan dolar Singapura atau Malaysia,” Zen menjelaskan.

Saksikan Video Pilihan Berikut:

Bekerja dan Jual Hasil Bumi ke Singapura

Kondisi  Pulau Belakang Padang saat ini yang masih belum menerima layanan maksimal  perbankkan. (Foto: Liputan6.com/Ajang Nurdin)
Kondisi Pulau Belakang Padang saat ini yang masih belum menerima layanan maksimal perbankkan. (Foto: Liputan6.com/Ajang Nurdin)

Layaknya rupiah, uang KRRp ini juga ada berbentuk logam dan kertas. Di logam KRRp, terlihat jelas tulisan Kepulauan Riau jika dibandingkan dengan pecahan kertasnya. Logam KRRp terdiri dari pecahan 50 Sen, hingga 5, 10, dan 25 KR. Sedangkan pecahan kertas, terdiri dari 5, 10 dan 100 KR.

Meskipun resmi dikeluarkan pemerintah, namun nyatanya uang KRRp ini jarang digunakan oleh masyarakat pulau di pesisir perbatasan Indonesia itu. Mereka setiap melakukan transaksi jual beli pergi ke Singapura dengan menggunakan perahu. Bahkan, tidak sedikit warga Kepri yang mencari pekerjaan ke negeri jiran tersebut.

“Dulu orang sini mata pencahariannya nelayan dan bertani. Kalau mau menjual hasil panennya ya ke Singapura atau Malaysia. Makanya warga di sini lebih kenal dengan dolar Singapura ataupun Ringgit Malaysia, bahkan jual beli menggunakan dolar dan Ringgit hingga tahun 1990-an,” ucapnya

Warga di pulau-pulau sekitar Batam seperti Belakang Padang, Pulau Kasu dan lainnya saat itu memang jarang menggunakan rupiah dalam bertransaksi.

Seluruh barang kebutuhan mereka beli dari Singapura lantaran akses perdagangan yang lebih dekat ketimbang pergi ke Riau daratan. Hal ini yang membuat mereka jarang menggunakan rupiah.

Bahkan, kondisi itu masih terjadi hingga tahun 1990 akhir, di mana pada masa itu, masyarakat pulau-pulau di Batam, hanya menggunakan rupiah sekadarnya saja.

Zen menuturkan pusat perdagangan berada di Pulau Belakang Padang pada masa itu. Untuk pulau Batam sendiri, hanya sebagian pesisir yang dihuni penduduk. Di antaranya pesisir Batu Besar Nongsa.

Area pesisir ini cenderung lebih dekat dengan Malaysia, berbeda dengan daerah pesisir Tanjung Riau, Tanjung Uma dan Belakang Padang yang sejajar berada di wilayah semenanjung Batam bagian barat. Warga disana lebih dekat dengan Singapura.

Cerita khusus uang KRRp hingga peredaran dolar Singapura dan Ringgit Malaysia ini disebut Zen merupakan rekam sejarah yang pernah terjadi di pesisir perbatasan di Kepri. Bahkan, Batam sebagai kota yang sudah maju pesat saja, sulit menemukan uang KRRp ini sebagai alat tukar tunai seiring perkembangan zaman dan teknologi elektronik.

Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa masih terjadi hal demikian di pulau-pulau terpencil yang hanya dihuni oleh secuil penduduk.

Digitalisasi Transaksi

Petugas Bank Indonesia (BI)  kantor Perwakilan kepri  sedang  menyiapkan Uang Kwartal  untuk kebutuhan Masyrakat Pesisisir di Provinsi Kepri. (Foto: Liputan6.com/Ajang Nurdin)
Petugas Bank Indonesia (BI) kantor Perwakilan kepri sedang menyiapkan Uang Kwartal untuk kebutuhan Masyrakat Pesisisir di Provinsi Kepri. (Foto: Liputan6.com/Ajang Nurdin)

Camat Belakang Padang, Yudi Admajianto, mengungkap bahwa selama ini sektor perbankan di wilayahnya itu masih belum maksimal dapat terlayani dengan baik.

Jangankan untuk menyelenggarakan nontunai, masyarakat sekitar pulau yang terdiri dari tiga kelurahaan itu selalu kekurangan uang tunai saat mendatangi kecamatan. Transaksi tunai dapat terjadi hanya saat musim ikan melimpah saja. Itu pun karena keberadaan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang terbatas.

“Mereka cenderung menyimpan uang di balik kasur daripada setor ke bank, karena aksesnya juga jauh, dan biaya transportasi yang mahal ketimbang harus pergi ke kota Batam,” Yudi mengungkapkan.

Yudi mengakui program penyelenggaraan transaksi nontunai melalui uang digital dari pemerintah sudah berjalan sejak 2018. Seluruh pegawai kecamatan dan kelurahan menyalurkan bantuan sosial masyarakat dari Pemko Batam dan Pemprov Kepri melalui cara ini.

Seiring perkembangan teknologi dan anjuran pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi terus mendorong agar 5 kabupatean mengikuti Batam dan Tanjungpinang untuk digitalisasi transaksi pemerintah daerah. Dengan begitu, percepatan digitalisasi di seluruh Provinsi Kepri segera terwujud.

“Saya yakin jika kita evaluasi, terus kita dorong sama-sama ini bisa terlaksana. Oleh karena itu saya meminta kepala daerah untuk selanjutnya ke depan memperbanyak jenis transaksi yang dikelola secara elektronik,” demikian ucapan Gubernur Kepri, Ansar Ahmad saat Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia Bank Indonesia Kepri, Senin (12/4/2021).

Pembentukan Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) salah satunya bertujuan untuk mempercepat pengembangan transaksi pembayaran digital di masyarakat guna mewujudkan keuangan yang inklusif, serta meningkatkan integrasi ekonomi dan keuangan digital nasional.

“Saya yakin ketika masyarakat nanti mengerti penggunaan QRIS ini, mereka akan menularkannya kepada yang lain dari mulut ke mulut karena QRIS ini sangat praktis, orang-orang tidak perlu lagi membawa uang tunai, karena hanya dengan smartphone, kita bisa transaksi belanja," Ansar menjelaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya