3 Permainan Tradisional Sarat Pesan Moral yang Mulai Punah di Yogyakarta

Sayangnya, tidak semua anak memainkan permainan tradisional saat ini.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 18 Jul 2021, 19:00 WIB
Diterbitkan 18 Jul 2021, 19:00 WIB
Perkenalkan dengan Permainan Tradisional
credit via Shutterstock

Liputan6.com, Yogyakarta- Permainan tradisional di Yogyakarta beragam. Sayangnya, tidak semua anak memainkan permainan tradisional saat ini. Padahal, tak sedikit permainan tradisional anak yang penuh dengan pesan moral.

Berikut adalah tiga permainan tradisional anak di Yogyakarta yang mulai jarang dimainkan lengkap dengan panduan bermain dan pesan moralnya

1. Permainan Dam-Daman

Dalam permainan ini tingkat konsentrasi dan kematangan strategi sangat diperlukan. Permainan ini sangat mudah untuk dimainkan. Sebab, hanya memerlukan alat tulis berupa penggaris dan pena, serta alas.

Di atas alas tersebut digambarkan garis berbentuk segi empat. Kemudian di dalam segi empat tersebut terdapat garis kecil segitiga dan 32 persegi. Permainan ini bisa dilakukan oleh dua orang pemain.

Permainan ini hampir mirip dengan permainan catur dan halma. Sebab dalam dam-daman, pemain perlu menyiapkan beberapa batu untuk dijadikan pion-pion mereka. Jenis dam-daman beragam, tergantung dari jumlah batu yang digunakan.

Dalam permainan ini, setiap batu atau pion dari masing-masing pemain dapat bergerak dengan cara yang sama. Misal, maju, mundur, serong, ataupun menyamping. Pada umumnya, para pemain perlu mengumpan salah satu pionnya saat hendak memakan pion lawan.

Saat memberi umpan, pemain perlu melompati musuhnya saat hendak memakan pion lawan. Pemain dinyatakan kalah saat pionnya habis.

Dalam permainan tradisional ini tersirat pesan moral setiap pion memiliki nilai yang sama dan berhak menentukan pilihan strateginya. Dalam kehidupan, manusia memiliki kedudukan yang sama di mata Tuhan. Manusia dituntut berani untuk melangkah sesuai dengan pilihan hidupnya. Namun, pilihan tersebut perlu dipikirkan matang-matang untuk menimbang dampak yang akan muncul.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Gembatan

2. Permainan Gembatan atau Boy-boyan

Permainan tradisional yang menggunakan pecahan genting dan bola ini dimainkan oleh dua kelompok kecil. Masing-masing kelompok terdiri dari minimal dua orang. Permainan ini memerlukan kerja sama antar pemain dalam satu kelompok.

Dalam permainan ini pecahan genting disusun oleh kelompok pertama. Kelompok pertama perlu berhati-hati saat menyusun pecahan genting. Sebab kelompok lawan selalu siap melemparkan bola untuk meruntuhkan susunan genting tersebut.

Apabila kelompok penjaga berhasil menyusun genting, maka mereka perlu meneriakan “boy-boy” sebagai penanda permainan berhasil dimenangkan. Namun, ketika bola yang dilempar oleh kelompok lawan mengenai salah satu anggota kelompok, maka mereka akan menjadi kelompok penjaga.

Pesan moral dalam permainan ini adalah melatih kerja sama dan menanamkan sportivitas.

 

Watu Gatheng

3. Batu atau Watu Gatheng

Permainan ini berasal dari nama batu mainan Raden Rangga, Putra Panembahan Senopati Mataram sekitar abad 17. Permainan ini terdiri dari dua orang pemain dan memerlukan lima batu kerikil.

Para pemain melakukan suit atau suten untuk menentukan pemain yang mendapat giliran pertama. Permainan ini hampir mirip dengan permainan bola bekel.

Sebab, pemain perlu melempar batu kerikil tersebut ke lantai di depannya. Bedanya, dalam permainan ini yang dilempar dan yang ditangkap adalah kerikil juga.

Setiap tahap dalam permainan ini memiliki nama. Tahap pengambilan dua batu, tiga batu, dan seterusnya memiliki sebutan yang berbeda.

Tahap pengambilan dua batu yang ada di lantai disebut goro atau saku goro. Tahap pengambilan tiga batu disebut saku galu. Pengambilan empat batu disebut sapu gapuk atau gapat. Tahap selanjutnya adalah saku umbul yaitu melemparkan satu per satu batu yang ada digenggaman. Lalu menangkapnya kembali dengan tangan kiri atau kanan.

Selanjutnya pemain kembali melakukan sapu gapuk. Terakhir, pemain mendapatkan sawah yang berarti nilai. Tahap permainan ini disebut dengan saku dulit. Pemain perlu menggenggam kelima batu kerikil, kemudian memilih salah satu kerikil untuk dilemparkan ke atas.

Pada saat yang sama, pemain harus mencolek lantai atau tanah dengan jari telunjuk. Namun, harus tetap menjaga agar keempat kerikil yang ada digenggaman tidak terjatuh. Jika masing-masing tahap tersebut tidak berhasil dilakukan, maka pemain dianggap kalah.

Watu Gatheng ini menuntut pemainnya sabar dan sportif. Jika mereka tidak berhasil di salah satu tahap, maka mereka harus jujur dan memberikan giliran kepada lawan main.

(Nurul Fajri Kusumastuti)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya