Korban Percobaan Perkosaan Menangis Histeris Saat di RS Bhayangkara Aceh

Dokter di RS Bhayangkara Polda Aceh dinilai berlagak bak interogator daripada langsung memeriksa korban. Kondisi menyebabkan korban urung untuk diperiksa, dan memutuskan untuk pulang. Simak beritanya:

oleh Rino Abonita diperbarui 24 Okt 2021, 04:12 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2021, 00:00 WIB
Pelecehan Seksual
Ilustrasi/copyright shutterstock

Liputan6.com, Aceh - Pemeriksaan kesehatan terhadap korban percobaan perkosaan di Aceh Besar harus ditunda terlebih dahulu karena saat ini korban perlu menenangkan diri setelah melewati situasi yang membuatnya kurang nyaman selama pemeriksaan di RS Bhayangkara pada Jumat malam (22/10/2021). Korban bahkan sempat menunjukkan gejala histeris sampai menangis serta kejang di depan dokter yang tengah memeriksanya.

Menurut pihak LBH Banda Aceh, keputusan dilakukannya pemeriksaan kesehatan sebelum visum diambil setelah pihak kuasa hukum menjelaskan kepada petugas bahwa korban mengalami kekerasan (lebam dan sakit di beberapa bagian tubuh) saat dirinya berusaha melepaskan diri dari upaya rudapaksa. Pihak Inspektur Pengawas Daerah (Irwasda) Polda Aceh pada saat itu memfasilitasi korban untuk diperiksa ke RS. 

"Karena Irwasda mendengar korban itu mengalami kekerasan sampai badannya itu biru-biru, lebam-lebam," jelas salah satu kuasa hukum yang ikut mendampingi korban, Arabiyani, Jumat malam, kepada Liputan6.com.

Kata Arabiyani, pemeriksaan dilakukan di ruangan yang menurutnya tidak membuat korban nyaman. Ia awalnya berharap bahwa gadis itu akan dibawa ke tempat yang lebih ramah serta kondusif, bukannya tempat yang bebas diakses oleh siapa pun.

"Ketika korban duduk, dia (dokter) langsung bertanya lagi tentang kronologis," tutur Arabiyani.

Merasa keberatan dengan hal tersebut, Arabiyani langsung memotong pertanyaan dokter. Ia sangsi bahwa kronologi peristiwa yang telah dialami oleh korban percobaan perkosaan itu berkorelasi dengan pemeriksaan kesehatan yang akan dijalaninya. 

Besar kemungkinan situasi saat itu telah membuat korban panik bahkan sempat tidak mengenal orang yang ada di sebelahnya. Pihak LBH Banda Aceh pun harus mendatangkan psikolog dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh untuk menenangkannya karena RS Bhayangkara tidak menyediakannya.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Trauma

Kekerasan Seksual
Ilustrasi Kekerasan Seksual Credit: pexels.com/pixabay

Menurut Kepala Operasional LBH Banda Aceh, M. Qudrat Husni Putra, korban mulai panik sejak dokter yang menerimanya mulai mananyakan kronologis dengan gaya yang menurutnya lebih mirip interogasi. Hal tersebut diduga telah memicu bangkitnya trauma korban.

"Dokter tidak memeriksa sebagaimana mestinya. Sikap petugas rumah sakit seharusnya paham bahwa korban sedang dalam kondisi trauma. Treatment-nya pasti berbeda. Wawancaranya itu berpotensi memicu trauma korban," tegas Qudrat.

Kepada psikolog, korban mengaku ingin pulang menenangkan diri. Proses pemeriksaan akan dilanjutkan apabila korban sudah merasa baikan.

Pihak RS sempat meminta agar korban melalui kuasa hukumnya menandatangani surat pernyataan penolakan diobati/dirawat. Pihak kuasa hukum menolak menandatangi karena korban bukan tidak mau dirawat, tetapi ingin menenangkan diri terlebih dahulu, sampai bunyi surat disetujui diganti dengan pertanyaan penundaan.

Kabid Humas Polda Sebut Ada Pihak yang Pengaruhi Korban

Suasana di RS Bhayangkara saat korban hendak diperiksa kesehatannya (Liputan6.com/Ist)
Suasana di RS Bhayangkara saat korban hendak diperiksa kesehatannya (Liputan6.com/Ist)

Kabid Humas Kombes Pol. Winardy, mengungkap hal yang sebaliknya. Menurutnya, malam itu korban dipengaruhi agar pulang dan tidak mau dirawat di RS Bhayangkara. 

"Surat keluar dari rumah sakit tersebut ditandatangani oleh pendamping hukum korban atas permintaan dari korban sendiri. Kami menilai, terkesan ada yang sengaja menutup akses korban untuk dilakukan penyelidikan. Seharusnya, semua pihak harus menghargai proses penyelidikan yang kami lakukan. Bukan malah menghambatnya dengan mempengaruhi korban. Karena untuk teknik penyelidikan itu ranah polisi," ujar Winardy.

Sementara itu, saat ini polisi mulai melakukan penyidikan melalui mekanisme laporan model A, atau laporan yang dilakukan oleh polisi atas peristiwa yang menimpa korban. Ini pula yang jadi alasan mengapa sampai saat ini STBL dari polisi tidak keluar.

Selain pencarian barang bukti yang berkaitan dengan kasus tersebut, petugas sudah melakukan interviu dengan para saksi. Dari sana petugas telah membuat sketsa wajah terduga pelaku serta sketsa TKP yang diharap bisa menjadi titik terang dalam kasus ini.

Winardy juga mengklaim bahwa pihaknya bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh untuk membawa korban ke RS Bhayangkara pada malam itu. Dengan tujuan, untuk konseling dan penyembuhan trauma.

Respons LBH Banda Aceh

Kekerasan Seksual
Ilustrasi kekerasan seksual/copyright shutterstock

Pernyataan Winardy menurut Qudrat tidak benar dan cenderung menyudutkan LBH Banda Aceh selaku kuasa hukum. Yang pertama, mengenai keputusan polisi mengeluarkan laporan model A, yang menurutnya mengindikasikan bahwa laporan korban ditolak oleh polisi.

Kedua, klaim bahwa Polda Aceh bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh disebutnya juga tidak benar. Qudrat menegaskan bahwa pihak yang mendatangkan psikolog ke RS Bhayangkara adalah LBH Banda Aceh, bukan polisi.

"Selain itu, si korban dibawa ke RS Bhayangkara bukan untuk konseling dan trauma healing seperti yang dikatakan, tetapi untuk medical check up. Dokter juga tidak profesional dalam men-treatment korban, yang notabene sedang trauma. Ada pertanyaan-pertanyaan dari dokter yang membangkitkan traumatis korban sehingga korban menangis dan histeris," terang dia.

Korban ditenangkan secara persuasi oleh psikolog yang didatangkan oleh kuasa hukumnya. Melalui rekomendasi psikolog yang telah berkomunikasi dengan korban, gadis tersebut akhirnya dipulangkan ke rumahnya.

Artinya, tegas Qudrat, keputusan korban untuk pulang serta menolak untuk dirawat di RS Bhayangkara bukan karena dipengaruhi, karena keputusan tersebut diambil setelah dirinya berkomunikasi dengan psikolog. Korban sudah kadung merasa tidak nyaman, sehingga dirinya tidak mau dirawat di RS tersebut.

"Jadi, tidak ada yang mengintervensi,".

Qudrat mengatakan pihaknya selaku kuasa hukum korban siap untuk membantu polisi agar penyelidikan terhadap kasus ini berjalan dengan baik sehingga pelaku bisa segera tertangkap. Oleh karena itu, tidak mungkin pihaknya menghalangi akses penyelidikan seperti yang disinggung oleh Winardy karena hal itu hanya akan merusak upaya penegakan hukum dalam kasus ini.

"Kalau memang Polda ingin bekerja sama jangan mengeluarkan statemen yang membodohi publik, yang sifatnya menyudutkan LBH dan korban," kata Qudrat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya