Ayu Utami, dari Ketabuan hingga Kejujuran yang Melegakan

Ayu Utami mengatakan, sebuah tulisan adalah media untuk berekspresi, bereksplorasi, seperti apa adanya diri.

oleh Mina Megawati diperbarui 29 Okt 2021, 03:00 WIB
Diterbitkan 29 Okt 2021, 03:00 WIB
Dokumentasi Pribadi Ayu Utami
Dokumentasi Pribadi Ayu Utami

Liputan6.com, Jakarta - Perempuan kelahiran kota Bogor bernama lengkap Justina Ayu Utami, kemudian diakrabi publik karena karya yang dinilai pendobrak ketabuan, khususnya masalah seks, agama, dan politik.

Ayu Utami, begitu pembaca mengenal namanya mengungkapkan bahwa segala hal yang dianggap tabu sebenarnya meretas ruang di mana orang tak bisa bernegosiasi. Di sinilah perlunya berkomunikasi yang jujur.

Jujur membuat kita merasa lega. Namun kadang kita dipaksa berbohong pada diri sendiri, kita dipaksa jadi orang lain. Inilah bentuk ketidakjujuran, ketidakotentikan. Sedangkan seni itu memberi bentuk estetik pada kejujuran. Meski kadang kejujuran itu tidaklah estetik, tidak enak dilihat.

“Tujuan dari sebuah tulisan adalah sebagai media untuk berekspresi, bereksplorasi, seperti apa adanya diri,” katanya pada jurnalis Liputan6.com, Selasa (26/10/21), melalui wawancara yang difasilitasi oleh tim media Ubud Writers and Readers Festival 2021.

“Di sanalah ruang untuk menuangkan segala bentuk kegelisahan terhadap apa yang kita amati di sekitar,” tambahnya.

Seorang Ayu Utami hanya mencari bentuk estetik dari suara autentik yang berasal dari dalam dirinya. Baginya, suara-suara itu adalah refleksi kejujuran diri. Ketika kita jujur, di saat itulah kita akan merasa amat lega.

“Misalnya saat saya marah, lalu saya melihat lebih jujur apa yang membuat saya marah, lalu mencari bentuk estetis dan menemukan cara terbaik untuk menyampaikan kemarahan itu,” kata penulis Novel Saman ini mencontohkan.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak video pilihan berikut ini:

Penulis dan Kegelisahannya

“Tanpa kegelisahan kita akan mandek,” kata pemenang sayembara penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta.

Menurutnya, seni yang terbaik dapat tercipta dari suasana kegelisahan. Dan seni yang kaya tidak tercipta dari suasana statis. Sebuah karya seni yang bertenaga itu pasti berawal dari sebuah kegelisahan di belakangnya.

Awalnya, kegelisahan yang dirasakan Ayu tidak langsung berhasil dianalisanya. Seperti lima hal yang meresahkannya sejak kecil seperti kata-kata perawan tua, wanita tuna susila (wts), orgasme, down syndrome, pengemis hamil. Di sana dia melihat ada struktur yang tidak adil dalam masyarakat.

Kemudian itulah yang menggerakkannya untuk menuliskan.Pada masanya kala itu saat belum adanya internet. Informasi pun masih terbatas termasuk tentang seksualitas pun belum banyak. Sementara baginya, secara biologis organ reproduksi perempuan lebih kompleks daripada milik laki-laki. Dikarenakan di dalam tubuh perempuan ada organ reproduksi yang tidak terlihat. Itulah yang menambah rasa penasaran seorang Ayu Utami untuk menggalinya.

Tentang Reaksi Pembaca

Dia tak pernah takut pada reaksi pembaca akan karyanya yang kontroversial. Baginya selama yang disampaikannya adalah sebuah kejujuran. Karena baginya jujur tidak selalu berarti benar. Jujur juga bisa salah.

“Bagi saya yang kontroversial pun bisa dikomunikasikan,” ujar Ayu yang juga salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Seorang penulis laiknya melakukan persidangan pengadilan di kepalanya. Di sana tempat menimbang-nimbang segala hal yang hendak disampaikan ke publik

“Proses ini ditempuh dengan konsekuen. Ini bisa meminimalisir kesalahan. Kalau kita bisa melakukannya, maka kita bisa menjawab dan beragumen,” tegas penulis Novel Bilangan Fu ini.

“Saya berharap, pembaca buku saya akan memiliki lebih banyak ruang bebas. Bisa menambah ruang yang akan membuat hidupnya menjadi lebih lega.”

Kepekaan Seorang Penulis

“Menjadi peka itu sakit lho. Makanya banyak yang memilih menjadi bebal. Pura-pura tidak peka. Inilah yang kemudian membuat seseorang mengabaikan kepekaannya, menjadi bebal supaya dia merasa lebih nyaman,” ujar Ayu yang merupakan mantan wartawan.

Baginya kepekaan diri adalah modal seorang penulis yang perlu untuk didengarkan.

“Jadikan menulis sebagai, me time kita. Waktu untuk refleksi diri. Ini jadi momen yang dibutuhkan untuk kehidupan kita."

Dia menyebutkan kalau break atau jeda sesaat dari pekerjaan untuk sekadar masuk ke dalam diri itu penting.

"Kalau kita hanya menulis untuk orang lain, terpaku pada tujuan laku atau tidaknya buku kita nanti, hal-hal semacam itu akan membuat kita stuck dan berhenti berkarya. Jadikan menulis untuk kebutuhan batin, momen berkhayal, otomatis akan membuat kita produktif," pungkasnya pada pewarta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya