Kesaksian Eks Sekdis PUTR Sulsel 'Beratkan' Nurdin Abdullah di Sidang Dugaan Suap dan Gratifikasi

Kesaksian Eks Sekretaris Dinas PUTR Provinsi Sulsel Edy Rahmat memberatkan Nurdin Abdullah dalam persidangan di PN Tipikor Makassar.

oleh Eka Hakim diperbarui 04 Nov 2021, 19:00 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2021, 19:00 WIB
Eks Sekdis PUTR Sulsel Edy Rahmat memberikan kesaksian dalam sidang dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur Sulsel non aktif Nurdin Abdullah sebagai terdakwa (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Eks Sekdis PUTR Sulsel Edy Rahmat memberikan kesaksian dalam sidang dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur Sulsel non aktif Nurdin Abdullah sebagai terdakwa (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Mantan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Edy Rahmat diberi kesempatan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersaksi dalam perkara dugaan suap dan gratifikasi yang mendudukkan Gubernur Sulsel non aktif, Nurdin Abdullah sebagai terdakwa, Rabu (3/11/2021).

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Makassar yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Ibrahim Palino itu, Edy yang juga diketahui berstatus terdakwa dalam perkara dugaan suap dan gratifikasi tersebut, tampak blak-blakan mengungkap kronologi awal ia mengenal Nurdin Abdullah hingga kemudian menerima sejumlah uang dari beberapa kontraktor ternama di Sulsel atas dugaan permintaan Nurdin Abdullah dan akhirnya terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, tepatnya pada 27 Februari 2021 sekitar pukul 01.00 dini hari.

Edy mengatakan, awal mula mengenal Nurdin Abdullah saat bertugas di Kabupaten Bantaeng. Di mana Edy, saat itu menjabat sebagai Kepala Bidang di Dinas Bina Marga Kabupaten Bantaeng dan Nurdin Abdullah sebagai Bupati Bantaeng.

"Saya kenal Pak Nurdin sejak di Bantaeng. Beliau sebagai Bupati Bantaeng dua periode (2008-2013). Saya kala itu jabat sebagai Kepala Bidang Bina Marga Kabupaten Bantaeng," kata Edy menjawab pertanyaan JPU terkait awal dirinya mengenal sosok Nurdin Abdullah.

Demikian juga terkait kedekatannya dengan sosok Sari Pudjiastuti dan Agung Sucipto. Edy mengaku mengenal keduanya sejak bertugas di Kabupaten Bantaeng.

"Bu Sari itu dulu sama-sama bertugas di Bantaeng. Dia sebagai Kepala ULP Pembangunan Dinas Kesehatan Bantaeng. Sementara Agung seorang kontraktor yang sering mengerjakan sejumlah proyek pembangunan jalan di Kabupaten Bantaeng," tutur Edy.

Saat JPU KPK mempertanyakan ihwal dirinya pindah tugas ke Kota Makassar, Edy awalnya mengatakan, jika dirinya pindah tugas dari Kabupaten Bantaeng ke Kota Makassar itu, atas keinginannya sendiri. Namun belakangan ia tetap mengakui perpindahan tugasnya ke Makassar juga atas permintaan Nurdin Abdullah .

"Pak Nurdin panggil saya untuk membantu pekerjaannya nanti di Sulsel. Kata dia kalau kita menang pilkada (Pemilihan Gubernur Sulsel), saya mau ajakko (ajak kamu) pindah ke Makassar," ungkap Edy mengutip perkataan Nurdin Abdullah ke dia saat itu.

Dan akhirnya setelah menang dalam pertarungan Pemilihan Gubernur Sulsel (Pilgub Sulsel) periode 2018-2023, Edy lalu ditarik oleh Nurdin Abdullah pindah ke Makassar. Tepatnya Edy bertugas sebagai staf pada Dinas PUTR Sulsel yang sebelumnya bernama Dinas Bina Marga Provinsi Sulsel.

"Kemudian September 2020, saya diangkat menjabat sebagai Sekretaris Dunas PUTR Sulsel. Surat Keputusan (SK) pengangkatan saya ditandatangani oleh Pak Nurdin selaku Gubernur Sulsel dan pelantikan dipimpin oleh Wakil Gubernur Sulsel (Wagub) Andi Sudirman Sulaiman," ucap Edy.

Setelah menjelaskan awal kedekatannya dengan Nurdin Abdullah hingga kemudian ditarik bertugas ke Makassar, JPU KPK selanjutnya meminta Edy menceritakan kronologi sehingga ia kemudian terjaring dalam OTT KPK.

"Kalau saudara saksi (Edy) lalu kemudian terjaring OTT KPK. Itu gimana ceritanya. Tolong diceritakan," tanya salah satu anggota tim JPU KPK kepada Edy.

Edy lalu menjawab, betul dirinya tertangkap KPK saat berada di rumahnya. Dalam OTT KPK itu, turut diamankan uang dalam koper senilai Rp2 miliar dan Rp500 juta dalam tas ransel.

"Total uang ada Rp2,5 miliar. Sumbernya dari Agung Sucipto," kata Edy.

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Uang dari Sejumlah Kontraktor

Selain itu, lanjut dia, juga terdapat uang sebesar Rp300 juta lebih dan semuanya telah disita oleh KPK saat itu juga. Uang Rp300 juta lebih itu, kata Edy, merupakan fee 10 persen dari total dana Rp3 miliar lebih yang ia terima dari sejumlah kontraktor ternama di Sulsel masing-masing Jhon Tidore, Petrus, H. Momo, Andi Kemal, Yusuf Rombe, Robert, Hendrik, Lukito, Tyo, Rudi Moha dan Karaeng Konde.

Uang yang diterima Edy dari Jhon Tidore senilai Rp525 juta, Petrus Yalim Rp445 juta, H. Momo Rp250 juta, Andi Kemal Rp479 juta, Yusuf Rombe Rp525 juta, Robert Rp58 juta, Hendrik Rp397 juta, lukito Rp24 juta, Rudi Moha Rp800 juta, Tyo kontraktor selayar CV Jampea serta ada juga dari Karaeng Konde kontraktor asal Kabupaten Bantaeng. Di mana total pemberian dari kontraktor tersebut senilai Rp3,241 miliar.

"Rp2,817 miliar saya berikan ke Gilang Gemilang, oknum auditor BPK Provinsi Sulsel dan sisanya sebesar Rp324 juta untuk saya," terang Edy.

Mengenai penerimaan uang senilai Rp2,5 miliar yang bersumber dari Agung Sucipto, kontraktor asal Kabupaten Bulukumba, kata Edy, itu bermula dari arahan atau perintah dari Nurdin Abdullah.

Sebelum ia terjaring OTT KPK bersama Nurdin Abdullah dan Agung Sucipto, 27 Februari 2021 sekitar pukul 01.00 wita dini hari atau tepatnya dua pekan sebelum OTT, Edy mengaku pernah dipanggil menghadap kepada Nurdin Abdullah melalui ajudannya yang berstatus anggota Polri, Syamsul Bahri.

"Saya pernah dipanggil ke rumah jabatan (rujab) seingat saya. Mungkin dua pekan sebelum OTT, saya disuruh datang. Kalau tidak salah ajudan Syamsul Bahri yang telepon saya untuk datang segera ke rujab," tutur Edy dalam persidangan.

Pertemuannya dengan Nurdin Abdullah yang berlangsung empat mata di salah satu ruangan di Rujab Gubernur Sulsel Jalan Jenderal Sudirman, Makassar itu, kata Edy, berjalan cukup singkat.

"Saya bertemu sekitar 5 menit. Di situ, Pak Nurdin sampaikan ke saya untuk menemui Agung Sucipto dan sampaikan pesan minta tolong agar dibantu relawan, pilkada sudah dekat. Tapi Pak Nurdin tidak sampaikan itu pilkada apa," beber Edy.

Mendengar permintaan Nurdin Abdullah itu, Edy lalu menjawab siap dan segera menyampaikan pesan yang dimaksud ke Agung Sucipto.

Saat JPU KPK menanyakan apakah permintaan bantuan kepada Agung Sucipto itu kaitannya dengan uang?.

"Iya bantuan permintaan uang, saya jawab saat itu, siap pak nanti saya sampaikan," kata Edy.

Setelah mendengar permintaan Nurdin Abdullah tersebut, Edy langsung meninggalkan rujab dan selanjutnya menemui Agung Sucipto di kediamannya di Kabupaten Bulukumba.

"Sekitar empat hari setelah (perintah) itu saya bertemu dengan Pak Agung Sucipto di Bulukumba dan saya sampaikan permintaan Pak Gubernur itu. Pak Agung merespon, katanya kalau dananya sudah siap nanti saya dihubungi," jelas Edy.

Meski demikian, ia mengaku permintaan Nurdin Abdullah kepada Agung Sucipto melalui dirinya itu, tidak pernah menyebut nilai.

"Tidak ada disampaikan jumlahnya, tapi nanti saya terima uangnya dari Pak Agung baru saya tahu jumlahnya," ucap Edy.

Sehari sebelum OTT, Agung Sucipto kemudian menghubungi Edy dan mengajaknya bertemu di Cafe Pancious yang terletak di Jalan Hertasning, Makassar..

Dalam pertemuan di cafe itu, Agung memberitahu Edy jika dana yang dibutuhkan Nurdin Abdullah sudah siap.

"Pertemuan di cafe itu singkat, karena saya buru-buru. Pak Agung hanya sampaikan, dananya sudah siap dan proposal sudah ada," ujar Edy.

Esoknya tepatnya 26 Februari 2021, lanjut Edy, Agung Sucipto kembali menghubunginya untuk menyerahkan uang terkait permintaan Nurdin Abdullah yang dimaksud.

Keduanya pun mengatur tempat pertemuan dan menyepakati bertemu di Rumah Makan Nelayan yang berlokasi di Jalan Ali Malaka, Makassar.

"Awalnya Pak Agung minta bertemu langsung di Rujab Gubernur tapi saya bilang jangan di sana karena ramai orang dan ada banyak CCTV. Akhirnya kami ketemuan di Rumah Makan Nelayan," terang Edy.

Di Rumah Makan Nelayan, Agung posisinya berada di atas mobilnya. Edy yang baru tiba kemudian turun dari mobilnya dan berpindah naik ke atas mobil yang ditumpangi oleh Agung Sucipto.

"Saya naik ke mobilnya Pak Agung. Saya disuruh masuk duduk di kursi bagian tengah dan di situ juga Pak Agung duduk. Yah kami berdua di kursi tengah. Di atas mobil, Pak Agung bilang ini uangnya sudah siap. Uang ini untuk Pak Nurdin," ungkap Edy.

Setelah itu, Edy tak langsung turun dari mobil yang ditumpangi oleh Agung. Mereka berdua dalam satu mobil kemudian meninggalkan Rumah Makan Nelayan berkeliling hingga tiba di sekitaran taman kota yang bernama Taman Macan.

"Di Taman Macan itu, kami berhenti. Saya lalu pindah kembali ke mobil saya yang mengekor di belakang mobil Pak Agung. Demikian uang yang dibawa Pak Agung sekalian dipindahkan juga ke mobil saya. Pak Agung sendiri yang memindahkan ke mobil saya," kata Edy.

Uang dari Agung Sucipto, ungkap Edy, nilainya Rp2,5 miliar disertai dengan proposal permintaan proyek bantuan keuangan untuk Kabupaten Sinjai.

"Uang Rp2,5 miliar itu, Pak Agung kemas dalam koper sebesar Rp2 miliar dan Rp500 juta dalam tas ransel. Juga ada proposal terkait proyek bantuan keuangan untuk Kabupaten Sinjai, seingat saya terkait proyek irigasi," terang Edy.

 

Uang Terima Kasih

Penyampaian Agung Sucipto kepada Edy, bahwa dari total uang yang diserahkan sebesar Rp2,5 miliar tersebut, Rp1, 450 miliar merupakan ucapan terima kasih untuk Nurdin Abdullah atas perampungan pekerjaan pembangunan Jalan Palampang- Munte- Botolempangan di Kabupaten Bulukumba yang anggarannya bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp15 miliar lebih dan dari Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp19 miliar lebih.

Sedangkan Rp1, 050 miliar, kata Edy, menurut Agung Sucipto, itu merupakan uang untuk kaitannya dengan proposal bantuan keuangan proyek irigasi di Kabupaten Sinjai.

"Dari total Rp2,5 miliar itu, Rp1,450 miliar terkait proyek yang telah dikerjakan Pak Agung yang sudah selesai, mungkin uang terima kasih karena selesai pekerjaannya. Sisanya Rp1,050 miliar terkait proposal bantuan keuangan irigasi Kabupaten Sinjai," ungkap Edy.

"Jadi pada waktu itu, Pak Agung sendiri yang sampaikan kalau uang Rp1, 050 miliar itu khusus untuk proposal bantuan keuangan Kabupaten Sinjai, itu untuk Pak Gubernur," Edy menambahkan.

Setelah menerima uang dari Agung Sucipto tersebut, Edy lalu pulang ke rumah dinasnya di Jalan Hertasning, Makassar. Rencananya uang tersebut akan diserahkan kepada Nurdin Abdullah, esok paginya.

"Tapi uang belum sempat saya serahkan dan saya ditangkap oleh KPK malam itu," Edy menandaskan.

Mendengar keterangan Edy Rahmat dalam persidangan tersebut, Nurdin Abdullah yang diberikan kesempatan menanggapi oleh Majelis Hakim, kemudian secara tegas membantah.

Dia mengaku tidak tahu menahu terkait uang Rp2,5 miliar yang disebutkan oleh Edy Rahmat tersebut.

"Yang disampaikan saksi (Edy) terkait dengan dana Rp2,5 miliar, saya tidak mengerti dan saya tidak paham. Saya tidak pernah meminta untuk relawan karena pilkada masih lama," Nurdin Abdullah membantah.

Edy Rahmat yang kembali diberikan kesempatan menanggapi bantahan Nurdin Abdullah atas kesaksiannya dalam persidangan, tetap bersikukuh jika kesaksiannya atau keterangan dalam sidang tidak berubah meski tidak diakui oleh Nurdin Abdullah.

"Saya sudah disumpah, saya bersumpah tujuh turunan tidak selamat kalau saya bohong. Dan saya tetap dengan kesaksian saya," tegas Edy.

Usai mendengarkan kesaksian Edy Rahmat sekaligus tanggapan terdakwa Nurdin Abdullah dalam persidangan, Majelis Hakim lalu menutup jalannya sidang dan mengagendakan kembali sidang berikutnya dengan agenda yang sama. Di mana kali ini Nurdin Abdullah bersaksi dalam perkara dugaan suap disertai gratifikasi yang menjerat Edy Rahmat sebagai terdakwa besok tepatnya Kamis 4 November 2021.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya