Setiap 18 Jam 45 Menit, Satu Anak di Aceh Jadi Korban Kekerasan Seksual

YLBHI-LBH Banda Aceh mengalkulasikan jumlah anak yang menjadi korban kekerasan seksual di provinsi itu. Simak pula apa kata direktur lembaga nonpemerintah tersebut mengenai faktor penyebab kasus-kasus tersebut terus terjadi.

oleh Rino Abonita diperbarui 12 Nov 2021, 09:00 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2021, 09:00 WIB
Foto ilustasi predator anak (Liputan6.com/Rino Abonita)
Foto ilustasi predator anak (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Setiap 18 jam 45 menit, satu orang anak di Aceh menjadi korban kekerasan seksual. Pernyataan ini dilontarkan oleh YLBHI-LBH Banda Aceh, berdasarkan hasil kalkulasi mengutip data dari otoritas terkait bahwa sepanjang Januari-September 2021, atau dalam 273 hari terjadi sebanyak 355 kasus kekerasan seksual terhadap anak di provinsi itu.

Menurut direktur lembaga nonpemerintah itu, Syahrul, ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab mengapa kasus kekerasan seksual terhadap anak terus terjadi. Salah satunya, erat dengan perspekstif penegakan hukum, bahkan sejak di tingkat kepolisian yang terkadang tidak sigap dalam menanggapi laporan korban.

"Polisi bahkan kerap menolak laporan korban. Selanjutnya, di tingkat pengadilan, beban pembuktiannya dibebankan ke korban, sehingga pelaku kerap dibebaskan. Selanjutnya, masalahnya ada di Qanun Jinayah itu sendiri," jelas Syahrul, kepada Liputan6.com, Kamis (11/11/2021). 

Peradilan untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dijerat dengan Qanun Jinayah dibebankan kepada Mahkamah Syar'iyah (MS) yang ada di Aceh. Tugas dan wewenang ini dinilai Syahrul tidak relevan dengan tugas pokok lembaga tersebut, karena selama ini aktivitas MS berkelindan seputar perkawinan, waris, wasiat, dan beberapa hal lain, yang hanya menyentuh perkara perdata, sementara kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan perkara pidana. 

"Ada perbedaan antara mengadili urusan pidana dengan perdata. Dalam perdata, beban pembuktiannya dibebankan kepada siapa yang menggugat. Ketika MS melakukan persidangan kasus kekerasan seksual terhadap anak, mereka membebankan itu kepada korban. Ini jadi masalah, ketika memberi suatu kewenangan kepada yang tidak berkompeten. Harusnya tetap di ruang lingkup pengadilan negeri karena hakimnya ada perdata dan pidana, di mana kebanyakan hakim juga sudah punya sertifikasi anak," terang Syahrul.

Masalah lainnya ialah jumlah hukuman yang terhadap pelaku diakomodasi di dalam qanun dianggap terlalu rendah untuk sebuah kejahatan yang telah diakui sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Di dalam qanun, jumlah hukuman paling hukum banter untuk kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 16 tahun, itu pun seandainya pelaku tidak dicambuk.

Sebagai informasi, dalam pelaksanaanya, cambuk yang digunakan untuk hukuman cambuk di Aceh terbuat dari sepotong rotan, berdiameter 0,7 sampai 1,00 sentimeter dengan panjang satu meter—ujung rotan tidak boleh ganda atau dibelah. Saat eksekusi, jarak eksekutor dengan terhukum adalah 0,70 sampai satu meter, serta dapat mengambil kuda-kuda dengan jarak antara kaki kiri dan kaki kanan 50 sentimeter.

Cambukan tersebut dinilai tidak memiliki efek jera jangka panjang karena hanya berlangsung dalam waktu singkat, kendati terpidana akan merasakan sakit akibat kena pecut rotan yang diameternya tidak seberapa yang bisa sembuh dalam waktu singkat. Setelah, itu pelaku bisa bebas berkeliaran kembali. 

Simak video pilihan berikut ini:

Revisi Qanun Jinayat

Direktur LBH Banda Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)
Direktur LBH Banda Aceh (Liputan6.com/Rino Abonita)

Dalam UU Perlindungan Anak (UUPA), tepatnya dalam UU Nomor 17/2016 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, jika menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.

Dilihat dari berbagai sudut, imbuh Syahrul, UUPA jauh lebih komprehensif ketimbang Qanun No 6 Tahun 2014 tentang Jinayah. Aturan setingkat perda itu hanya memberi jaminan hak restitusi kepada anak yang jadi korban kekerasan seksual pemerkosaan, sebaliknya, tidak berlaku untuk korban pelecehan seksual.

Sementara, dampak psikis yang dialami korban pelecehan seksual juga sangat merusak. Dalam UUPA, hak restitusi berlaku untuk semua jenis kejahatan seksual, yang biayanya dibebankan kepada pelaku, artinya, ia tidak hanya dihukum penjara, tetapi juga dimiskinkan.

Kelemahan lain dari qanun yakni tidak adanya kewajiban pemulihan, baik secara psikologis maupun secara sosial, dan beberapa hal penting lainnya. Lagi-lagi, ini berbeda dengan apa yang terdapat di dalam UUPA.

Saat ini, sedang digalakkan tagar #revisiqanunjinayat, sebuah tagar yang diinisiasi sejumlah elemen masyarakat di Aceh di bawah payung Gerakan Revisi Qanun Jinayah, yang tujuannya mendorong dicabutnya dua pasal yang secara khusus mengatur tentang sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Tujuan utamanya agar penegakan hukum terhadap pelaku dikembalikan kepada UUPA, yang memang secara khusus mengatur tentang perlindungan terhadap anak.

Kata Syahrul, wacana sudah dibahas secara serius di tingkat legislatif. Kini sudah terbentuk formasi atau tim inisiator yang berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh berjumlah 13 orang yang telah mengajukan berkas revisi, tinggal menunggu paripurna penetapan apakah ia akan masuk ke dalam program legislasi daerah (prolegda) 2022 atau tidak.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya