Liputan6.com, Ambon - Usai melakukan musyawarah terkait bentrok yang terjadi di Pulau Haruku, Maluku Tengah, para tokoh agama menegaskan, bentrokan yang terjadi antarwarga Ori dan Kariuw, bukan konflik suku agama dan golongan tertentu.Â
Sekretaris Umum MUI Maluku, Abdul Manan Latuconsina, di Ambon, Rabu kemarin (26/1/2022) menyatakan, bentrokan antara warga dua desa bertetangga itu karena dipicu sengketa lahan.
Baca Juga
"Bukanlah konflik SARA atau konflik agama, atau konflik Islam dan Kristen, tetapi murni karena sengketa lahan," katanya.
Advertisement
Dirinya meminta media untuk memberitakan kondisi sebenarnya yang terjadi, sehingga masyarakat tidak terprovokasi dan memperkeruh situasi saat ini.
MUI Maluku secara institusi sangat menyesalkan dan menyayangkan terjadinya insiden tersebut dan meminta seluruh pemangku kepentingan termasuk aparat keamanan membantu mengamankan situasi yang terjadi di wilayah Maluku khususnya di Pulau Haruku agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
"MUI secara kelembagaan siap membantu pemerintah dan aparat keamanan menciptakan stabilitas keamanan di Kariu, Pelauw dan sekitarnya, karena itu setelah mendengar apa yang terjadi di sana kami langsung menghubungi tokoh-tokoh yang berkompeten para imam, tokoh masyarakat agar bisa menahan diri," tegasnya.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Respons Gereja Protestan Maluku
Ketua Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) pendeta Elifas Tomix Maspaitella, juga menegaskan, konflik antarwarga dua desa itu bukan dilandasi SARA atau konflik agama.
"Ini bukan konflik agama, tetapi sengketa lahan yang lamban disikapi pemerintah dan aparat keamanan," katanya.
Karena itu, semua pihak diminta menahan diri dan menjadikan konflik tersebut sebagai masalah bersama untuk diatasi dan menciptakan keamanan dan kedamaian di Maluku.
"Pada intinya kami hanya ingin masalah ini secepatnya diselesaikan dan tidak berekses ke daerah lain serta seluruh proses perdamaian dapat dibangun kembali.
Para tokoh agama, ujar Elifas siap bergandengan tangan dan turun ke lapangan untuk membantu proses rekonsiliasi antarwarga yang bertikai.
"Kita pernah memiliki pengalaman konflik kemanusiaaan berkepanjangan pada 1999 dan semua orang Maluku telah belajar dari pengalaman tersebut. Karena itu, semua elemen masyarakat di Maluku harus dapat bersatu dan melawan berbagai bentuk provokasi di tengah masyaakat," katanya.
Â
Advertisement
Digiring ke Konflik SARA
Sedangkan Kepala Badan Intelijen Nasional Daerah (BINDA) Maluku, Jimmy Aritonang, menyebut ada permainan sekelompok pihak yang ingin menggiring konflik antarwarga dua desa itu ke konflik SARA.
"Karena itu tolong semua langkah pengamanan maupun pemberian dikoordinasikan dengan ketat bersama aparat keamanan khususnya TNI dan Polri, sehingga tidak pemikiran negatif di masyarakat," katanya.
Begitu pun menyangkut pemberian bantuan, Aritonang juga meminta Pemprov Maluku maupun Kabupaten Maluku Tengah untuk mengordinasikannya dengan baik sehingga tidak dinilai hanya memihak satu kelompok dan mengabaikan kelompok lain.
Dia juga menegaskan, telah diminta oleh Kepala BIN untuk segera berkoordinasi dengan pemprov maupun para tokoh agama, guna mencegah masalah tersehut digiring ke konflik agama atau SARA.
"Jadi saat ini yang paling tepat turun ke lapangan untuk mendinginkan emosi warga adalah tokoh agama masing-masing, karena suaranya bisa didengar umatnya," katanya.