Curhatan Petani Gorontalo, Menanti Hujan di Tengah Krisis Perubahan Iklim

Cuaca yang saat ini sulit untuk diprediksi membuat sejumlah petani di Gorontalo harus meratapi nasibnya.

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 03 Feb 2022, 14:00 WIB
Diterbitkan 03 Feb 2022, 14:00 WIB
Sejumlah Petani sawah di Provinsi Gorontalo. (Foto: Arfandi/Ibrahim)
Sejumlah Petani sawah di Provinsi Gorontalo. (Foto: Arfandi/Ibrahim)

Liputan6.com, Gorontalo - Cuaca yang saat ini sulit untuk diprediksi, membuat sejumlah petani di Provinsi Gorontalo harus meratapi nasibnya. Sebab, mereka tak lagi bisa memprediksi kapan datangnya kemarau dan waktu hujan.

Dengan keadaan seperti ini, kerap kali mereka harus menunda waktu penanaman. Tidak hanya itu, mereka pun sering mengalami gagal panen akibat cuaca yang tidak menentu.

Minimnya informasi prakiraan cuaca hingga gagap teknologi, membuat petani jauh tertinggal. Saat ini, mereka hanya mengandalkan buku perbintangan zaman dulu peninggalan nenek moyang mereka.

Namun, dengan adanya perubahan iklim, buku perbintangan tersebut seakan tidak relevan lagi. Waktu penanaman hingga prediksi cuaca tak mampu lagi diprediksi hanya dengan mengandalkan kitab zaman dulu tersebut.

Saat ini, petani yang sudah melakukan penanaman hanya bisa pasrah dengan keadaan. Mereka sebisa mungkin menggunakan alat seadanya untuk mengairi kebun mereka agar mampu memenuhi kebutuhan air untuk tanaman.

"Memang saat ini cuaca sangat sulit untuk diprediksi, kitab yang kami gunakan untuk memprediksi cuaca sering meleset," kata Haris Pakaya salah satu petani konvensional di Gorontalo kepada Liputan6.com, Rabu (2/2/2022).

Menurutnya, kurangnya informasi yang mereka dapatkan, merupakan salah satu faktor yang membuat mereka harus menerima kerugian akibat gagal panen. Ketidaktahuan mereka dalam penggunaan teknologi membuat sejumlah petani harus bertahan dengan situasi dan kondisi yang ada.

"Lalu kami harus berbuat apa, gadget tidak punya. Meskipun kami punya, pasti tidak semua tahu mengoperasikannya," katanya.

"Dengan keadaan begini kami sangat rugi, saat kami memprediksi bahwa beberapa bulan ke depan akan datang musim hujan, tahunya tiba-tiba kemarau panjang. Begitu juga sebaliknya," ungkapnya.

Ia berharap kepada pemerintah agar memberikan solusi kepada para petani terkait hal itu. Sebab, prediksi cuaca salah satu dasar petani untuk melakukan penanaman. Edukasi soal waktu penanaman dinilai masih kurang efektif.

"Minimal ada informasi dari pemerintah misalkan dalam sepekan tidak bisa menanam. Atau Paling tidak menginformasikan langsung kepada kami waktu-waktu kapan potensi turunya hujan," tutur Haris.

"Kalau begini terus kami pasti rugi, tanaman jagung serta tanaman jenis hortikultura pasti mati. Apalagi cuaca kadang hujan, kadang panas, bisa jadi tanaman terserang hama," ungkapnya.

Simak juga video pilihan berikut:

Penjelasan BMKG

Salah satu pegawai Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Bone Bolango, Noval Arif saat melakukan pemantauan (Arfandi/Liputan6.com)
Salah satu pegawai Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Bone Bolango, Noval Arif saat melakukan pemantauan (Arfandi/Liputan6.com)

Sementara pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bone Bolango, Noval Arif membenarkan soal perubahan iklim di Provinsi Gorontalo. Menurutnya, saat ini seringkali terjadi cuaca ekstrem yang tidak pernah diprediksi sebelumnya.

"Seperti pengalaman kami biasanya suhu udara yang tiba-tiba naik dan curah hujan yang secara ekstrem tidak seperti biasanya terjadi," kata Noval.

Selain itu, kata Noval, dampak tersebut sudah terjadi 10 tahun belakangan ini. Bahkan, setiap tahun sering kali terjadi fenomena cuaca yang anomali.

"Cuaca yang tadinya diprediksikan hujan malah jadi kemarau. Biasanya itu diakibatkan oleh cuaca pengganggu seperti fenomena el nino dan la nina," tuturnya.

"Di tahun ini akan ada fenomena la nina, tapi dikategorikan lemah. Namun saya berharap agar masyarakat lebih mawas dengan setiap fenomena perubahan iklim," ia menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya