Misteri Suara Tetabuhan Gamelan dari Gua Selarong Terdengar pada Malam Selasa Kliwon

Di Kota Yogyakarta, beberapa orang seringkali bercerita pada malam-malam tertentu mendengar suara tetabuhan gamelan yang identik dengan bregada atau prajurit keraton.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 05 Apr 2022, 02:00 WIB
Diterbitkan 05 Apr 2022, 02:00 WIB
Ilustrasi gua selarong
Ilustrasi gua selarong. (dok. pexels.com/Jeremy Bishop)

Liputan6.com, Yogyakarta - Di Kota Yogyakarta, beberapa orang seringkali bercerita pada malam-malam tertentu mendengar suara tetabuhan gamelan yang identik dengan bregada atau prajurit keraton. Namun, tidak hanya di wilayah Kota Yogyakarta bunyi tetabuhan gamelan itu muncul, tetapi di sekitar wilayah Gua Selarong, Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Bantul suara tabuh-tabuhan itu juga sering terdengar.

Uniknya, suara-suara itu terdengar hanya pada tengah malam Selasa Kliwon saja. Malam lainnya, tidak terdengar suara itu.

Cerita bunyi tetabuhan gamelan bregada ini diceritakan, Anton, yang pernah tinggal di perumahan yang tepat berada di atas perbukitan Gua Selarong, gua yang menjadi markas pasukan Pangeran Diponegoro melawan Belanda.

Anton, warga Surabaya, ini memutuskan membeli perumahan di lokasi yang dulunya hutan jambu biji. Rumah yang dibelinya berada di pinggir paling selatan dan menghadap hutan yang menjadi batas dengan kawasan Goa Selarong.

Jika berjalan kaki ke arah selatan, dari rumah Anton, gua Selarong bisa ditempuh 20 menit saja, melintasi hutan yang didominasi pohon jati dan satu jalan setapak saja.

Pada suatu malam Selasa Kliwon, Anton kebetulan pulang menjelang tengah malam karena ada pekerjaan yang belum selesai. Saat itu, hujan rintik-rintik turun dari sore dan belum reda.

Melintasi perumahan yang baru dibangun, tiga tahun sebelum dirinya tinggal. Anton merasa aneh. Di jalan utama di perumahannya sepi. Tidak ada orang yang keluar. Biasanya tidak peduli hujan, beberapa orang memilih duduk bermain kartu di pos ronda.

Merasa tidak ada yang dikhawtirkan, Anton yang baru tinggal enam bulan memutuskan langsung ke rumahnya. Anton adalah orang pertama yang menempati gang paling ujung. Ada enam deret rumah, tetapi hanya dia yang menempati.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Tetabuhan Gamelan

Seusai makan dan mandi, Anton merebahkan diri sambil menonton televisi.

Ia terkejut saat sayup-sayup mendengar ada tetabuhan gamelan dari arah hutan. Suaranya ramai disertai teriakan-teriakan penuh semangat seperti akan perang.

Dia memutuskan keluar dan melihat sekitar. Namun tidak ada apa-apa. Tetapi suara gamelan itu masih terdengar. Sebenarnya, Anton tak peduli dengan suara gamelan itu dan memutuskan masuk rumah untuk istirahat.

"Namun kok semakin lama suara tetabuhan dan teriakan dari arah hutan itu semakin keras. Sebelumnya, agak jauh terdengar. Seperti suaranya semakin mendekat," kata Anton.

Anton mengaku dia bukan seorang yang penakut. Namun, tinggal sendirian di pinggiran perumahaan dan mengalami kejadian aneh itu cukup membuat bulu kuduknya merinding. Peduli setan, dia berlari keluar rumah dan mengetuk rumah tetangga belakangnya.

Anehnya, saat dia menceritakan suara tetabuhan gamelan itu, tetangganya yang hanya berjarak 30 meter di belakang rumahnya sama sekali tidak mendengar suara. Anton mengajak tetangga itu ke rumahnya.

Mereka sayup-sayup mendengar suara tetabuhan gamelan dari arah gua Selarong. Anton memutuskan tidur di ruang tamu tetangganya sampai pagi.

 

Hutan Jambu Biji

Kejadian ini membuatnya penasaran. Dia memutuskan bertanya kepada warga kampung di depan perumahan. Mbah Sumar, orang yang dituakan di kampung bercerita. Kawasan perumahan yang ditinggali Anton dulunya adalah hutan jambu biji.

Setiap  malam Selasa Kliwon, Mbah Sumar, warga di sini, sudah biasa mendengar bunyi tetabuhan gamelan. Warga percaya itu adalah pasukan pimpinan Pangeran Diponegoro berangkat perang. Sebab, arah suara dari sisi selatan dan pelan-pelan menuju utara kemudian hilang.

Tidak sembarang orang bisa masuk. Dulu ada orang yang nekat berburu burung. Bukan burung yang didapat, tetapi perempuan berbaju putih berambut panjang yang terbang dari pohon ke pohon. Pemburu itu lari sampai tak menemukan jalan pulang hingga sore hari.

"Warga sini dulu kalau mau memetik jambu harus minta izin dulu dan menggelar selamatan. Kami dulu pantang masuk ke sana (hutan jambu biji) kalau sudah menjelang malam. Takut tidak bisa pulang," kata Mbah Sumar.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya