Liputan6.com, Cilacap - Keutamaan hari dan ibadah Jumat tidak diragukan lagi. Itu termasuk yang menyebutkan bahwa salat Jumat adalah hajinya orang-orang fakir.
Mengutip NU Online, Hadits mengenai jumatan sebagai hajinya orang-orang fakir diriwayatkan oleh al-Qadla’i dan ibnu Asakir dari Ibnu Abbas.
الجمعة حج الفقراء
“Jumat adalah hajinya orang-orang fakir,”
Advertisement
Menurut pakar hadits, Syekh Abdurrauf al-Manawi, hadits tersebut tergolong lemah riwayatnya. Al-Manawi menegaskan,
Baca Juga
رواه القضاعي وابن عساكر عن ابن عباس بإسناد واه
“Hadits riwayat al-Qadla’i dan Ibnu Asakir dari Ibnu Abbas dengan sanad yang lemah,” (Abdurrauf al-Manawi, al-Taisir bi Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 995).
Meski tergolong lemah riwayatnya, namun ulama berpendapat jumatan tetap bisa diamalkan, karena berkaitan dengan keutamaan amaliah (fadlail al-a’mal), bukan dalam konteks penetapan hukum.
Al-‘Amiri berpendapat, sebagaimana dikutip Syekh Abdurrauf al-Manawi, maksud dari hadits tersebut adalah, bahwa orang yang rajin ibadah Jumat yang sangat berharap bisa berangkat haji, namun terkendala biaya, Allah memberinya pahala sebagaimana pahala haji atas kemauan yang ia miliki.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Pandangan Syekh Ihsan Jampes
Menurut al-Amiri, hal ini senada dengan hadits lain tentang keutamaan niat berjihad, saat suatu kelompok punya tekad yang kuat untuk berjihad, ia tidak dapat hadir berperang karena tertimpa udzur, mereka tetap mendapat pahala sebagaimana pasukan yang ikut berperang.
Al-Manawi menegaskan:
ـ (الجمعة حج الفقراء) قال العامري : لما عجز المسكين عن مال الحج أو ضعف وكان يتمناه بقلبه نظر الكريم إلى تحسره فأعطاه ثواب الحج بقصده على منوال خبر إن بالمدينة أقواما ما قطعتم واديا إلا وقد سبقوكم إليه حبسهم العذر
“Jumat adalah hajinya orang-orang fakir. Al-Amiri berkata, saat orang miskin tidak mampu dari biaya haji atau terkendala lemah fisik, dan ia berkeinginan berangkat haji di dalam hatinya, maka Allah sang maha dermawan melihat kesedihannya, maka Allah memberinya pahala seperti pahala haji atas niat baiknya. Hal ini sesuai dengan anugerah yang diterangkan dalam hadits, sesungguhnya di Madinah terdapat beberapa kaum yang kalian tidak menempuh jurang kecuali mereka mendahului kalian di dalamnya. Mereka tertahan oleh udzur.” (Syekh Abdurrauf al-Manawi, Faidl al-Qadir, juz 3, hal. 474).
Pandangan berbeda diutarakan Syekh Ihsan bin Dakhlan. Menurut beliau, pahala berjumatan memang sangat besar, saking besarnya sehingga disandingkan dengan pahala haji.
Namun, pahala haji tetap lebih besar dari pada Jumat. Sehingga menurut beliau, penyerupaan Jumat dengan haji adalah dari sisi sama-sama memiliki pahala yang besar, meski kadar pahalanya terdapat selisih. Ulama asal Jampes Kediri tersebut menegaskan:
يَعْنِيْ ذَهَابُ الْعَاجِزِيْنَ عَنِ الْحَجِّ اِلَى الْجُمُعَةِ هُوَ لَهُمْ كَالْحَجِّ فِيْ حُصُوْلِ الثَّوَابِ وَاِنْ تَفَاوَتَ وَفِيْهِ الْحَثُّ عَلَى فِعْلِهَا وَالتَّرْغِيْبُ فِيْهِ
“Maksudnya, berangkatnya orang-orang yang tidak mampu berhaji menuju shalat Jumat, seperti berangkat menuju tempat haji dalam hal mendapatkan pahala, meskipun berbeda tingkat pahalanya. Dalam hadits ini memberi dorongan untuk melakukan Jumat.” (Syekh Ihsan bin Dakhlan, Manahij al-Imdad Syarh Irsyad al-‘Ibad, juz 1, hal. 282, cetakan Ponpes Jampes Kediri, tt).
Keutamaan pahala Jumat disandingkan dengan haji bukan berarti menyimpulkan ibadah haji bisa digantikan dengan Jumat.
Bagi orang yang mampu, tetap berkewajiban melaksanakan haji. Penyandingan pahala dua ibadah di atas lebih mengarah kepada dorongan untuk rajin melaksanakan Jumatan. (Sumber: NU Online)
Tim Rembulan
Advertisement