Liputan6.com, Bandung - Ramai komentar terkait wacana pemerintah menaikkan tarif masuk ke area struktur Candi Borobudur bagi wisatawan domestik menjadi Rp750 ribu. Hal ini turut mengundang reaksi akademisi dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Evi Novianti.
Baca Juga
Advertisement
Evi mengatakan, meskipun bertujuan untuk konservasi, pemerintah perlu mempertimbangkan lebih lanjut mengenai wacana kenaikan ini.
"Saya kurang setuju kalau itu dibebankan ke wisatawan mancanegara dan nusantara. Boleh naik asalkan jangan terlalu tinggi,” kata Evi dikutip dari laman Unpad, Selasa (7/6/2022).
Evi menilai, rencana pembebanan tarif untuk menaiki Candi Borobudur terbilang mahal bagi wisatawan domestik. Padahal, hadirnya wisatawan domestik justru menjadi daya tarik untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan wisata.
"Jangan sampai wisatawan nusantara beranggapan lebih baik ke luar negeri daripada menikmati destinasi wisata Indonesia," ujarnya.
Di sisi lain, konservasi diperlukan untuk menjaga kelestarian cagar budaya yang ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO tersebut. Meski begitu, upaya konservasi jangan sampai dibebankan kepada wisatawan.
"Upaya konservasi memang membutuhkan dana yang cukup tinggi. Sebaiknya ada subsidi silang dari sektor yang lain," ucapnya.
Kebijakan pembatasan pengunjung untuk naik ke atas dinilai lebih efektif untuk upaya konservasi. Pembatasan ini lebih membuat penataan dan tata kelola wisata di Candi Borobudur dapat lebih terorganisasi.
"Sekarang semua serba reserve, dan wisman serta wisnus sudah mulai paham juga dengan teknologi. Berarti berkelanjutan dengan akses internet serta prasarana lain yang belum ada bisa saling mendukung," ungkapnya.
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Metode Lain untuk Pelestarian Candi Borobudur
Lebih lanjut, Ketua Program Studi Magister Pariwisata Berkelanjutan Unpad itu menjelaskan, ada metode yang bisa dilakukan sebagai upaya melestarikan Candi Borobudur. Metode tersebut adalah kerja sama Hexahelix.
Kerja sama Hexahelix bertujuan mendeskripsikan, menganalisis peran dan interaksi, serta model dari helix pemerintah, industri, masyarakat, akademisi, media, dan wisatawan pada tata kelola pariwisata. Melalui kerja sama ini, seluruh pihak dapat saling bahu membahu dalam melakukan tata kelola pariwisata yang baik.
Menurut Evi, model kerja sama ini baik diterapkan dalam mendukung penguatan destinasi wisata, khususnya wisata budaya. Saat ini, konsep wisata sejarah ataupun budaya sudah mulai digencarkan di masyarakat.
Selain itu, edukasi akan pentingnya menjaga kelestarian warisan budaya juga perlu dilakukan kepada wisatawan. Hal ini dilakukan agar para wisatawan, khususnya wisatawan domestik, bisa lebih menghargai dan mencintai destinasi budaya dan sejarah.
Upaya edukasi bisa dilakukan dengan cara yang ringan, salah satunya dengan model bercerita (story telling) yang mampu menarik wisatawan untuk mengetahui dan berkunjungan secara langsung. Upaya ini merupakan salah satu implementasi dari konsep kerja sama Hexahelix.
"Wisatawan nusantara dan mancanegara diharapkan lebih aware dan diberikan pengertian dari aparat/pengurus setempat mengenai begitu bernilainya destinasi wisata melalui cerita dan media penunjang, baik itu below the line atau above the line," kata dia.
Advertisement