Liputan6.com, Jambi - Keberadaan Orang pendek atau Orang Bunian masih dipercayai sebagian masyarakat di Sumatera. Diyakini mereka tinggal di belantara tak terjamah, kerapkali diasosiasikan dengan gunung.
Legenda orang bunian berkembang di wilayah yang berdekatan dengan rimba belantara. Konon, mereka cenderung pemalu dan selalu menghindari pertemuan dengan manusia.
Di kaki Gunung Kerinci, Jambi, kisah orang bunian melegenda. Banyak warga di daerah ini mengaku pernah melihat makhluk yang diceritakan memiliki kaki terbalik ini.
Advertisement
Meski banyak yang percaya makhluk ini benar-benar ada, nyatanya belum ada satupun orang yang berhasil mengabadikan penampakan makhluk bunian tersebut. Oleh masyarakat Kerinci, orang pendek lebih dikenal dengan sebutan Uhang Pandak sesuai dengan bahasa warga Kerinci.
Baca Juga
Kuatnya legenda makhluk misterius, orang bunian, yang kabarnya tinggal di lebatnya hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) ini memantik penasaran sejumlah peneliti dari luar negeri.
Namun, yang paling terkenal adalah peneliti asal Inggris bernama Debbie Martyr. Ia menghabiskan belasan tahun hidupnya sejak 1994 untuk mencari keberadaan Uhang Pandak di Kerinci.
Kepada Liputan6.com, salah seorang budayawan Kerinci, Iskandar Zakaria mengaku sudah beberapa kali diajak Debbie dalam pencarian Uhang Pandak.
"Ia (Debbie) bahkan sudah 3 kali menginap di rumah saya," katanya, 2016 lalu.
Sebagai budayawan dan tokoh masyarakat, Iskandar adalah warga asli Kerinci yang mempercayai keberadaan Uhang Pandak. Ia bahkan mengaku pernah bertemu langsung makhluk ini.
"Saat itu di tahun 1995, tiga hari saya melakukan pencarian di kawasan TNKS," ucap Zakaria memulai ceritanya.
Di waktu Subuh, tepatnya di hari kedua pencarian, Zakaria berniat buang air sekalian mengambil air wudhu di sebuah sungai di pedalaman TNKS, tepatnya di daerah Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci. Ditengah gemericik sungai samar-samar ia melihat sesosok makhluk penuh bulu. Makhluk ini terlihat gemuk mirip kingkong dengan bulu tebal abu-abu.
"Yang aneh matanya jelas terlihat merah menyala," kata Zakaria.
Setelah mengamati beberapa menit, Zakaria terpikir untuk mengabadikan pertemuannya dengan Uhang Pandak. Ia bergegas mengambil kamera di tenda tempatnya menginap. Sayang, saat kembali sang makhluk buruannya sudah menghilang.
Â
Saksikan Video Pilihan Ini:
Pembawa Keberuntungan
Menurut Zakaria, cerita akan Uhang Pandak sudah muncul sejak ia kecil. Beragam cerita di masyarakat Kerinci makhluk satu ini. Ada yang memercayai, apabila bertemu Uhang Pandak akan membawa berkah atau rezeki bagi yang melihatnya.
Pada 2013, Zakaria juga kembali diajak oleh peneliti asal Australia untuk mencari Uhang Pandak. Pencarian diperluas di kawasan TNKS. Diantaranya area TNKS yang masuk Kabupaten Merangin, bahkan hingga perbatasan Provinsi Bengkulu dan Sumatra Selatan.
Dari pencarian itu, Zakaria percaya, Uhang Pandak bisa terlihat hanya secara tiba-tiba. "Namun jika sengaja dicari, Uhang Panda tak akan terlihat," sebut Zakaria dengan logat Jambi.
Hampir 20 tahun mencari, Zakaria hanya bisa melihat tanpa mendapatkan dokumentasi gambar maupun video. Ia mengaku hanya berhasil mendokumentasikan sejumlah jejak kaki Uhang Pandak dengan ukuran antara 25-30 sentimeter.
Selain itu juga ada kotoran yang dipercayai sebagai kotoran Uhang Pandak. Kecil-kecil dimana bentuk dan ukurannya mirip biji jagung.
Zakaria menuturkan, Uhang Pandak ternyata tidak memiliki kaki terbalik seperti yang dipercaya banyak orang. Makhluk ini berjalan maju seperti hewan pada umumnya. "Baru kalau ketemu manusia ia (Uhang Pandak) berjalan mundur. Mungkin untuk menghilangkan jejak," terangnya.
Dari hasil pencariannya itu, Uhang Pandak memiliki tinggi badan rata-rata sekitar 80 sentimeter. Terkesan mirip kingkong, tangan Uhang Pandak terlihat panjang lebih dari lutut.
Makhluk ini bukan jenis hewan yang suka berkelompok. Ini didasarkan dari beberapa kali perjumpaan Zakaria yang kerap melihat Uhang Pandak berjalan sendiri atau berdua saja.
Sementara cara makan Uhang Pandak juga disebut aneh. Yakni dengan cara berbaring. "Saya pernah melihat memakan ayam. Sambil berbaring, tangannya memegang ayam, sementara kakinya mencabik-cabik tubuh ayam," ujarnya lagi.
Â
Advertisement
Hewan Primata?
Kepala Seksi Wilayah I TNKS, Agusman mengatakan, meski sudah berpuluh-puluh kali peneliti datang dan pergi nyatanya keberadaan Uhang Pandak tak pernah sekalipun terekam kamera. Baik itu jejak maupun penampakannya.
Menurut dia, sejak 1995 Flora Fauna Indonesia (FFI) sudah melakukan pencarian. Namun tak satupun fisik maupun jejak yang berhasil diabadikan. Termasuk oleh sekitar 40 kamera trap yang dipasang Balai TNKS di wilayah Jambi.
"Tak ada rekaman atau foto aneh di kamera kami," kata Agusman.
Agusman menyebutkan, yang terekam kamera trap adalah satwa-satwa yang dikenal mendiami lebatnya hutan TNKS. Seperti harimau Sumatra, burung-burung maupun penampakan satwa lainnya hingga sekelompok warga yang tengah mencari rotan.
Namun Agusman tak menampik, cerita Uhang Pandak sangat melegenda di masyarakat Kerinci. Banyak warga yang mempercayai makhluk tersebut tinggal mendiami kawasan hutan di barat Provinsi Jambi itu.
Hewan Primata
Kepada sejumlah media beberapa tahun lalu, Debbie Martyr mengaku mendengar cerita Uhang Pandak sejak 1989, saat melakukan kunjungan wisata ke Kerinci. Kemudian ia kembali melakukan kunjungan pada 1993 untuk mendalami informasi akan keberadaan Uhang Pandak.
Perempuan berkewarganegaraan Inggris ini mengaku melakukan penelitian di hampir semua kabupaten di wilayah TNKS hingga ke Pasaman di Provinsi Sumatra Barat.
Namun fokus area penelitiannya ada di Kabupaten Merangin dan Kerinci (Jambi), Kabupaten Mukomuko (Bengkulu) dan Pesisir Selatan (Sumatera Barat).
Debbie mengaku, jenis ini merupakan primata besar, agak mirip dengan orangutan tapi bukan orangutan karena bewarna kuning kemerahan atau cokelat.
Menariknya, lanjut warga negara Inggris ini, Uhang Pandak memerlukan habitat khusus. Berdasarkan peneltiannya, tidak semua kawasan TNKS merupakan habitat bagi Uhang pandak.
"Kemungkinan besar habitat secara alam adalah perbukitan rendah, bukan pegunungan. Kalaupun ada laporan mereka ada di pegunungan, kemungkinan hanya lewat saja," kata Debbie.
Menurut dia, pada tahun 1990-an, teknologi pemeriksaan DNA masih terbatas dan mahal. Jika saja teknologi tersebut seperti sekarang, mungkin bukti ilmiah keberadaan jenis ini bisa didapatkan.
Lantas, apakah Uhang Pandak hanya sekedar mitos atau benar-benar nyata? Sepertinya Debbie perlu melakukan penelitian kembali untuk membuktikan keberadaan makhluk legenda di Kerinci ini.
Â
Â
Perburuan Eropa Terhadap Orang Bunian
Di Gunung Sago, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, misalnya. Masyarakat setempat menyebut orang pendek dengan sebutan Anak Ghoteh. Ada juga yang menyebutnya Bigau.
Sekitar 1930, perburuan terhadap manusia pendek pernah terjadi. Bahkan, orang kerdil dikabarkan pernah tertembak di Pasir Pengaraian, Rokan Hulu, Riau.
Perburuan terhadap manusia pendek dipicu oleh ambisi bangsa Eropa untuk kepentingan ilmiah. Mereka ingin sekali memperoleh contoh makhluk itu.
Selain untuk memperoleh kebenaran kabar tersebut, mereka juga menyelidiki perbedaan orang pendek tersebut dengan manusia.
Seorang warga menuturkan, masyarakat di kampungnya percaya cerita manusia bertubuh pendek, tepatnya di Balimbing, Kota Padang, Sumatera Barat. Biasanya, orang pendek tersebut disebut orang Bunian.
Sementara itu, menurut dosen dan peneliti dari Universitas Leiden, Belanda, Suryadi Sunuri, banyak nama yang diberikan kepada orang pendek. Misalnya, Leco (ejaan lama: Letjo) dan Anak Ote--seperti yang dituliskan Suryadi di dalam blog pribadinya, niadilova.wordpress.com.
Sebagian penduduk lokal di Sumatera, mengategorikan orang pendek ini sejenis binatang. "Letjo itoe sebangsa machloek jang sangat hampir kepada manoesia, boleh dikatakan setengah manoesia," dilansir Pandji Poestaka No. 49, Tahun X, 17 Juni 1932, yang dikutip Suryadi.
"Menoeroet tjerita-tjerita jang disampaikan kepada orang kampoeng, ialah akan memboektikan dan menjempoernakan keinginan hati sebahagian dari ahli-ahli 'ilmoe pengetahuan jang menaroeh kejakinan, bahasa manoesia ini asalnja dari binatang. Maka letjo itoelah satoe djendjang jang akan dipergoenakannja djadi soeloeh penerangi 'ilmoe orang pandai-pandai itoe'. Rasanja dengan mendapat binatang, jang telah lama diidam-idam oleh ahli-ahli ditanah Eropah itoe, akan bergoentjang ilmoe pengetahoean tentang asal oesoel manoesia itoe," seperti temaktub di Pandji Poestaka No. 49, Tahun X, 17 Juni 1932:758.
Suryadi menjelaskan, para ilmuwan Eropa dari Belgia pernah mau membayar uang senilai Rp 100 ribu, angka yang sangat besar untuk masa itu. Untuk diketahui, Museum Gedang Arca di Amerika Serikat, pernah membeli tubuh orang pendek tersebut dengan harga US$ 1 juta.
Â
Advertisement
Perburuan Dihentikan
Iming-iming uang yang dijanjikan oleh ilmuwan Eropa banyak mendorong penduduk lokal memburu orang pendek. Karena dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan hidup spesies ini, maka otoritas kolonial pada masa itu melarang melanjutkan perburuan terhadap orang pendek.
Pandji Poestaka No. 48, Tahun X, 14 Juni 1932:749 menulis: "Memboeroe Orang Pendek diperhentikan".
Keingintahuan ilmuwan Eropa yang begitu tinggi terhadap Leco ini terus berlanjut sampai sekarang. Namun, keadaannya berbeda dengan di Tanah Air sendiri. Leco, Bigau, Anak Ote, Anak Ghoteh, atau Uhang Pandak lebih sering dihubungkan dengan hal-hal gaib, mistis, dan kesaktian rimba raya yang dianggap angker.
Adapun beberapa laporan juga pernah ditulis oleh sejumlah peneliti dari Eropa tentang orang pendek. Misalnya, Robert Cribb. Ia menulis "Nature Conservatism and Cultural Preservation in Convergence: Orang Pendek and Papuan in Colonial Indonesia" dalam Stella Borg Barthet (ed.), A Sea for Encounters: Essays Towards a Postcolonial Commonwealth, Amsterdam-New York, NY: Rodopi, 2009: 223-242.
Tim Rembulan