Liputan6.com, Aceh - Seorang penulis berkebangsaan Spanyol, George Santayana, pernah mengatakan bahwa orang-orang yang melupakan sejarah akan dikutuk untuk mengulangi sejarah tersebut. Sejarah yang dimaksud adalah sejarah yang mengacu pada sejarah dengan kekerasan seperti yang terjadi di Aceh selama operasi militer berlangsung.
Agar sejarah kekerasan itu tidak dilupakan, lembaga kemanusiaan di Aceh bekerja sama mengerjakan sebuah proyek yang diberi nama "Letter of Hope". Kegiatan ini diselenggarakan untuk mengenang umur Nota Kesepahaman antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah berusia 17 tahun pada pada 15 Agustus 2022 ini.
Diadakan di halaman KontraS Aceh, Selasa (13/8/2022), Letter of Hope mengusung tema memorisasi kekerasan masa lalu terutama yang menimpa perempuan melalui surat yang ditulis langsung oleh para korban. Saat dikunjungi Liputan6.com, lusinan surat telah ditempel dengan pin di atas kain hitam.
Advertisement
Baca Juga
Para penulisnya berasal dari beberapa kabupaten, seperti Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, dan Nagan Raya. Salah satu surat berisi kisah yang ditulis oleh Syarifah, perempuan asal Nagan Raya, yang suaminya tak pernah kembali sejak diambil paksa oleh militer pada 2001.
Kala suaminya dibawa paksa oleh tentara, Syarifah sedang mengandung dengan usia kehamilan dua bulan. Dia turut hadir dalam acara tersebut serta membacakan langsung isi suratnya di depan pengunjung.
Selain itu, Ema Susianti dari Bener Meriah juga ikut membacakan surat yang ditulis olehnya. Menurut Ema, ayahnya dituduh sebagai anggota GAM. Ayahnya hilang sejak 20 Februari 2022.
Sementara itu, pengalaman menyakitkan pernah disiksa oleh tentara diceritakan oleh seorang dari Nisam Antara. Ruhamah, kini berusia 40, mengaku disandera dan dicambuk tanpa sebab oleh tentara.
Tidak putus sampai di situ, salah satu keluarganya juga ikut kena imbas. Dia ditembak hingga tewas.
"Namun, sangat ironis sekali ketika Aceh damai, kami tidak dipandang sebelah mata bahkan mereka menutup seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa sama kami. Kami tidak menerima bantuan apa pun," tulisnya.
Â
Saksikan Video Pilihan Ini:
Menangkap Jeritan melalui Karya
Di tepi pagar kantor tersebut berdiri sebuah papan yang juga telah dibalut kain hitam serta dibubuhi oleh tanda tangan para pengunjung sebagai tanda mereka ikut bersolidaritas.
Di depan sana, lukisan yang menampilkan sepasang mata dalam ukuran besar dibentangkan menghadap ke pengunjung, serta menatap dengan dua bola mata yang isinya wajah seorang perempuan dan laki-laki.
Jika dilihat lebih dekat, kedua mata tersebut diisi dengan surat milik Syarifah. Pelukisnya, Arifa Hikmah memang sengaja mengutip seluruh isi surat tersebut.
Sementara itu, di bawah kantong mata tersebut mencuat lirik puisi berjudul Abstrak Hitam karya Rozhatul Valica dalam huruf jawi yang melengkung.
Menghadirkan korban yang rerata perempuan dalam proyek "Letter of Hope" ini bagi Koordinator KontraS Aceh Hendra Saputra dianggap sebagai wujud takzim.
Kata dia, perempuan pada masa konflik berada dalam posisi yang jauh lebih riskan ketimbang laki-laki, dan menjadi bakal tumbal dari keberingasan militer.
Namun, melalui perempuan pulalah, tabir kejahatan kemanusiaan semasa operasi militer di Aceh diungkap.
"Perempuanlah yang membuka tabir DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh dicabut dengan berani mengatakan dirinya sebagai salah satu korban pemerkosaan," kata Hendra kepada pengunjung ketika membawakan materi.
Advertisement
RPA 2023-2026 Dipertanyakan
Selain itu, sebagai sebuah buffer aksi, Letter of Hope menyorot naskah Rencana Pembangunan Aceh (RPA) 2023-2026 yang dinilai tidak relevan dan salah kaprah.
Misal, dalam RPA tersebut, isu strategis penguatan perdamaian salah satunya dipandang dari indeks dilihat dari upaya mitigasi potensi konflik dengan indikator dengan indeks pemberdayaan Lembaga Wali Nanggroe.
RPA tersebut juga belum menyebutkan tentang partisipasi perempuan, anak muda, korban-korban konflik dalam memperkuat perdamaian. Termasuk juga belum mendefiniskan dengan baik apa itu eks-kombatan narapidana politik/tahanan politik, dan korban konflik.
Selain itu, tidak mengatur secara tegas terkait keberadaan dan penguatan lembaga KKR. Di poin yang lain ada upaya pemenuhan hak korban konflik yang dianggap belum komprehensif.
Menjelang tengah hari, sedikit demi sedikit acara mulai berakhir, ditutup dengan dua pembacaan sajak yang salah satunya merupakan musikalisasi puisi, oleh Vandols, DJ Rencong, dan Gema.
Menariknya, selain lembaga kemanusiaan KontraS Aceh, KontraS, Katahati Institute, Asian Justice And Rights (AJAR), sebuah usaha pembuatan parfum berbasis UMKM bernama Kerajaan Parfum Aceh ikut serta mendukung.
Menurut penanggung jawab kegiatan, Rozhatul Valica, Letter of Hope mencoba menjangkau semua kalangan untuk membumikan upaya memorisasi kekerasan militer di Aceh. Termasuk remaja kiwari yang jauh dari kisah tentang aksi kekejaman militer pada masa lalu.