Liputan6.com, Yogyakarta - Masyarakat Yogyakarta dikenal memegang teguh adat istiadatnya, termasuk dalam melestarikan pakaian adat. Selain digunakan untuk upacara adat dan pernikahan, pakaian adat Yogyakarta juga dikenakan oleh mereka yang berada di destinasi wisata seperti keraton maupun pagelaran acara budaya.
Menurut fungsinya, pakaian adat Yogyakarta terbagi atas pakaian sehari-hari, upacara adat, dan busana pengantin. Untuk mempermudah memahami perbedaan-perbedaan tersebut, simak ulasan lengkapnya berikut:
1. Kebaya Yogyakarta
Advertisement
Baca Juga
Kebaya Yogyakarta merupakan busana tradisional Jawa. Tampilannya yang anggun, menjadikan pakaian ini banyak digemari perempuan Indonesia.
Sebenarnya, bukan hanya Yogyakarta saja yang memiliki kebaya, melainkan daerah-daerah lain di Indonesia seperti Solo, Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah, dan lainnya. Dulu, kebaya Yogyakarta umumnya dikenakan oleh perempuan priyayi dan bangsawan.
Sedangkan, pada masa sekarang, siapa pun bisa mengenakannya. Sebagai pelengkap, umumnya pakaian adat ini ditambah perhiasan, sanggul, dan alas kaki.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Surjan
2. Surjan
Surjan merupakan pakaian adat Yogyakarta yang biasanya dikenakan kaum pria. Surjan adalah lurik atau model kemeja berlengan panjang.
Kainnya memiliki tekstur tebal dengan motif vertikal, berwana gelap dan dilengkapi dengan kancing. Namun, dalam perkembanganya motif lurik ternyata tidak hanya garis-garis membujur saja, tetapi terdapat motif kotak-kotak yang merupakan hasil kombinasi garis vertikal dengan horizontal.
Kemudian, muncul surjan ontrokusuma yang bermotif bunga. Jenis dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan ontrokusuma terbuat dari kain sutra dengan motif berbagai macam bunga.
Biasanya surjan jenis ini dipakai pejabat dan kalangan bangsawan Keraton. Ketika dikenakan, surjan dipadukan dengan jarik dan blangkon.
3. Pinjung
Pinjung adalah pakaian adat Yogyakarta yang umum dikenakan oleh abdi dalem keraton Yogyakarta. Pinjung adalah kain yang digunakan sebagai penutup sampai ke dada.
Biasanya kain pinjungan dilengkapi dengan kemben atau kain penutup dada. Selain itu, bisa juga dipadukan dengan baju batik atau lurik sebagai penutup terluar.
Pada masa sekarang, pinjung sudah dikenakan oleh hampir semua kalangan perempuan Yogyakarta. Tak lupa, dilengkapi dengan selendang, perhiasan, dan alas kaki.
4. Busana Peranakan
Busana peranakan adalah pakaian dinas harian yang dikenakan para Abdi Dalem jaler atau pria. Konon, busana ini terinspirasi dari baju kurung yang dikenakan para santri putri di Banten ketika Sultan berkunjung ke sana pada abad ke-19.
Bahan yang digunakan untuk membuat baju pranakan berupa kain lurik berwarna biru tua dan hitam, dengan kombinasi corak garis berjumlah 3-4 atau disebut telupat (telu-papat). Pranakan memiliki potongan bagian depan yang berhenti di ulu hati, serta belahan di bagian lengan untuk mempermudah saat berwudhu.
Terdapat enam kancing di leher depan yang dikaitkan dengan keenam rukun iman. Selain itu, juga terdapat lima kancing di setiap ujung lengan yang dikaitkan dengan kelima rukun Islam.
Â
Advertisement
Janggan Hitam
5. Janggan Hitam
Kalau busana peranakan dikenakan oleh Abdi Dalem jaler (pria), janggan hitam dipakai oleh Abdi Dalem estri (perempuan) dalam menjalankan tugas di Keraton Yogyakarta. Janggan merupakan baju dengan model menyerupai surjan yang dilengkapi kancing hingga menutup leher.
Warna kain yang digunakan pun harus hitam. Janggan berasal dari kata 'jangga' yang berarti leher.
Hal itu melukiskan keindahan dan kesucian kaum perempuan keraton dan perempuan Jawa pada umumnya. Sementara warna hitam janggan menggambarkan simbol ketegasan, kesederhanaan, kedalaman, serta sifat kewanitaan yang suci dan bertakwa.
6. Blangkon
Ketika mengenakan pakaian adat untuk acara resmi, pria Jawa kerap mengenakan tutup kepala berupa blangkon. Blangkon dikenal memiliki dua jenis, yaitu blangkon Yogyakarta dan Solo.
Ada beberapa perbedaan blangkon Yogyakarta dan Solo, salah satunya pada bagian belakang atau mondolan blangkon. Mondolan blangkon Solo berbentuk datar, sementara blangkon Yogyakarta berbentuk monjol.
Selain itu, blangkon Solo terbuat dari kain batik berwarna kecoklatan, sedangkan blangkon Yogyakarta dibuat dengan kain batik dengan warna cenderung putih. Adapun, blangkon Yogyakarta terdiri atas bermacam-macam motif, seperti motif modang, celengkewengen, kumitir, blumbangan, jumputan, taruntum. wirasat dan sido asih yang masing-masing memiliki makna teresendiri,
7. Batik Yogyakarta
Awalnya, batik yang merupakan seni gambar atau lukis di atas kain, hanya dikerjakan terbatas dalam lingkungan keraton saja. Hasilnya, digunakan untuk pakaian raja, keluarga kerajaan, serta para pengikutnya.
Namun, saat ini siapapun bisa mengenakannya. Bahkan batik sudah diakui menjadi warisan budaya oleh UNESCO.
Motif batik Yogyakarta memiliki ciri khas, yaitu banyak bidang putih bersih dan motif geometrisnya yang dibuat jauh lebih besar dibandingkan motif geometris batik Surakarta.
Selain itu, batik Yogyakarta identik dengan latar belakang putih, hitam, coklat dan abu-abu. Motif batik Yogyakarta terdiri dari beberapa jenis, di antaranya motif parang rusak barong, slobog, sidomukti, ceplok ksatrian, truntum, dan sido asih.
Selain busana-busana di atas, ada beberapa ragam pakaian adat Yogyakarta lainnya yang sering dikenakan dalam acara adat di keraton. Selain itu, juga memiliki macam-macam busana pengantin yang tak kalah unik.
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak