Mengenal Tradisi Tunggon, Penyebab Pernikahan Dini di Wonogiri yang Mulai Dilarang

Tunggon berasal dari bahasa Jawa, yang berarti menunggu.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 27 Agu 2022, 17:00 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2022, 17:00 WIB
Ilustrasi pernikahan dini (Istimewa)
Ilustrasi pernikahan dini (Istimewa)

Liputan6.com, Yogyakarta - Sejumlah warga di Kecamatan Karangtengah Wonogiri masih menjalankan tradisi tunggon. Tradisi tunggon disebut menjadi salah satu pemicu pernikahan dini yang menyebabkan naiknya kasus stunting pada anak.

Tunggon berasal dari bahasa Jawa, yang berarti menunggu. Tradisi ini sudah ada sejak dulu dan telah menjadi budaya di masyarakat.

Tunggon merupakan tradisi di mana seorang anak perempuan di bawah umur yang belum menikah ditunggu oleh seorang laki-laki yang ingin menikahi perempuan tersebut di rumahnya. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini perlahan mulai dilarang.

Tujuannya dilarangnya tradisi ini sudah jelas, yakni untuk mencegah pernikahan dini atau perkawinan anak usia dini dan mengurangi angka stunting di Karangtengah. Anak perempuan yang menikah di bawah umur, dari segi fisiknya, akan berpengaruh terhadap anak yang dilahirkan.

Meski demikian, pemerintah kecamatan belum merinci atau mencatat jumlah warganya yang masih melakukan tradisi tersebut. Meski mulai dilarang, nyatanya masih ada yang melakukan tradisi ini.

Namun, saat ini sudah ada satu dusun yang warganya mempunyai kesepakatan meninggalkan tunggon. Nantinya, desa tersebut bisa dijadikan contoh untuk daerah lain.

Tunggon berawal dari seorang laki-laki yang tinggal di rumah seorang perempuan yang di dalamnya juga ada kedua orangtuanya. Laki-laki itu tinggal di sana dengan niatan ingin menikahi perempuan tersebut.

Setiap hari, si laki-laki membantu seluruh pekerjaan atau aktivitas dari orangtua si perempuan. Biasanya mereka akan membantu mencari rumput, mencangkul, atau membantu pekerjaan lain yang sesuai dengan pekerjaan orang tua si perempuan.

Sampai pada akhirnya, si laki-laki akan menikah dengan anak perempuan pemilik rumah tersebut. Rata-rata perempuan yang ditunggu masih berusia di bawah umur, misalnya baru lulus SMP yang kebanyakan tidak melanjutkan ke jenjang SMA atau SMK.

Sedangkan, laki-laki yang menunggu biasanya sudah dewasa. Laki-laki tersebut ada yang berasal dari satu dusun yang sama, beda dusun, atau bahkan berasal dari luar desa keluarga perempuan.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Masa Tunggu Berbeda-Beda

Sementara, masa tunggu seseorang melakukan tunggon berbeda-beda. Mulai dari hanya beberapa bulan hingga ada yang mencapai tahunan.

Perihal anak perempuan yang tidak melanjutkan jenjang pendidikan, faktor utamanya bukan soal ekonomi. Hanya saja, sebagian pola pikir orangtua yang masih terpaku pada pemikiran bahwa jika ada yang melamar atau 'nunggoni' merupakan sebuah kebanggaan tersendiri.

Selain itu, ada sejumlah faktor lain tentang fenomena pernikahan dini ini. Satu di antaranya karena sudah ditunggu (tunggon) atau kumpul dan harus segera dinikahkan agar tidak berdosa.

Jauhnya jarak SMA dan SMK, juga menjadi salah satu faktor seorang anak perempuan tidak melanjutkan sekolah. Atas permasalahan tersebut, pemerintah desa mulai melalukan upaya pencegahan, salah satunya dengan membentuk Posyandu Remaja sejak Januari 2022 lalu.

Setiap dusun sudah memiliki anggotanya yang berusia 10 tahun ke atas. Setiap bulan ada penyuluhan kesehatan dan pembinaan rohani yang dilakukan bersama Puskesmas dan penyuluh agama dari KUA.

Salah satu dusun yang menjadi percobaan adalah Dusun Niten. Diharapkan tradisi ini dapat perlahan hilang dan ditinggalkan oleh warga Karangtengah dan sekitarnya.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya