Proyek PLTU Tanjung Jati A Cirebon Disebut Abaikan Pelestarian Atmosfer

Proyek PLTU Tanjung Jati A Cirebon disinyalir tidak didasarkan pada AMDAL yang komprehensif, mengabaikan upaya pelestarian atmosfer.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 11 Sep 2022, 15:00 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2022, 15:00 WIB
PTUN Bandung
Sidang gugatan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A Cirebon digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Jawa Barat, 18 Agustus 2022. (Liputan6.com/Dikdik Ripaldi)

Liputan6.com, Bandung - Sidang gugatan izin lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati A Cirebon berlanjut pekan ini (8/9/2022) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kota Bandung. Agenda sidang adalah mendengar keterangan ahli dari pihak Tergugat. Namun, saksi tak hadir dan sidang dijadwal ulang pekan depan.

Awal Juli 2022, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) diketahui melayangkan gugatan terhadap Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jabar selaku pemberi izin proyek PLTU batubara tersebut. Izin yang kadung diberikan itu diminta kembali dicabut dan proyek dibatalkan.

Penerbitan izin diduga tidak didasarkan pada analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang komprehensif, terutama tidak menakar lepasan karbon yang bisa berakibat pada peningkatan efek gas rumah kaca, gilirannya memperburuk perubahan iklim. Proyek PLTU diyakini bakal menimbulkan kerusakan lingkungan dan merugikan ekonomi masyarakat juga neraga.

Di samping agenda saksi ahli, dalam sidang terbaru itupun pihak penggugat menambah sejumlah bukti antara lain Inventarisasi Gas Rumah Kaca oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2013. Alat bukti tersebut menegaskan PLTU turut jadi sumber emisi gas rumah kaca.

Kuasa hukum Walhi, Muit Pelu menyampaikan, semua alat bukti tersebut menegaskan bahwa Pemprov Jawa Barat harus mempertimbangkan lepasan karbon dan perubahan iklim dalam penerbitan izin pembangunan PLTU di Desa Pengarengan tersebut.

"Tapi mengapa Pemprov Jabar tidak mempertimbangkan perubahan iklim dalam penerbitan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A Tahun 2016?" Kata Muit lewat keterangan tertulis diterima Liputan6.com, Jumat (9/9/2022).

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki Paendong menambahkan, Pemprov Jabar telah menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penataan Hukum Lingkungan.

Pada pasal 41 ayat (4) terdapat kewajiban Pemprov untuk melakukan pelestarian fungsi atmosfer, salah satunya dengan melakukan upaya mitigasi perubahan iklim.

"Maka jelas bahwa seharusnya terdapat upaya mitigasi perubahan iklim dalam AMDAL yang juga merupakan instrumen pencegahan dalam UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)" katanya.

Menurut Meiki, penerbitan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A tak sejalan dengan aturan tersebut.

“Dengan semakin kuatnya pembuktian bahwa adanya kewajiban Pemprov Jabar mempertimbangkan iklim maka kami berharap Majelis Hakim yang memeriksa perkara dapat membatalkan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A oleh karena tidak mempertimbangkan perubahan iklim," katanya.

Saksikan video pilihan berikut ini: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


AMDAL Jangan Formalitas

Disampaikan sebelumnya, pihak tergugat sempat menghadirkan salah seorang saksi Deddy Effendi, PNS Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, pada sidang pekan lalu.

Deddy memberikan keterangan mengenai proses penyusunan AMDAL dan penerbitan izin lingkungan PLTU Tanjung Jati A pada tahun 2016. Deddy menerangkan bahwa penyusunan AMDAL tersebut tidak memasukkan dampak emisi gas rumah kaca atau karbon yang akan dilepaskan oleh PLTU Tanjung Jati A.

“Tidak ada dampak pelepasan karbon dari operasional PLTU, yang perlu dilihat hanya dampak-dampak yang sudah diatur dalam baku mutu” jelas Deddy.

Sementara itu, ahli hukum lingkungan dari Universitas Indonesia, Prof. Andri Gunawan Wibisana, mengatakan, meski peraturan perundang-undangan dianggap belum secara spesifik mengatur batas emisi gas rumah kaca tersebut, pemerintah tetap mesti mempertimbangkan urgensi lingkungan, tidak hanya menyandarkan perizinan pada formalitas hukum.

“Memang, kalau kita hanya fokus pada formalitas peraturan perundang-undangan, tidak ada yang secara spesifik mengharuskan Amdal mengkaji emisi gas rumah kaca, bahkan batasan gas rumah kaca pun memang belum ada dalam peraturan perundang-undangan,” katanya dalam sidang 18 Agustus 2022 lalu.

“Bahwa karena penting gas rumah kaca ini, maka itu harus dikaji dalam Amdal. Setidaknya ada kajian, menunjukan itikad pemerintah untuk melihat perubahan iklim sebagai persoalan serius,” katanya. “Perkara perubahan iklim terkait Amdal perlu dilihat di luar konteks formalitas hukum” tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya