Liputan6.com, Yogyakarta - Setiap 7 Oktober, Kota Yogyakarta akan merayakan hari jadinya. Kota yang menjadi destinasi wisata maupun pendidikan ini telah memasuki usia ke-266.
Menguti dari Portal Pemerintah Kota Yogyakarta, Kota Yogyakarta memang diresmikan pada 7 Oktober 1756. Sejarah Kota Yogyakarta dimulai saat Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755.
Dalam perjanjian tersebut tertulis bahwa Negara Mataram dibagi menjadi dua. Setengahnya menjadi hak Kerajaan Surakarta dan setengahnya lagi menjadi hak Pangeran Mangkubumi.
Advertisement
Baca Juga
Pada perjanjian itu juga, Pengeran Mangkubumi diakui sebagai raja dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Saat itu, yang menjadi wilayah kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Bagelen, Sukowati, Kedu, Bumigede, Magetan, Madiun, Cirebon, separuh Pacitan, Kalangbret, Kartosuro, Tulungagung, Mojokerto, Ngawen, Sela, Kuwu, Bojonegoro, Wonosari, dan Grobogan.
Pasca perjanjian pembagian daerah ini, Pangeran Mangkubumi yang juga merupakan Sultan Hamengku Buwono I pun menetapkan daerah Mataram dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat. Ngayogyakarta atau Yogyakarta pun didaulat menjadi ibu kota.
Hal tersebut ditetapkan pada 13 Maret 1755. Tempat yang dipilih sebagai ibu kota itu merupakan sebuah hutan yang disebut Beringin.
Terdapat desa kecil bernama Pachetokan dan sebuah pesanggrahan atau peristirahatan bernama Garjitowati di hutan tersebut. Pesanggrahan tersebut dibangun Susuhunan Paku Buwono II dan namanya kemudian diganti menjadi Ayodya.
Setelah menetapkan ibu kota, Sultan kemudian memerintahkan rakyatnya untuk babat hutan guna dijadikan keraton. Namun, sebelum keraton tersebut selesai dibangun, Sultan Hamengku Buwono I menempati pesanggrahan Ambarketawang di daerah Gamping.
Satu tahun kemudian, Sultan HB I pun memasuki istana barunya. Hal ini juga menandai berdirinya Kota Yogyakarta dengan nama utuh Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan peresmiannya dilakukan pada 7 Oktober 1756.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Banyak Istilah
Menurut buku 'Sejarah Keraton Yogyakarta' oleh Ki Sabdacarakatama, nama Kota Yogyakarta sebelumnya memiliki banyak istilah penyebutan. Ada yang menyebutnya sebagai Ngayugyakarta Hadiningrat, Ngayogyakarta, Ayodya, Yogyakarta, Jogjakarta, Jogyakarta, Yoja, Djokya, dan lainnya.
Rahasia penamaan ini memang belum terungkap jelas, tapi diperkirakan penamaan ini dimaksudkan untuk menghormati tempat bersejarah Alas Beringin. Pada 'Babad Giyanti' karya Yosodipuro, Sultan HB I dan prajuritnya menuju ke selatan setelah Perjanjian Giyanti dan membubarkan barisan di Parakan.
Saat sampai di Gunung Gamping, ia pun mengukur calon kota di Hutan Beringin. Tempat yang diukur ini dekat dengan bangunan lama yang didirikan Sinuwun Amangkurat IV dan disebut juga sebagai Gerjitawati.
Ketika zaman Paku Buwono I, Gerjitawati pun diganti namanya sebagai Ayodya. Sementara itu, pada buku 'Peta Kamasurta' karya Sukendra Martha, sebetulnya nama Yogyakarta diciptakan oleh paman buyut Sultan HB I, yakni Paku Buana I atau Pangeran Puger yang merupakan Raja Keraton Kartasura kedua.
Kata Yogyakarta adalah pergeseran dari pengucapan Ngayogyakarto yang berasal dari kata 'ngayogya' dan 'karta'. Yogya berarti pantas atau baik, sehingga bisa diartinya bahwa ngayogya berarti menuju cita-cita yang baik.
Sedangkan 'karta' artinya aman, sejahtera. Bisa diartikan bahwa Ngayogyakarta adalah mencapai kesejahteraan bagi negeri dan rakyatnya.
Sumber lain mengatakan, Yogyakarta berarti 'yogya' yang 'kerta', yakni Yogya yang makmur. Sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama.
Banyak sumber lain pula yang menukiskan arti nama Yogyakarta ini. Ada juga yang menyebut bahwa nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana.
Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa). Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman.
Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut zelfbesturende Landschappen. Zelfbesturende landschappen adalah pemerintahan swapraja, yakni suatu pemerintahan pribumi yang memperoleh otonominya karena sejumlah perjanjian dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
(Resla Aknaita Chak)
Advertisement