Nyapet, Tradisi Tolak Bala ala Dayak Benawan yang Masih Dilakukan Saat Pandemi Covid-19

Selama ritual ini dilaksanakan, penduduk di kampung sekitar yang tidak melaksanakan nyapet tidak diperbolehkan untuk ikut campur

oleh Switzy Sabandar diperbarui 02 Mei 2023, 11:52 WIB
Diterbitkan 30 Okt 2022, 07:00 WIB
dayak
Mandau dan perisai menjadi pemandangan dan perlengkapan harian suku Dayak ketika menempuh perjalanan. (foto: Liputan6.com / FB / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Pontianak - Masyarakat Dayak Benawan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, memiliki ritual khusus tolak bala penyakit. Ritual yang disebut nyapet ini dilakukan jika ada wabah luar biasa melanda lingkungan mereka.

Ritual ini adalah cara, adat, penanganan cepat, serta bentuk berserah diri kepada Tuhan, atau mereka biasa menyebut Tuhan dengan Jubata. Ritual ini juga merupakan respon terhadap rasa cemas dan takut masyarakat setempat.

Umumnya, ritual ini dilakukan dengan berdiam diri di rumah selama tiga hari tiga malam, seperti dikutip dari 'Ritual Nyapet pada Suku Dayak Benawan Sebagai Respon Terhadap Wabah' oleh Nikodemus Niko, dalam Buku Menolak Wabah (Suara-Suara Dari Manuscript, Relief, Khazanah Rempah dan Ritual Nusantara). 

Aturan tersebut berlaku untuk semua penduduk di desa yang melakukan nyapet. Mereka dilarang untuk beraktivitas di luar rumah, termasuk memetik atau melayukan daun kayu dan rumput. Aktivitas luar rumah yang diperbolehkan hanya untuk keperluan mandi atau mengambil air di sungai.

Selama ritual ini dilaksanakan, penduduk di kampung sekitar yang tidak melaksanakan nyapet tidak diperbolehkan untuk ikut campur. Ritual ini juga identik dengan kain kuning yang diletakkan pada setiap rumah.

Kain tersebut difungsikan sebagai simbol bahwa siapapun tidak boleh bertamu di rumah warga selama tiga hari tiga malam. Apabila terjadi pelanggaran, maka orang yang bertamu dan warga yang menerima tamu akan dikenakan denda adat.

Denda adat ini dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara antara kekuatan atau makhluk gaib dengan manusia yang dianggap sebagai pelanggar adat Dayak. Hal tersebut dilakukan untuk mengembalikan situasi aman, damai, dan sejahtera.

Seluruh warga yang sedang melakukan ritual nyapet juga tidak diperkenankan untuk memasak daging, seperti rusa, babi, ikan, udang, maupun kepiting. Mereka hanya boleh memasak sayur yang diambil dari kebun sehari sebelum ritual dimulai.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Hening dan Sepi

Saat ritual ini dilaksanakan, situasi kampung harus hening dan sepi. Begitu pula suasana di dalam rumah di mana cara berkomunikasinya disampaikan dengan suara yang pelan. Sementara itu, suara mesin, listrik, dan musik juga dilarang oleh pesirah adat.

Ritual ini dimulai dengan melakukan pembacaan mantra dan dilengkapi dengan sesaji utama. Sesaji utama biasanya berupa ayam jantan, ayam betina, dan babi.

Sesaji tersebut dilengkapi dengan nasi purut, nasi kaleng, ubi ungu, telur ayam kampung, uwai, apoh gamber, daun bakek, langak, rokok daun, tembakau, arak atau tuak, air putih, dan uang logam. Semua sesaji ini diletakkan di atas ancak, yakni bambu yang dianyam dan dialasi daun pisang.

Nasi purut dan nasi kaleng dibentuk seperti gunung agak memanjang ke atas. Nasi-nasi ini ditaburi langak di atasnya.

Selanjutnya, daun bukek, uwai, dan apoh gamber digulung menjadi satu lalu diikat di atas tali ancak. Arak atau tuak dan air putih disimpan di dalam bambu kecil, lalu disisipkan di atas tali ancak di dekat daun bukek digantung.

Adapun daging ayam dan daging babi yang sudah dimasak setengah matang dan diiris-iris diletakkan di atas ancak, tepatnya di dekat nasi purut dan nasi kaleng. Lalu, telur ayam kampung dibelah menjadi dua dan diletakkan di atas ancak.

Warga akan bergotong royong untuk mempersiapkan sesaji ini. Ritual ini diselenggarakan selama setengah hari.

Mulai pukul 09.00 pagi, para perempuan sudah mempersiapkan sesaji, sementara laki-laki mulai berkumpul pukul 13.00 untuk begisah-gisah (bercerita) sebelum acara dimulai. Pukul 15.00, para laki-laki berangkat menuju Pedagi.

Pedagi merupakan tempat keramat, yakni tempat arwah dan roh gaib akan berkumpul untuk dijamu. Ketika dukun mulai berinteraksi dengan roh gaib, maka tidak ada satupun orang yang boleh berbicara.

Usai pembacaan mantra selesai, masyarakat akan pulang ke tempat pasirah adat, lalu setiap orang akan mengambil sumangatnya. Pengambilan sumangat dilakukan oleh dukun dengan perantara nasi purut ditabur langak, kemudian diletakkan di telinga kiri setiap orang yang hadir sambil mengucapkan mantera 'kuuuu semangata'.

Setelah itu, mereka akan pulang ke rumah masing-masing dan memulai masa pantangnya. Setelah tiga hari, bendera atau kain kuning akan diturunkan sebagai tanda masa pantang telah berakhir.

Menurut masyarakat setempat, ritual ini merupakan cara berdamai dengan alam semesta yang didiami. Tak hanya manusia, tetapi juga berdamai dengan roh leluhur, alam gaib, dan Jubata sebagai penguasa semesta.

Hingga saat ini, masyarakat Dayak Benawan mempercayai bahwa ritual ini merupakan ritual penting untuk menolak wabah penyakit. Bahkan, ritual ini juga masih dilakukan saat pandemi covid-19 melanda.

Saat pandemi Covid-19, nyapet menjadi ritual tolak bala utama yang dilakukan masyarakat sekitar. Sebelumnya, nyapet juga telah dilakukan pada saat wabah flu burung atau yang mereka sebut sampar ayam pada 2005.

(Resla Aknaita Chak)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya