Tapa Bisu, Tradisi untuk Introspeksi Diri Tanpa Suara

Rangkaian ritual tapa bisu diawali dengan pelantunan tembang macapat.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 22 Apr 2023, 01:00 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2023, 01:00 WIB
Segmen 7: Ritual Sambut Harkitnas Di Pati dan Yogyakarta
Di Yogyakarta menggelar topo bisu lampah ratri dan di Pati ratusan orang mengikuti pawai obor.

Liputan6.com, Yogyakarta - Tapa bisu merupakan salah satu tradisi tahunan yang digelar di Yogyakarta. Tradisi ini dilakukan dengan cara mengelilingi area sekitar Keraton Yogyakarta tanpa berbicara sepatah katapun.

Tradisi ini juga disebut dengan 'tapa bisu lampah mubeng benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat'. Secara umum, tradisi ini dilakukan untuk menyambut malam satu Suro.

Mengutip dari pariwisata.jogjakota.go.id, tradisi ini biasanya diikuti oleh ratusan orang. Tradisi yang cukup sakral ini bahkan sudah dilaksanakan secara turun-temurun sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Ritual ini dilaksanakan sebagai bentuk introspeksi dan pendekatan diri kepada Tuhan. Dengan demikian, ritual ini berhubungan dengan permintaan perlindungan dan keselamatan dari Tuhan.

Rangkaian ritual tapa bisu diawali dengan pelantunan tembang macapat. Tembang tersebut dilantunkan oleh para abdi dalem.

Bukan sekadar menyanyi, dalam tiap kidung lirik tembang yang dinyanyikan tersebut juga terselip doa-doa serta harapan. Rangkaian ini dilaksanakan di Keben Keraton Yogyakarta.

Selama mengelilingi benteng, para peserta tirakat dilarang berbicara, minum, ataupun merokok. Hal tersebut merupakan bentuk perenungan dan introspeksi diri. Dari keheningan yang tercipta itulah para peserta akan mengevaluasi diri sekaligus muncul keprihatinan terhadap segala perbuatan selama setahun terakhir.

Adapun jarak yang ditempuh selama ritual tapa bisu kurang lebih mencapai 4 km. Rute ritual ini dimulai dari Bangsal Pancaniti, Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Suryowijatan, Pojok Beteng Kulon, Jalan MT Haryono, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan berakhir di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Ritual ini bahkan tak hanya diikuti oleh warga Yogyakarta, melainkan juga turis asing. Meski ritual atau tradisi biasanya cenderung identik dengan orang tua, tetapi banyak juga peserta dari kalangan muda yang mengukuti ritual topo bisu mubeng benteng ini.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya