Krisis Caleg Perempuan di Daerah, Salah Siapa?

Permasalahan keterbatasan caleg perempuan di daerah merupakan isu lama yg memang membutuhkan solusi secara komprehensif baik dari sisi parpolnya maupun SDM perempuan itu sendiri.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 15 Mei 2023, 11:08 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2023, 08:10 WIB
Ilustrasi Pemilu 2024 (Istimewa)
Ilustrasi Pemilu 2024 (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen merupakan amanat undang-undang yang perlu dijalani partai politik tiap pemilu. Namun kenyataannya, masih banyak parpol di daerah yang belum memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan.

Di Kota Padang misalnya, partai mengalami kesulitan untuk memenuhi syarat keterwakilan bakal calon legislatif (caleg) perempuan sehingga mereka mendaftar ke komisi pemilihan umum (KPU) setempat di penghujung waktu. 

"Partai kesulitan mencari bakal calon legislatif perempuan, namun untuk calon lelaki cukup dan seusai aturan pemilu jika jumlah calon perempuan kurang maka calon pria yang ada juga dikurangi," kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Padang, Sumatera Barat Riki Eka Putra di Padang, Senin (15/5/2023).

Riki Eka mengatakan, sulitnya mencari bacaleg perempuan menjadi kendala parpol sehingga mereka mendaftarkan bacalegnya mepet di penghujung waktu pendaftaran ditutup.

"Tahapan pendaftarannya dimulai 1 Mei 2023 hingga 14 Mei 2023 dan Alhamdulillah hingga hari terakhir Minggu (14/5) pukul 23.59 WIB seluruh partai telah mendaftarkan kader mereka," katanya.

Riki menyebut, Partai Garuda menjadi partai terakhir yang mendaftar dan saat ini ada tiga partai yang menjalani proses pendaftaran dan jika telah selesai maka pihaknya akan memberikan tanda terima.

"Setelah itu kita akan pleno rekapitulasi hasil tahapan pendaftaran dan mulai masuk tahap verifikasi administrasi pada Senin (15/5)," kata dia.

Total 18 partai politik itu mendaftarkan 45 kader mereka sehingga total bakal calon anggota legislatif yang terdaftar di KPU Padang sebanyak 810 orang.

"Mereka tersebar di enam daerah pemilihan yang ada di Kota Padang," kata dia.

Sementara itu, KPU Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menyatakan hingga Minggu malam hanya tujuh partai politik yang baru memenuhi syarat keterwakilan 30 persen perempuan.

"Sampai malam ini ada tujuh partai politik yang mengajukan pendaftaran. Berdasarkan pemeriksaan dokumen, semuanya memenuhi syarat keterwakilan 30 persen perempuan," kata anggota KPU Kabupaten Sigi Anhar Lasingki di Sigi, Minggu (14/5/2023).

Tujuh partai politik itu adalah Partai Demokrat, Perindo, Partai Umat, PPP, PSI, Gerindra, dan Partai Golkar.

Setiap partai mengajukan 30 bakal calon anggota DPRD Kabupaten Sigi pada Pemilu 2024.

Pemenuhan keterwakilan perempuan 30 persen pada pengajuan bakal calon anggota legislatif dari partai politik, kata dia, merupakan amanah konstitusi yang harus dipenuhi partai politik.

Sementara itu, KPU mengembalikan dokumen pendaftaran bakal caleg Partai Garuda karena belum lengkap.

"KPU masih menunggu hingga pukul 23. 59 Wita. Partai lainnya yang masih ditunggu pengajuan dokumennya, yaitu Partai Gelora, PKN, dan Partai Buruh," kata Anhar.

Apa yang terjadi Kota Padang dan Palu merupakan gambaran kecil yang menunjukkan bahwa keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen, khususnya di daerah, masih jauh dari cita-cita memajukan perempuan dalam perpolitikan tanah air. Kalau pun parpol memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan, belum tentu itu hasil kaderisasi yang baik dari parpol sendiri. Atau bisa dikatakan hanya formalitas untuk memenuhi syarat belaka.


Kata Pengamat

Pengamat Politik sekaligus Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro saat dihubungi kanal Regional Liputan6.com, Senin (15/5/2023) mengatakan, permasalahan keterbatasan caleg perempuan di daerah merupakan isu lama yg memang membutuhkan solusi secara komprehensif baik dari sisi parpolnya maupun SDM perempuan itu sendiri.

"Pertama, soal ketersediaan perempuan yang bisa direkrut sebagai caleg senantiasa kurang, karena kaderisasi parpol perempuan belum dilakukan secara inovatif dan 'out the box'. Rekrutmen kader dan kaderisasi perempuan politik dilakukan dengan cara-cara biasa saja sehingga parpol dihadapkan pada keterbatasan ketersediaan kader perempuan dalam pileg," katanya.

Penyebab kedua, kata Siti Zuhro, perempuan di daerah yang tertarik ke politik belum sangat banyak. Belum banyak perempuan yang bertalenta, yang bisa direkrut karena keterbatasan skill dan kompetensi perempuan daerah.

"Ikhtiar parpol di daerah untuk mengundang perempuan terjun ke politik belum maksimal," katanya.

Ketiga, kata Siti Zuhro, bagi perempuan bisa jadi mekanisme pileg yang ruwet membuat mereka kurang kompetitif dan terlempar dalam pileg.

"Pengalaman tersebut cukup demoralizing bagi perempuan dan membuatnya kurang antusias," kata Siti.

Ditambah lagi minimnya dukungan terhadap perjuangan perempuan. Perlu diakui, ekosistem politik di Indonesia belum betul-betul berpihak kepada perempuan.

"Pada saat bersamaa daya dobrak kaum perempuan belum cukup ampuh untuk menghadirkan terobosan-terobosan baru yang memunculkan semangat dan animo baru bagi kaum perempuan," katanya.

Siti Zuhro berharap parpol lebih proaktif melalukan 'head hunter' ke kampus-kampus, ke organisasi-organisasi perempuan, dan memintakan kader terbaiknya untuk direkrut. Selain juga tentunya perempuan mengembangkan potensi dirinya sendiri untuk berani terjun ke dunia politik. 


Dukungan Pemerintah

Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, pemerintah mendukung pemenuhan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dalam pencalonan anggota legislatif pada Pemilu 2024.

"Pemerintah berkomitmen mendukung pemenuhan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen sebagaimana amanat Pasal 245 dari UU Nomor 7 Tahun 2017," ujar Jaleswari dalam keterangan tertulisnya akhir pekan kemarin.

Jaleswari menjelaskan, afirmasi perempuan paling sedikit 30 persen tersebut merupakan produk komitmen bersama antara Pemerintah dan DPR serta berbagai elemen masyarakat tentang pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik.

"Partisipasi perempuan dalam berbagai ranah publik perlu terus didorong dan diperjuangkan," katanya.

Tidak hanya itu, sambung Jaleswari, pemerintah turut mengapresiasi komitmen penyelenggara pemilu untuk melakukan revisi peraturan KPU. Hal ini guna memastikan mandat undang-undang Pemilu dapat terlaksana.

Menurut dia, selama dua kali penyelenggaraan pemilu, yaitu Pemilu 2014 dan 2019, keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dalam pencalonan anggota DPR/DPRD telah diatur dengan baik dalam peraturan KPU.

Jaleswari juga melihat upaya KPU selama ini menjadi modal penting melembagakan afirmasi partisipasi perempuan dalam politik. "Capaian itu perlu terus dijaga," ucap dia.

Sebelumnya, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) menyoroti kebijakan KPU yang akan melakukan revisi terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 harus dimaknai sebagai pengakuan adanya pelanggaran hukum dalam mengimplementasikan ketentuan Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Adapun Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan oleh pengurus partai politik peserta pemilu tingkat kabupaten/kota memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

"Peristiwa pelanggaran hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD tidak seharusnya terjadi apabila KPU mempunyai komitmen yang tinggi melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai kewajiban hukumnya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2017 yang menyebutkan KPU memperlakukan peserta pemilu secara adil dan setara," ujar MPKP dalam keterangan resminya, Rabu (10/5/2023).

Menurut dia, KPU dalam menggunakan kewenangan menerbitkan peraturan juga harus senantiasa mematuhi sumpah jabatan sebagaimana diatur Pasal 36 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi “memenuhi tugas dan kewajiban sebagai anggota KPU sesuai Peraturan Perundang-undangan dan UUD NRI 1945 serta melaksanakan tugas dengan bersungguh-sungguh demi tegaknya demokrasi dan keadilan”.

Tidak hanya itu, sebagai Negara Peserta Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan (the Convention of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 1984, Indonesia, dalam hal ini DPR dan Pemerintah berkomitmen mendorong keterwakilan perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam parlemen.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya