Liputan6.com, Yogyakarta - Salah satu karya sastra Jawa yang sudah tidak asing di kalangan masyarakat adalah geguritan. Karya sastra Jawa ini berbentuk puisi Jawa modern.
Pendapat lain mengatakan, geguritan adalah susunan bahasa layaknya syair dalam bahasa Jawa. Geguritan umumnya berisi ungkapan perasaan dan pikiran sang penyair.
Mengutip dari surakarta.go.id, geguritan berbeda dengan karya sastra bahasa Jawa lainnya, seperti tembang Jawa macapat atau kidung. Tembang Jawa memiliki beberapa aturan dalam penulisannya, sedangkan geguritan cenderung lebih bebas.
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, karya sastra ini bersifat imajinatif dan tersusun dengan adanya unsur pembangunan. Secara singkat, geguritan merupakan ungkapkan perasaan penyair dengan bahasa yang indah dan tidak berpedoman pada aturan tertentu.
Geguritan biasanya ditemukan di majalah maupun surat kabar berbahasa Jawa. Tulisan-tulisan tersebut umumnya bertema tentang ketuhanan, kemanusiaan, patriotisme, cinta tanah air, cinta kasih, kerakyatan atau demokrasi, keadilan sosial, pendidikan, hingga tentang hal umum.
Geguritan tidak ditulis dengan bahasa padinan atau bahasa yang digunakan sehari-hari dengan tanpa ketentuan jumlah lirik. Selain itu, geguritan juga menggunakan sajak akhiran bebas dan jarang menggunakan tembung atau kata terikat.Â
Pada zaman dahulu, geguritan sering digunakan oleh rakyat sebagai media untuk menyuarakan bentuk ketidakpuasan terhadap kepemimpinan seorang Raja. Namun, kini geguritan sering digunakan sebagai bentuk ungkapan sastra yang sering dibacakan pada acara-acara tertentu.
Karya sastra Jawa ini juga kerap menjadi subjek yang dilombakan, baik di tingkat SD, SMP, SMA, mahasiswa, maupun masyarakat umum.
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak