Liputan6.com, Gorontalo - Tidak hanya anak yang menderita stunting, pemerintahan pun bisa terkena "penyakit" serupa. Penjabat Gubernur Gorontalo Ismail Pakaya memperkenalkan istilah baru yakni 'birokrasi stunting'.
Ia menyebut jenis penyakit ini mengancam birokrasi dan harus dilakukan upaya reformasi. Hal ini terungkap saat Pemerintah melakukan Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) 2023.
Advertisement
Baca Juga
Dirinya menguraikan, bahwa ciri-ciri 'birokrasi stunting', salah satunya lambat tumbuh dan berkembang. Ismail mengisyaratkan akan ada mutasi pejabat dan aparatur dalam waktu dekat.
"Ciri ciri stunting itu kan terlambat tumbuh. Jadi kalau ada birokrasi kesehatan yang sulit berkembang, sulit beradaptasi, melakukan pelayanan prima dan layanan cepat direformasi saja dan saya siap," kata Ismail.
Ciri lainnya 'birokrasi stunting, kata Ismail, penampilan atau performanya buruk. Dalam banyak kesempatan, dirinya melihat kondisi kantor gubernur masih dalam keadaan kosong di jam delapan pagi.
"Sesekali saya akan datang ke Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Ainun. Kan tidak banyak yang kenal Ismail Pakaya, saya bisa lakukan sidak. Bagi birokrasi yang penampilannya buruk saya akan reformasi," ujarnya.
Berikutnya menyangkut pubertas terlambat. Istilah ini menurutnya relevan dengan birokrasi yang 'puber' di saat sudah berumah tangga. Terakhir ciri pendiam yang menurutnya juga layak direformasi.
Tidak menutup kemungkinan, pihaknya akan melakukan mutasi pejabat dan aparatur dalam waktu dekat. Semuanya masih sedang dikaji sebelum benar-benar dieksekusi.
Reformasi Kesehatan
Selain itu, dirinya meminta reformasi kesehatan diawali dari perbaikan layanan Sumber Daya Manusia (SDM). Menurutnya, reformasi kesehatan tidak efektif jika SDM kesehatan tidak berubah menjadi lebih ramah dan interaktif dengan pasien.
Ia mencontohkan bagaimana di desa-desa banyak orang yang lebih percaya mantri ketimbang harus ke puskesmas. Bagaimana antrian layanan panjang di rumah sakit berakhir dengan pemeriksaan dokter tanpa ada interaksi.
“Kadang-kadang ada dokter ahli kalah sama mantri. Lebih banyak pasien datang ke mantri. Mungkin karena pelayanannya bagus. Kalau keahlian dokter ahli lebih ahli. Ini tergantung layanan kita di rumah sakit, di puskesmas,” ungkapnya.
Bagi Staf Ahli Menaker RI itu, bangunan dan fasilitas kesehatan yang canggih penting, tetapi tidak lebih penting dari pelayanan ramah dari perawat dan dokter. Mereka tidak saja mengobati tapi juga memberikan masukan dan saran yang baik.
“Saya termasuk yang tidak mau lagi ke rumah sakit daerah. Sudah mengantre panjang, begitu diperiksa dokternya hanya periksa tanpa ada kesempatan bagi saya untuk bertanya. Ini soal layanan SDM yang ramah," ia menandaskan.