Liputan6.com, Jakarta - Kuat atau tidaknya karakter suatu bangsa dapat menjadi dasar tolak ukur kemajuan suatu negara. Dengan karakter yang kuat, sebuah negara bisa tetap eksis, meskipun terus dihadapkan dengan tren dan teknologi yang dapat berubah dengan sangat cepat dari waktu ke waktu.
Dalam membicarakan karakter bangsa tentu kita tak boleh lupa dengan salah satu buah pikir Bung Karno, salah satu butir dari Trisakti, yaitu 'berkepribadian dalam budaya'. Sebuah konsepsi menitikberatkan implementasinya pada pembangunan karanter bangsa yang kuat dan tangguh.
Pandangan itu diungkapkan oleh Yudi Latif, seorang akademisi yang juga Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila 2017-2018, dalam Podcast Bung Karno Series di kanal Youtube BKN PDI Perjuangan dipandu aktivis muda kebangsaan Fian M Rofiulhaq episode Kamis 15 Juni 2023.
Advertisement
"Bung Karno pernah mengatakan, besar kecilnya suatu bangsa bukan ditentukan seberapa luas wilayahnya dan seberapa banyak jumlah penduduknya. Tapi ditentukan oleh kuantitas dan kualitas tekadnya, yangmerupakan pancaran dari karakter itu sendiri," ujarnya.
Yudi berkisah, berkaitan dengan karakter, Bung Karno pernah mendapatkan kesan yang menarik dari rektornya ketika Soekarno diwisuda dari Institut Teknologi Bandung. Kala itu, sang rektor berkata bahwa ijazah yang diterimanya saat itu bisa saja hilang dan robek, namun yang menentukan hidupmu kelak bukan secarik ijazah ini, tapi karaktermu sendiri.
Menyadari pentingnya karakter dalam kehidupan, pernah membuat Bung Karno juga menyatakan bahwa, yang lebih besar dari seorang Gandhi adalah jiwa dan karakternya Gandhi itu sendiri. Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) ini beranalogi, manusia atau bangsa yang sehat itu seperti pohon. Terdiri dari akar yang kuat, batang pohon yang menjulang tinggi, ranting yang tersusun rapi, berdaun lebat, serta berbuah ranum. Akar pohon itu bisa disamakan dengan karakter.
Pentingnya pendidikan karakter bangsa, juga tercermin dalam ungkapan yang juga disampaikan oleh pria lulusan Universitas Padjajaran ini.
"Kalau kamu atau bangsamu kehilangan nilai mata uang, tidak ada yang hilang dari dirimu. Kalau kamu kehilangan kesehatan, maka kamu akan kehilangan sesuatu dari dirimu. Tapi kalau kamu atau bangsamu kehilangan karakter maka apapun yang kamu miliki jadi tidak ada artinya," jelasnya.
Yudi Latif memungkasi perbincangan dengan sebuah pesan, bahwa pada masa ketika semua hal didigitalisasi, justru hal-hal yang tidak bisa didigitalisasi menjadi sangat penting, bahkan sangat menentukan.
"Karena pada akhirnya yang menjadi pembeda adalah the man behind the gun, atau karakter dari orang yang menjalankan suatu program canggih tersebut," ia menambahkan.