Liputan6.com, Bulungan - Berburu dan meramu. Dua kata yang mungkin hanya kita baca di buku sejarah. Sebuah corak kehidupan paling sederhana yang mengisahkan tentang manusia purba, nenek moyang manusia.
Maka kita semua manganggap pola hidup seperti itu sudah musnah. Pun kalau ada, barangkali hanya berupa mitos atau kisah-kisah pengantar tidur.
Hal serupa juga diyakini oleh Pradiptajati Kusuma, Peneliti Genetika Populasi dan Evolusi di Mochtar Riyadi Institute for Nanotechnology. Keberadaan manusia rimba yang berburu dan meramu masih dianggap sebuah mitos.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Sampai kemudian penelitian mereka ke Kawasan Gunung Benau, di aliran Sungai Sajau, Kecamatan Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Mereka menemukan sebuah suku yang membantah mitos tersebut.
“Dari literasi yang ada, sudah tidak ada lagi komunitas yang berburu dan meramu. Jadi semua sudah bertransisi 100 persen di Indonesia ini ke agrikultur sebagai peladang,” kata Pai, sapaan akrab Pradiptajati.
Pada saat penelitian soal genetika di Kabupaten Malinau, Pai mendengar dari penduduk setempat jika ada komunitas yang masih tinggal di dalam hutan dan di bawah liang atau goa karst. Komunitas tersebut hidup berpindah-pindah.
“Kami anggap itu mitos karena memang di literatur tidak ada lagi. Kemudian kami diantar ke sini terus kemudian kami menyaksikan suatu komunitas yang masih menjalani gaya hidup nenek moyang hingga saat ini, berburu-meramu, berpindah-pindah, dan tinggal di bawah liang atau ceruk,” paparnya.
Komunitas ini merupakan bagian dari Suku Punan Batu. Saat ini hanya sekitar 104 orang dengan 36 kepala keluarga yang bertahan di dalam hutan di sekitar Gunung Benau dan Sungai Sajau.
Secara umum, Suku Punan Batu cukup banyak. Namun sebagian besar sudah mengubah gaya hidup dengan membangun pemukiman, membuat ladang, atau bekerja di tempat lain.
“Maka untuk mengidentifikasinya kami sebut komunitas ini sebagai Punan Batu Benau Sajau,” kata Pai.
Berdasarkan penelitian dan literasi, Punan Batu Benau Saja adalah suku rimba terakhir di Pulau Kalimantan. Komunitas berburu dan meramu aktif terakhir yang masih tersisa di pulau ini.
Berburu dan Meramu
Sejak tanggal 30 Mei hingga 3 Juni 2023, Liputan6.com diajak Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) untuk melihat langsung komunitas ini. Setelah perjalanan hampir sehari penuh, Selasa (30/5/2023) sore, rombongan tiba di salah satu kelompok dari komunitas Punan Batu yang tinggal di tepi Sungai Sajau.
“Mereka hidup berkelompok, saling berpencar, yang terdiri dari 1 hingga 6 kepala keluarga dan tinggal berpindah-pindah,” kata Community Engagement Manager YKAN, Taufiq Hidayat.
Di tepi Sungai Sajau, kelompok kecil ini membangun pemukiman sederhana dari batang pohon. Setiap keluarga akan membangun pondok dengan ukuran sesuai jumlah anggota keluarga mereka.
Semua bahan untuk membangun pondok terbuat dari batang pohon, termasuk untuk alas tidur. Namun untuk atap, sudah ada beberapa pondok yang menggunakan terpal.
Rabu (31/5/2023) pagi, kami mengikuti keluarga Manik masuk ke hutan. Karena hidup bergantung dengan hutan, suku rimba ini harus setiap hari masuk hutan untuk mencari makanan.
Manik membawa serta istri dan dua anaknya. Istrinya bernama Ngakukop, sedangkan dua anaknya bernama Siti dan Dupar. Kebetulan mereka juga akan berpindah tempat tinggal ke tengah belantara.
Setelah satu jam berjalan di hutan, keluarga ini menemukan makanan jenis umbi-umbian. Ngakukop dan Siti berjibaku membongkar tanah untuk mengambil ubi seukuran labu.
“Bulan depan kami akan balik lagi ke sini karena nanti buahnya akan besar lagi,” kata Manik usai memasukkan umbi tersebut ke dalam gawong.
Gawong adalah tas dari rotan yang menyerupai tas ransel. Keluarga ini kemudian melanjutkan perjalanan ke dalam hutan.
Kali ini Ngakukop menemukan pohon jenis palm. Pohon tersebut kemudian ditebang ditemani Dupar dan Siti. Sedangkan Manik berjalan ke arah lain untuk mencari makanan.
“Ini harus dibakar dulu baru bisa dimakan. Bakarnya juga harus lama,” kata Ngakukop dengan Bahasa Indonesia yang tidak sempurna namun bisa dimnegerti.
Karena dirasa cukup untuk makan hari itu, keluarga ini memilih tidak lagi mencari makanan. Mereka langsung menuju ke tempat yang dijadikan pemukiman berikutnya.
Advertisement
Pondok di Tengah Rimba
Karena hidup nomaden, mereka tentu tak punya rumah permanen. Semua berbentuk pondok dan beralaskan batang pepohonan. Pondok dibangun dengan cara diikat rotan.
Pemukiman di tengah belantara ini memang seluruhnya dibangun dengan hasil hutan. Atapnya juga dari dedaunan. Paling dominan adalah daun rotan.
Saat keluarga Manik tiba di pemukiman baru ini, sudah ada komunitas lain yang lebih dulu mengisi. Manik dan keluarga kemudian memilih pondok paling ujung dan langsung mengolah makanan yang tadi ditemukan.
Karena suku rimba dan menerapkan pola hidup sangat sederhana, hanya ada dua cara mengolah makanan. Yaitu dibakar atau direbus.
Ngakukop memilih membakar makanan temuannya tadi. Setelah berhasil diolah, mereka kemudian makan bersama dan dibagi ke keluarga yang lain.
“Ini biasanya kita makan kalau ubi tidak ada,” kata Ngakukop seraya menyerahkan batang palm ke anaknya.
Masyarakat Punan Batu Benau Sajau tinggal di bentang alam Benau Sajau yang merupakan kawasan karst. Selain tinggal di tepi sungai dan tengah rimba Kalimantan, mereka juga terkadang tinggal di liang atau goa karst.
Namun ancaman terhadap ruang hidup mereka kian dekat. Kawasan yang mereka huni seluas 18 ribu hektar sudah masuk konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH) milik PT Inhutani.