Cerita Pantiaw, Kuliner Bangka Belitung yang Bermakna Setengah Marah

Beberapa orang menyebut pantiaw mirip dengan kwetiau karena teksturnya yang kenyal.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 03 Jul 2023, 15:29 WIB
Diterbitkan 03 Jul 2023, 15:28 WIB
Bangka Belitung Food Festival Hadirkan Kuliner Favorit Bung Karno
Bangka Belitung Food Festival (BBFF) 2017 yang akan berlangsung pada 7 hingga 9 Desember 2017 mendatang di Citraland Botanical City.

Liputan6.com, Belitung - Pantiaw merupakan kuliner Bangka Belitung. Makanan ini dibuat dari tepung sagu dan tepung beras.

Secara tampilan, pantiaw memiliki warna putih dengan bentuk menyerupai mi. Beberapa orang menyebut pantiaw mirip dengan kwetiau karena teksturnya yang kenyal.

Pantiaw biasanya disajikan dengan siraman kuah ikan. Kuah tersebut memberikan rasa yang khas pada pantiaw yang umumnya tidak memiliki rasa yang kuat.

Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, pantiaw merupakan olahan makanan yang diadaptasi dan dipopulerkan oleh masyarakat China yang menetap di Bangka. Pantiaw menjadi wujud adanya akulturasi budaya di Bangka Belitung.

Kedatangan orang Tionghoa di Bangka terjadi sekitar awal abad ke-18 atau sekitar 1710 M. Hal itu terjadi ketika pertambangan resmi dibuka.

Mereka bertandang ke Bangka untuk menjadi kuli timah. Pada masa itu, ditemukan timah di Pulau Bangka yang berada di bawah Kesultanan Palembang.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Tionghoa Suku Kejia

Pada masa itu pula, tenaga kerja yang dianggap berpengalaman adalah orang Tionghoa Suku Kejia. Mereka memang terkenal memiliki keahlian di bidang pertambangan.

Tambang timah juga terdapat di daerah Kabupaten Bangka Barat, Kecamatan Jebus, Desa Sungaibuluh. Dahulu, tambang timah di Desa Sungaibuluh disebut dengan parit.

Pada 1945, salah satu warga yang memiliki parit adalah Abdul Hamid. Parit 6 milik Abdul Hamid mempekerjakan warga Tionghoa.

Tak heran jika di Desa Sungaibuluh juga terdapat pemukiman Tionghoa, yaitu Kampong Pecinan. Hingga kini, masih terdapat sisa-sisa pondasi rumah warga Tionghoa tersebut.

Umumnya, mereka tidak membawa istri, sehingga mereka pun menikahi penduduk sekitar. Hal ini pula yang menjadi penyebab semakin meluasnya masyarakat keturunan Tionghoa di Bangka Belitung.

Masyarakat Tionghoa di Bangka Belitung sebagian besar merupakan peranakan yang berbicara bahasa Hakka campur bahasa Melayu. Kata 'pantiaw' sendiri berasal dari bahasa Tionghoa yang ada di Bangka, yaitu 'pan' dan 'tiau'. Pan berarti setengah, sedangkan tiau artinya marah. Dengan demikian, pantiaw berarti setengah marah.

Pantiaw di daerah asalnya sebenarnya merupakan sajian yang berbahan dasar beras. Namun, karena pada masa itu beras memiliki nilai jual yang cukup tinggi, masyarakat pun menggantinya dengan ubi.

Hingga kini, pantiaw masih menjadi makanan khas warga Desa Sungaibuluh di Bangka Belitung. Makanan ini biasanya disantap sebagai menu sarapan maupun dihidangkan sebagai sajian di beberapa acara penting.

(Resla Aknaita Chak)

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya