Kejati Sulsel Diminta Dalami Aliran Dana Kasus 'Mafia Tanah' di Bendungan Paselloreng

Lembaga pegiat anti korupsi, Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) meminta Kejati Sulsel melakukan metode follow the money dalam kasus dugaan praktik mafia tanah pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo, Sulsel.

oleh Eka Hakim diperbarui 25 Jul 2023, 13:15 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2023, 13:15 WIB
Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun meminta Kejati Sulsel mendalami aliran dana kasus 'Mafia Tanah' Bendungan Paselloreng, (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun meminta Kejati Sulsel mendalami aliran dana kasus 'Mafia Tanah' Bendungan Paselloreng,

Liputan6.com, Wajo Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) terus menggenjot pemeriksaan saksi-saksi pasca meningkatkan kasus dugaan praktik mafia tanah dalam kegiatan pembayaran ganti rugi pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo ke tahap penyidikan, Kamis 20 Juli 2023.

"Panggilan akan terus meluncur dan kepada pihak-pihak yang akan dipanggil kita minta kooperatif untuk menjalani pemeriksaan oleh Tim Penyidik Kejati Sulsel," ucap Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Leonard Eben Ezer Simanjuntak di Kantor Kejati Sulsel, Jumat 21 Juli 2023.

Terpisah, Ketua Badan Pekerja Lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun mengapresiasi gerak cepat Kejati Sulsel yang telah memaksimalkan pemeriksaan saksi-saksi dalam rangka perampungan penyidikan kasus dugaan praktik mafia tanah dalam kegiatan pembayaran ganti rugi pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo tersebut.

"Kita harap penyidikan ini tidak berlama-lama dan Kejati Sulsel segera menentukan tersangka dalam kasus yang cukup menyita perhatian publik ini," ucap Kadir via telepon, Selasa (25/7/2023).

Kadir juga meminta Kejati Sulsel agar turut menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna menelusuri ke siapa saja aliran dana hasil dugaan praktik mafia tanah dalam kegiatan pembayaran ganti rugi pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng itu mengalir.

Mengingat, kata Kadir, nilai kerugian negara yang ditimbulkan dari aktifitas dugaan praktik mafia tanah dalam kegiatan pembayaran ganti rugi lahan sangat besar yakni sebesar Rp75.638.790.623.

"Kejati Sulsel bisa melakukan metode follow the money dengan menelusuri ke mana saja uang hasil dari tindak pidana tersebut mengalir, nah ini butuh pelibatan PPATK," ujar Kadir.

Dia meyakini banyak pihak yang diduga ikut menikmati aliran dana hasil dari kegiatan yang diduga kuat menyimpang dari aturan perundang-undangan tersebut.

Mengingat, kata Kadir, modus kejahatan dalam kegiatan tersebut sebelumnya telah dipaparkan oleh Kejati Sulsel. Di mana lahan untuk kegiatan pengadaan tanah Bendungan Paselloreng yang tadinya merupakan kawasan hutan dan tidak dikuasai masyarakat, kemudian oleh Kantor Pertanahan (BPN) Kabupaten Wajo membuat surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah (sporadik) secara kolektif kepada masyarakat dan kepala desa untuk ditandatangani sehingga dengan sporadik tersebut, seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah, padahal sesungguhnya tanah tersebut merupakan kawasan hutan.

Karena lahan tersebut merupakan eks kawasan hutan dan jelas merupakan tanah negara serta tidak dapat dikategorikan sebagai lahan atau tanah garapan, maka pembayaran lahan yang dimaksud telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp75.638.790.623.

"Jika melihat modus kejahatan yang ditemukan, maka sudah dapat tergambar siapa-siapa pihak yang terlibat dan patut bertanggungjawab utamanya mereka yang memiliki kewenangan sejak proses awal hingga akhir penerbitan sporadik yang kemudian menjadi dasar pembayaran ganti rugi lahan," kata Kadir.

"Kejati Sulsel tinggal mendalami SOP atau syarat-syarat administratif tentang pengurusan atau pembuatan sporadik sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Di situ nanti akan kelihatan peran masing-masing yang terkait," Kadir menambahkan.

Selanjutnya, kata Kadir, penting juga mendalami proses berikutnya setelah sporadik terbit, apakah langsung terjadi pembayaran atau masih ada tahapan yang dilalui sebelum dilakukan pembayaran ganti rugi, yang pada intinya, lanjut Kadir, secara keseluruhan kegiatan tidak boleh menyalahi tata cara atau prosedural UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan peraturan turunan lainnya.

"Prosedur dalam ketentuan aturan perundang-undangan itu kan cukup jelas diantaranya harus ada proses verifikasi faktual atas dokumen-dokumen yang diajukan sebelum diterbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) oleh instansi pengguna anggaran. Ini perlu didalami betul oleh Penyidik Kejati Sulsel, apakah semua tahapan sudah berjalan sesuai aturan yang ada atau tak dijalankan sebagaimana mestinya," terang Kadir.

"Kami menduga kuat secara prosedural diantaranya penelitian fisik atas berkas yang ada atau proses verifikasi faktual tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Buktinya terjadi pembayaran ganti rugi atas lahan yang berstatus kawasan hutan atau lahan negara untuk kegiatan proyek stranas pembangunan Bendungan Paselloreng," Kadir mengungkapkan.

Menurut dia, jauh sebelumnya secara kelembagaan Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) telah melakukan investigasi lapangan terhadap proyek pembebasan lahan Bendungan Paselloreng itu.

Dari hasil investigasi di lapangan, kata Kadir, pihaknya menemukan adanya dugaan perbuatan korupsi yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif. Baik terjadi sejak tahapan awal proses pelaksanaan pembebasan lahan hingga tahapan pencairan dana ganti rugi atas lahan yang terkena dampak pembebasan.

Menurutnya secara teknis, proses pelaksanaan tahapan hingga pembayaran ganti kerugian atas lahan telah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

‌Di mana dalam Pasal 94, kata Kadir, Ketua Panitia Pengadaan membentuk satuan tugas (satgas) yakni Satgas A yang membidangi pengumpulan data fisik tanah yang dalam hal ini pengukuran dan pemetaan bidang. Kemudian Satgas B yang memiliki tugas pengumpulan data yuridis tanah yang berkaitan dengan nama pemegang hak, bukti hak, letak lokasi status tanah, nomor identifikasi bidang, data tanaman yang di atasnya atau secara sederhana segala hal yang berkaitan dengan administrasi serta apa saja yang ada di atas tanah tersebut.

Selanjutnya dalam Pasal 105, lanjut Kadir, tertuang bahwa hasil inventarisir dan identifikasi yang dilakukan oleh Satgas A dan Satgas B akan diumumkan di kantor kelurahan/ desa, kantor kecamatan.

"Tapi apa yang terjadi, ketentuan yang disebutkan di atas justru tidak dilakukan dan kami menemukan hal itu justru dilanggar. Dugaan korupsi keterkaitannya dengan penyalahgunaan wewenang sangat jelas kelihatan," ujar Kadir sebelumnya tepatnya saat ditemui Minggu 7 Agustus 2022.‌Ia mengatakan, dugaan perbuatan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut, berjalan secara terstruktur, karena adanya dugaan keterlibatan struktur kekuasaan yang dalam hal ini melibatkan oknum Panita Pengadaan Tanah.

Misalnya, sebut Kadir, Panitia Pengadaan tidak pernah memanggil atau mengundang warga yang berhak dalam arti pemilik lahan sesungguhnya yang masuk dalam wilayah pembebasan.

"Malah yang terjadi oknum Panitia Pengadaan Tanah justru memanggil orang lain atau kerabatnya yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan lahan yang dimaksud atau sebagai penerima ganti kerugian hak atas tanah yang masuk dalam pembebasan," terang Kadir ditemui di Kantor ACC Sulawesi sebelumnya.

Tak hanya itu, menurut dia, dugaan korupsi dalam pelaksanaan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut, juga dilakukan secara sistematis. Di mana dari hasil investigasi ACC Sulawesi menemukan adanya dugaan manipulasi data penerima ganti rugi lahan oleh Tim Panitia Pelaksana Pengadaan Tanah.

"Di Kepanitiaan Pengadaan itu ada namanya Satgas A. Satgas ini memiliki fungsi verifikasi data pemegang hak atas tanah, namun data tersebut tidak didasarkan pada data yang sebenarnya. Melainkan, data yang digunakan tersebut data hasil manipulasi dari oknum Panitia Pelaksana Pengadaan," tutur Kadir.

Ia mengatakan saat itu dari hasil investigasi lapangan, pihaknya sempat menemukan ada seorang warga yang memiliki bukti penguasaan lahan seperti dokumen Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau dokumen administrasi tanah lainnya dan orang tersebut telah menguasai tanah yang dimaksud secara turun temurun, namun yang bersangkutan tidak pernah mendapatkan surat panggilan dari Panitia Pelaksana Pengadaan Tanah untuk dilanjutkan ke proses verifikasi data fisik berupa pengukuran yang dilaksanakan oleh Panitia (Satgas B).

"Justru yang mendapat panggilan, adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan tanah," ucap Kadir sebelumnya.‌Tak sampai di situ, sebut Kadir, keanehan lagi timbul saat pihaknya menemukan fakta lapangan bahwa dalam proses pengukuran tanah juga dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan warga pemilik lahan yang sebenarnya dan kesannya proses tersebut dilakukan dalam ruang yang gelap.

Hal tersebut, kata Kadir, terkonfirmasi saat pengumuman hasil Inventarisasi dan identifikasi. Di mana oleh Panitia hasilnya diumumkan di kantor kecamatan yang jauh dari daerah warga yang terdampak proyek pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng.

"Sehingga timbul pertanyaan ada apa, kenapa pengumuman tersebut dilakukan di tempat yang berbeda dan sangat jauh dari lokasi bendungan?," ungkap Kadir sebelumnya.

Fakta lain di lapangan, kata dia, Tim Investigasi ACC Sulawesi turut menemukan adanya dugaan kejanggalan berupa manipulasi luasan lahan oleh Panitia Pengadaan Tanah.

‌"Misalnya total hasil pengukuran 1000 m2 namun di peta bidang tercantum hanya 500 m2 dan sisanya kemudian dicarikanlah orang lain agar seoalah-olah orang tersebut memiliki bidang tanah yang dimaksud," beber Kadir sebelumnya.

Dia menyebutkan akibat dari praktik-praktik yang tak benar yang dilakukan secara massif di atas, jelas telah mengakibatkan ratusan kepala keluarga yang ada di tiga desa yang masuk dalam wilayah pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut, mengalami kerugian bahkan mereka telah kehilangan sumber mata pencahariannya.

"Mereka semuanya petani, kasihan harus kehilangan hak atas tanahnya yang tidak lain sebagai sumber mata pencahariannya," ujar Kadir sebelumnya.

Ia menilai, jika kegiatan tersebut terus di lanjutkan maka akan menimbulkan potensi merugikan keuangan negara dan sudah pasti terjadi kesalahan dalam pembayaran uang ganti rugi atau terjadi kegiatan salah bayar dalam pemberian uang ganti rugi atas lahan yang dibebaskan serta ratusan kepala Keluarga jelas akan kehilangan mata pencahariannya.

 

Posisi Kasus Hingga Modus Kejahatan Panitia

Kepala Kejati Sulsel, Leonard Eben Ezer Simanjuntak meminta para saksi bersikap kooperatif dalam pemeriksaan kasus 'Mafia Tanah' Bendungan Paselloreng, Wajo (Liputan6.com/Eka Hakim)
Kepala Kejati Sulsel, Leonard Eben Ezer Simanjuntak meminta para saksi bersikap kooperatif dalam pemeriksaan kasus 'Mafia Tanah' Bendungan Paselloreng, Wajo

Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) resmi meningkatkan status penanganan kasus dugaan praktik mafia tanah dalam kegiatan pembayaran ganti rugi pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo Tahun Anggaran 2021 ke tahap penyidikan.

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel), Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, peningkatan status kasus dugaan mafia tanah dalam kegiatan pembayaran ganti rugi pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo ke tahap penyidikan berdasarkan hasil ekspose perkara.

Di mana dari hasil ekspose perkara yang digelar Kamis 20 Juli 2023, sebut Leonard, Tim Penyelidik telah menemukan adanya peristiwa pidana dan selanjutnya pada tahap penyidikan akan dilakukan pengumpulan bukti-bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan siapa yang bertanggungjawab secara pidana.

"Kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print–664/P.4/Fd.1/07/2023 Tanggal 20 Juli 2023," ucap Leonard di Kantor Kejati Sulsel, Jumat 21 Juli 2023.

Leonard menyebutkan, kasus ini bermula pada Tahun 2015, di mana Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang sedang melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.

Untuk kepentingan pembangunan bendungan tersebut, Gubernur Sulawesi Selatan (Gubernur Sulsel) kemudian mengeluarkan Keputusan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Paselloreng.

Lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng memerlukan lahan atau tanah yang terdiri dari lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Paselloreng, Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai Kawasan HPT.

Selanjutnya melalui proses perubahan kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan itu, salah satunya untuk kepentingan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo, maka pada 28 Mei 2019 diterbitkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian Nomor: SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan kawasan Hutan menjadi bukan Hutan Kawasan Hutan seluas 91.337 Ha, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 84.032 Ha dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 1.838 Ha di Provinsi Sulawesi Selatan.

Setelah dikeluarkan sebagai kawasan hutan dan mendengar bahwa dalam lokasi tersebut akan dibangun Bendungan Paselloreng, kemudian dimanfaatkan oleh oknum di Kantor BPN Kabupaten Wajo yang selanjutnya memerintahkan beberapa honorer di kantor tersebut untuk membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) secara kolektif sebanyak 246 bidang tanah pada 15 April 2021.

Sporadik tersebut lalu diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Paselloreng dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani, sehingga dengan sporadik itu seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah yang dimaksud padahal diketahuinya bahwa tanah tersebut merupakan kawasan hutan.

Sebanyak 246 bidang tanah kemudian dinyatakan telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian oleh satgas A dan Satgas B yang dibentuk dalam rangka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Berdasarkan foto citra satelit yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) tampak bahwa eks kawasan hutan tersebut di Tahun 2015 masih merupakan kawasan hutan dan bukan merupakan tanah garapan sebagaimana klaim masyarakat.

Dengan demikian lahan tersebut, tidak termasuk dalam kategori sebagai lahan garapan sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

Setelah Satgas A dan Satgas B menyatakan 246 bidang tanah yang dimaksud telah memenuhi syarat untuk dibayarkan ganti ruginya, maka selanjutnya dituangkan dalam Daftar Nominatif Pengadaan Tanah Bendungan Paselloreng yang berikutnya diserahkan kepada Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk dinilai baik harga tanahnya, tanaman, jenis serta jumlahnya.

Namun dalam pelaksanaannya, KJPP yang ditunjuk hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi jenis dan jumlah tanaman tetapi hanya berdasarkan sampel.

Berdasarkan hasil penilaian harga tanah dan tanaman tersebut, BBWS Pompengan kemudian meminta LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang membiayai pengadaan tanah untuk selanjutnya melakukan pembayaran terhadap bidang tanah sebanyak 241 bidang tanah seLuas 70,958 Ha dengan total pembayaran sebesar Rp75.638.790.623.

Namun karena 241 bidang tanah tersebut merupakan eks kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan atau tanah garapan, maka pembayaran 241 bidang tanah telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp75.638.790.623.

Pengadaan tanah yang berstatus kawasan hutan oleh instansi yang memerlukan tanah seharusnya cukup mengajukan permohonan pelepasan status kawasan melalui gubernur kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya