Liputan6.com, Jambi - Lahir dan tumbuh besar hingga dikaruniai anak di dalam kawasan hutan, Teguh Santika (44)--perempuan adat Suku Batin Sembilan itu merasa perlu punya tanggung jawab menjaga hutan. Dia tak ingin, hutan yang jadi tempat tinggal dan telah memberinya kehidupan rusak dan dirambah orang.
“Sayo dari kecil, dibesarkan dan sampai punya suami ya tetap di hutan ini. Sampai bibi punya cucu nanti yo tetap di sini (hutan),” kata Teguh Santika beberapa waktu lalu.
Baca Juga
Di kawasan Hutan Harapan, hutan tropis dataran rendah yang masih tersisa di Provinsi Jambi ini, Bi Teguh--sapaan akrabnya itu bersama warga Batin Sembilan lainnya membangun peradaban di dalam hutan. Sewaktu kecil, dia teringat selalu diberi nafkah oleh orangtuanya dari hasil hutan.
Advertisement
Hasil hutan bukan kayu; getah damar, jernang, rotan, dan madu itu dibawa ke desa terdekat disekitarnya untuk tukar dengan makanan dan kain. Masa kecilnya dulu, dia sering dibawa berpindah-pindah atau seminomadik.
Tak hanya tinggal di Sungai Lalan, perbatasan Jambi-Sumsel. Dalam menjalankan praktik seminomadik itu, setiap ada sungai di dalam hutan mereka pasti bermukim untuk sementara waktu.
“Dulu itu kalau sudah berbulan-bulan di satu tempat, barang yang dicari pasti habis. Jadi, pindah lagi, pindah lagi. Macam itu masa kecik bibi,” kata Teguh dengan logat Batin Sembilan yang masih medok.
Kini bi Teguh tinggal di kawasan restorasi ekosistem Hutan Harapan di Kabupaten Batanghari, Jambi. Meski telah menetap, terkadang dia masih menjelajah hutan untuk mencari sumber penghidupan, sebagaimana warisan leluhurnya Batin Sembilan.
Suku Batin Sembilan adalah masyarakat adat di Provinsi Jambi yang bertempat tinggal di kawasan hutan. Merujuk pada sebuah literatur, suku Batin Sembilan merupakan keturunan dari Kesultanan Jambi yang menguasai beberapa hulu sungai. Secara tradisional, kelompok suku ini sejatinya hidup nomaden di hutan.
Menurut survei KKI Warsi, sekitar 15 persen atau 300 keluarga Batin Sembilan hidup di dalam kawasan Hutan Harapan. Masyarakat adat Batin Sembilan bermukim di kawasan Hutan Harapan yang merupakan benteng terakhir hutan dataran rendah yang tersisa di Sumatera. Mereka masih menjalankan praktik tradisional dan kosmologi hubungan antara manusia dengan alam.
Hutan bagi mereka adalah hamparan untuk menerapkan praktik perladangan gilir-balik, mencari hasil hutan nonkayu, tempat berburu, tempat mencari obat, dan mempertahankan sistem pengetahuan tradisional.
Namun hutan kata Teguh, kini tidak seperti dulu layaknya supermarket yang didalamnya banyak menyediakan sumber makanan. Kini tumbuhan bunga, tanaman obat, dan buah-buahan di dalam hutan semakin jarang ditemukan.
“Kalo dulu segala macam obat-obatan ado, makanan banyak di hutan ini. Kalau musim buah kami pergi ke situ. Di sini ado cempedaknyo banyak, di situ duriannya sekian banyak. Kalau sekarang mano?,” ucap Teguh.
Ikut Patroli dan Mengajak Perempuan Jaga Hutan
Sadar akan pentingnya hutan untuk kehidupannya, Teguh Santika membuka lemabaran anyar. Dia ikut patroli dan bertindak sebagai pengawas lapangan bersama tim Hutan Harapan.
Mencari hasil hutan bukan kayu, Teguh bersama ibu-ibu Bathin Sembilan menyusuri hutan sembari berpatroli. Terkadang dia menemui perambah. Di sana dia, meminta para perambah untuk menghentikan aktivitasnya. Mereka menawari bibit tanaman hutan dan tanaman buah.
Jika perambah ngotot dan bersikeras, bi Teguh dan kawannya tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa melapor kepada petugas penjaga hutan di wilayah itu.
Alasan sejumlah ibu-ibu ikut patroli, karena kata Teguh, kalau hanya bapak-bapak mungkin anggotanya agak sedikit. “Jadi kami tambah dengan ibu-ibu ikut dan membantu bapak-bapak patroli jaga hutan. Kalau dak macam itu hutan ini makin habis. Orang buka kebun terus dekat dapur kami.”
“Makanyo ibu-ibu ikut (patroli) jugo mau, tidak susah-susah ngajaknyo, semangat ikut patroli seminggu sekali,” sambungnya.
Dia mengaku merasa perlu mengajak perempuan untuk melestarikan hutan. Alasanya sangat mendasar, karena perempuan sangat memerlukan hutan. Segala aktivitas yang dijalankan oleh kelompok perempuan berasal dari hutan.
“Kato kami orang Batin, betino itu penting dengan hutan daripada bapak-bapak. Kalau bapak-bapak cuma cari jernang samo motong jelutung. Kalau kami (perempuan) cari damar, cari rotan biso. Cari kayu bakar untuk manggang ikan yo dari hutan itu jugo, umpan pancing yo dari hutan jugo. Jadi banyak kami betino yang butuh dengan hutan,” ujar Teguh.
Tak hanya ikut patroli menjaga hutan, Teguh dan tetanggannya sejumlah ibu-ibu Batin Sembilan juga mencari sumber ekonomi alternatif. Dia mulai mengajak dan mendorong ibu-ibu membuat kerajinan tangan.
Kerajinan tangan yang mereka buat berbahan dasar dari hutan seperti rotan dan resam. Mereka buat tangguk, bakung, ambung, piring dari resam, topi. Hasil kerajinan itu, mereka jual kepada PT Restorasi Ekosistem selaku pemangku Hutan Harapan.
Advertisement
Mengenal Hutan Harapan
Kawasan Hutan Harapan termasuk salah satu wilayah hutan tropis Sumatera yang paling terancam di dunia. Hutan ini merepresentasikan sekitar 20 persen keanekaragaman hayati di pulau Sumatera.
Upaya penyelamatan sangat penting dilakukan karena di kawasan Hutan Harapan itu mengandung nilai konservasi dan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Hutan Harapan adalah restorasi ekosistem pertama di Indonesia itu pernah dikunjungi Putra Mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran Charles pada 2008. Total luas kawasan sekitar 98.555 hektare di Jambi dan Sumatra Selatan, dan merupakan sisa hutan tropis dataran rendah di bagian selatan dan tengah Pulau Sumatera.
Selain menjadi ruang hidup masyarakat adat, Hutan Harapan juga menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati dan satwa dilindungi. Di dalamnya teridentifikasi sebanyak 307 jenis burung, 64 jenis mamalia, 123 jenis ikan, 55 jenis amfibi, 71 jenis reptil dan 917 jenis pepohonan.
Di antaranya Hutan Harapan menjadi habitat penting Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), Tapir (Tapirus indicus) dan Beruang madu (Helarctos malayanus).
Selain itu, di kawasan restorasi tersebut, juga menjadi rumah bagi spesies burung Rangkong (Hornbill/Bucerotidae) dan terdapat berbagai jenis Rangkong, seperti jenis Enggang Klihingan (Anorrhinus galeritus/bushy-crested hornbill), Enggang Jambul (Aceros comatus/Berenicornis comatus/white-crowned hornbill).
Kawasan Hutan Harapan yang dulunya merupakan hutan beralas hak pegusaan hutan (HPH), lebih dari satu dekade beralih konsesi untuk restorasi ekosistem. Dan diwaktu bersamaan ancaman dan tekanan terhadap hutan itu masih terjadi.
Meskipun tengah menghadapi tekanan, Hutan Harapan memainkan peran pentingnya sebagai hutan tropis di Sumatra. Keberadaannya pun mesti dilestarikan untuk kepentingan generasi kedepan.
Batin Sembilan memegang peranan penting dalam menjaga hutan karena hutan sekaligus menjadi rumah mereka.
Manajer Komunikasi PT REKI Hospita Simanjuntak mengatakan, pihaknya selaku pemangku Hutan Harapan mendorong masyarakat adat Batin Sembilan untuk membentuk kelompok masyarakat penjaga hutan (Community Warden).
Kelompok ini yang akan bertugas melakukan patroli rutin, termasuk juga mencegah aktivitas ilegal yang ada di dalam kawasan hutan. “Serta kelompok ini akan mengamankan wilayah mereka dari ancaman perambahan ilegal,” ujar Hospita.
Bi Teguh dan barangkali masyarakat adat Batin Sembilan lainnya mungkin tak mengerti soal perubahan iklim. Pun ihwal istilah hutan menyerap emisi karbon, dan menjadi paru-paru dunia.
Namun di tengah laju perubahan iklim, dengan daya dan upayanya, perempuan adat seperti Teguh Santika, tetap berupaya menjaga hutan sebagai tempat kelahirannya. Ia tak ingin kerusakan hutan semakin parah.
“Harapannya bukan hanya untuk bibi. Tapi untuk dulur-dulur bibi yang ado di hutan ini harapannya tetap akan menjadi hutan, akan menjadi lestari. Mungkin sekarang banyak yang terbuka, tapi mungkin 10 atau 15 tahun ke depan akan menjadi hutan. Apa yang kami lakukan, dan tanami itu jadi hutan lagi,” kata Teguh.