Liputan6.com, Palembang - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan survei penilaian integritas di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel). Dari total rata-rata nilai di Sumsel, skor Survei Penilaian Integritas (SPI) yang dinilai dari komponen internal dan eksternal ternyata lebih rendah dari skor nasional.
Nilai rata-rata skor SPI dari seluruh kementerian/lembaga/pemerintah daerah di Indonesia berada di angka 71,94. Sedangkan di Sumsel, skor SPI hanya berada di angka 65,59.
Penilaian risiko korupsi di instansi yakni berupa risiko gratifikasi sebesar 25 persen, risiko trading in influence sebesar 36 persen dan risiko pengelolaan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ).
Advertisement
Baca Juga
Lalu ada risiko jual/beli jabatan sebesar 18 persen, risiko penyalahgunaan perjalanan dinas sebesar 25 persen, risiko nepotisme dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) sebesar 32 persen. Ternyata, risiko korupsi yang paling tinggi yakni risiko penyalahgunaan fasilitas kantor yang mencapai 59 persen.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, hasil SPI Sumsel tersebut merupakan buah dari cerminan kinerja kerja di pemerintahan di Sumsel.
Dia berujar, titik mana saja yang masih rawan, harus diperbaiki di jajaran pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Sumsel.
Bahkan, KPK sudah asistensi dan bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk meningkatkan upaya-upaya pencegahan yang rawan korupsi.
“Jika SPI rendah, titik rawan korupsi tinggi. Kita punya target, minimal (SPI Sumsel) harus sama dengan rata-rata nasional. Kalau bisa harus dinaikkan,” ujarnya, usai menghadiri Rapat Koordinasi Aksi Pencegahan Korupsi di Hotel Santika Premiere Palembang Sumsel, Selasa (7/11/2023).
Selain pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) juga rentan dengan tindak pidana korupsi (tipikor), salah satunya adalah gratifikasi atau suap.
7 Jenis Tipikor
Beberapa contoh yang pernah terjadi yakni adanya kontrak dengan pemerintah, di mana kepala daerah dijanjikan fee jika meloloskan izin dari pihak swasta, mulai dari sektor perkebunan, pertambangan, dan lainnya.
Dia memaparkan, ada 7 kelompok tipikor yang paling banyak terjadi dari 30 jenis tipikor berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001.
Mulai dari kerugian uang negara, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, pemerasan, benturan kepentingan dalam pengadaan, suap-menyuap dan gratifikasi.
Lalu ada tindak pidana lainnya yang berhubungan dengan korupsi, seperti merintangi pemeriksaan, keterangan kekayaan, keterangan rekening dan identitas pelapor.
“Kasus suap sendiri, ada kesepakatan yang berdasarkan kedudukan dari yang diberi suap dan kepentingan dari yang memberi suap, dengan melakukan pelanggaran aturan,” ujarnya.
Advertisement
Kasus Gratifikasi
Untuk kasus gratifikasi sendiri terutama dalam aturan BUMN, BUMD dan lainnya, ada ketentuan yang dilarang menerima sesuatu yang berhubungan dengan jabatan. Seharusnya, pihak BUMN/D menolak gratifikasi tersebut, agar memberikan contoh ke masyarakat.
“Ibu-ibu harus mencurigai suami jika memberi uang dalam bentuk dollar, terutama dollar Singapura. Apalagi tiba-tiba membeli barang mewah, harus ditanyakan uangnya dari mana, apakah sesuai dengan gaji bulanan yang diterima, harus benar-benar dikontrol,” ungkapnya.
Alex juga menjelaskan, ada kriteria korporasi yang dapat dipidana. Seperti usaha kegiatan yang dianggarkan dan menguntungkan korporasi yang melanggar hukum dan tidak melakukan langkah pencegahan.
Lalu, pembiaran adanya korupsi yang dilakukan karyawan juga bisa dipidana. Jika merugikan negara, KPK akan meminta korporasi mengembalikan semua keuntungan yang diperoleh secara tidak benar.
“Jika menyuap, meskipun pekerjaannya selesai dan memenuhi ketentuan. Jika memperoleh dengan menyuap, keuntungannya harus dikembalikan,” katanya.